Kali ini kita akan membahas mengenai
kisah Nabi Muhammad SAW yang kita idolakan. Marilah kita sering2 bersalawat kepada baginda, agar kita
mendapatkan syafa'atnya.
Dalam sebuah hadis dikatakan umat yg
paling sombong adalah umat yang apabila diajak untuk berselawat dia acuh.
nah ini mudah mudahan bermanfaat untuk
sodara semua.
Ketika cahaya tauhid padam di muka
bumi, maka kegelapan yang tebal hampir saja menyelimuti akal. Di sana tidak
tersisa orang-orang yang bertauhid kecuali sedikit dari orang-orang yang masih
mempertahankan nilai-nilai ajaran tauhid. Maka Allah SWT berkehendak dengan
rahmat-Nya yang mulia untuk mengutus seorang rasul yang membawa ajaran langit
untuk mengakhiri penderitaan di tengah-tengah kehidupan. Dan ketika malam
mencekam, datanglah matahari para nabi. Kedatangan Nabi tersebut sebagai bukti
terkabulnya doa Nabi Ibrahim as kekasih Allah SWT, dan sebagai bukti kebenaran
berita gembira yang disampaikan oleh Nabi Isa as.
Allah SWT menyampaikan salawatnya
kepada Nabi itu, sebagai bentuk rahmat dan keberkahan. Para malaikat pun
menyampaikan salawat kepadanya sebagai bentuk pujian dan permintaan ampunan,
sedangkan orang-orang mukmin bersalawat kepadanya sebagai bentuk penghormatan.
Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Allah dan
malaikat-malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman,
bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya." (QS. al-Azhab: 56)
Sebelumnya Allah SWT mengutus para
nabi-Nya sebagai rahmat kepada kaum dan zaman mereka saja, namun Allah SWT
mengutus beliau saw sebagai rahmat bagi alam semesta. Beliau saw datang dengan
membawa rahmat yang mutlak untuk kaum di zamannya dan untuk seluruh zaman.
Allah SWT berfirman, "Dan aku tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi
alam semesta."
Hakikat dakwah para nabi sebelumnya
adalah menyebarkan Islam, begitu juga ajaran yang dibawa oleh Nabi yang
terakhir adalah Islam. Beliau saw adalah Muhammad bin Abdillah bin Abdul
Muthalib, anak seorang wanita Quraisy. Beliau saw adalah pemimpin anak-anak
Nabi Adam as. Beliau saw adalah hamba Allah SWT dan Rasul-Nya, serta rahmat
Allah SWT yang dihadiahkan kepada umat manusia.
Beliau saw lahir di tanah Arab. Ketika
itu malam gelap, tiba-tiba Abdul Muthalib membayangkan bahwa matahari telah
terbit, lalu ia bangun dan ternyata mendapati dirinya di pertengahan malam,
keheningan yang luar biasa menyelimuti gurun yang terbentang. Ia menuju pintu
kemah, lalu menyaksikan bintang-bintang bersinar di langit, dan dunia tampak di
selimuti dengan malam. Ia kembali menutup pintu kemah dan tidur. Belum lama ia
dikuasai oleh rasa kantuk yang amat sangat, sehingga ia kembali bermimpi untuk
kedua kalinya. Segala sesuatunya tampak jela s kali ini, Sesungguhnya sesuatu
yang besar memerintahnya untuk melaksanakan perintah yang sangat penting,
"Galilah zamzam!" Dalam mimpinya Abdul Muthalib bertanya:
"Apakah itu zamzam?" Kemudian untuk kedua kalinya perintah itu
mengatakan bahwa ia diperintahkan untuk menggali zamzam. Belum lama Abdul
Muthalib melihat sesuatu yang bersembunyi itu, sehingga ia berdiri di tempat
tidurnya dan hatinya berdebar dengan keras. Abdul Muthalib bangkit, lalu ia
membuka pintu kemah kemudian pergi ke gurun yang luas. Apakah arti zamzam?
Tiba-tiba pikirannya dipenuhi dengan cahaya yang datang dari jauh, bahwa pasti
zamzam adalah sebuah sumur, tetapi apa yang diinginkan oleh suara yang datang
dalam tidur itu agar ia menggali sumur, di sana tidak ada jawaban selain satu
jawaban dari pertanyaan ini, yaitu agar orang-orang yang berhaji dan
berkeliling di sekitar Ka'bah dapat meminumnya. Tetapi apa nilai dari sumur itu
sendiri, bukankah di sana terdapat banyak sumur yang dapat diminum oleh
orang-orang yang berhaji.
Abdul Muthalib duduk di tengah-tengah
pasir gurun pada pertengahan malam, ia memikirkan bintang-bintang sembari
merenungkan cerita-cerita kuno yang mengatakan tentang sumur yang memancar
darinya air sebagai akibat dari pukulan kaki Nabi Ismail as, di sana juga ada
cerita yang mengatakan bahwa sumur itu telah binasa sesuai dengan perjalanan
zaman.
Matahari terbit di atas gurun Jazirah
Arab, Abdul Muthalib keluar menemui orang-orang, dan menceritakan kepada mereka
bahwa ia akan menggali sebuah sumur di tempat tertentu, ia menunjukkan ke
tempat yang di situ ia diberitahu oleh suara yang ada dalam mimpinya.
Orang-orang Quraisy menolaknya, Sesungguhnya tempat yang diisyaratkan oleh
Abdul Muthalib terletak di antara dua berhala dari berhala-berhala yang biasa
disembah oleh masyarakat setempat, yaitu di antara berhala yang bernama Ashaf
dan NAllah. Abdul Muthalib merasa bahwa usahanya sia-sia untuk meyakinkan
kaumnya agar mengizinkannya untuk menggali sumur. Mereka mengetahui bahwa Abdul
Muthalib tidak mempunyai sesuatu selain hanya seorang anak. Bahwasanya ia tidak
memiliki anak-anak yang dapat menolong dan memperkuatnya serta melaksanakan
keinginan-keinginannya.
Pada saat itu di kawasan negeri Arab
dipenuhi dengan kabilah-kabilah yang terjalin suatu ikatan fanatisme atau
kesukuan yang kuat dan usaha untuk melindungi keluarga yang sangat menonjol.
Akhirnya Abdul Muthalib pergi dalam keadaan sedih, lalu ia berdiri di hadapan
Ka'bah dan mengungkapkan suatu nazar kepada Allah SWT. Ia berkata: "Jika
aku mendapat sepuluh anak laki-laki, dan mereka menginjak usia dewasa, sehingga
mereka mampu melindungiku saat aku menggali sumur Zamzam, maka aku akan
menyembelih salah seorang dari mereka di sisi Ka'bah sebagai bentuk
korban."
Pintu langit pun terbuka untuk doanya.
Belum sampai berlangsung satu tahun, istrinya melahirkan anaknya yang kedua dan
setiap tahun ia melahirkan anak laki-laki sampai pada tahun yang kesembilan,
sehingga Abdul Muthalib mempunyai sepuluh anak laki-laki. Kemudian berlalulah
zaman dan anak-anak Abdul Muthalib menjadi besar.
Abdul Muthalib akhirnya menjadi
seseorang yang memiliki kemampuan. Kemudian Abdul Muthalib berusaha melakukan
rencananya yang diisyaratkan dalam mimpinya itu, yaitu ia bersiap-siap untuk
mengorbankan salah satu anaknya sebagai bentuk pelaksanaannya dari nazarnya.
Maka dilakukanlah undian atas sepuluh anaknya, lalu keluarlah nama anaknya yang
paling kecil yaitu Abdullah. Ketika nama anak itu keluar dalam undian, maka
orang-orang yang ada disekitarnya berusaha memberontak, mereka mengatakan bahwa
mereka tidak akan membiarkan Abdullah disembelih.
Abdullah saat itu terkenal sebagai
seseorang yang bersih dikawasan Arab, ia telah dapat menarik simpati masyarakat
di sekitarnya. Ia tidak pernah menyakiti seseorang pun. Bahkan ia tidak pernah
meninggikan suaranya lebih dari orang lain. Senyuman khas Abdullah terkenal
sebagai senyuman yang paling lembut di kawasan Jazirah Arab. Muatan ruhaninya
demikian jernih, dan hatinya yang mulia menyerupai sebuah kebun di
tengah-tengah gurun hati-hati yang keras, oleh karena itu semua manusia datang
kepadanya dan menentang usaha penyembelihannya. Para pembesar Quraisy berkata,
"Lebih baik kami menyembelih anak-anak kami daripada ia harus disembelih,
dan menjadikan anak-anak kami sebagai tebusan baginya. Kami tidak akan
menemukan seseorang pun yang lebih baik dari dia seandainya kami
menyembelihnya, pertimbangkanlah kembali masalah itu, dan biarkan kami bertanya
kepada dukun."
Abdul Muthalib tampak tidak mampu
menghadapi tekanan ini, lalu ia mempertimbangkan kembali apa yang telah
ditetapkannya. Kemudian mereka mendatangi seorang dukun. Si dukun berkata:
"Berapakah taruhan yang kalian miliki?" Mereka menjawab: "Sepuluh
ekor unta." Dukun itu berkata: "Datangkanlah sepuluh unta, lalu
lakukanlah kembali undian atasnya dan atas nama Abdullah, jika undian datang
padanya, maka tambahlah sepuluh ekor unta lagi, lalu ulangilah terus undian
tersebut, demikian hingga tidak keluar lagi nama Abdullah."
Kemudian dilakukanlah undian atas nama
Abdullah dan atas sepuluh ekor unta yang besar. Undian itu pun mengeluarkan
terus nama Abdullah, hingga Abdul Muthalib menambah sepuluh ekor unta lagi,
kemudian lagi-lagi yang keluar nama Abdullah sehingga mereka pun menambah
sepuluh ekor unta lagi sampai jumlah unta itu telah mencapai seratus ekor unta.
Setelah itu, datanglah nama unta tersebut. Maka saat itu, masyarakat demikian
gembiranya sehingga berlinangan air mata, kegembiraan dari mereka karena
melihat Abdullah berhasil diselamatkan. Kemudian disembelihlah seratus ekor
unta di sisi Ka'bah, dan mereka membiarkannya di situ sehingga korban itu tidak
disentuh oleh seseorang pun dan juga disentuh oleh binatang-binatang buas.
Abdul Muthalib sangat gembira atas
keselamatan anaknya, Abdullah. Lalu ia menetapkan untuk menikahkannya dengan
gadis terbaik di Jazirah Arab, kemudian ia keluar dengannya pada suatu hari
dari Ka'bah ke rumah Wahab, dan di sana ia meminang untuknya Aminah binti
Wahab. Kemudian Aminah binti Wahab menikah dengan Abdullah bin Abdul Muthalib,
seorang pemuda yang paling mulia dan paling dicintai oleh orang-orang Quraisy.
Dinyalakanlah api-api di gunung-gunung
Mekah, agar para musafir dan para tamu mengetahui tempat diadakannya acara
tersebut, yaitu acara pernikahan antara Abdullah dan Aminah. Lalu disembelihlah
hewan-hewan korban, dan manusia dari kalangan orang-orang fakir bahkan
binatang-binatang buas dan burung makan darinya. Abdullah tinggal bersama
istrinya dua bulan di rumah pernikahan, hingga suatu hari ada kabar bahwa
kafilah akan berangkat, lalu Abdullah pun mengikuti kafilah tersebut dan
melakukan perjalanan bersama kafilah perdagangan Quraisy menuju Syam, itu
adalah kesempatan terakhir yang diperoleh Aminah binti Wahab bersamanya. Wajah
Abdullah yang mulai tampak berseri-seri mengucapkan selamat tinggal kepada
Aminah, lalu setelah itu bayang-bayang wajahnya tersembunyi bersama kafilah dan
rnereka pun hilang. Aminah tidak mengetahui bahwa itu adalah kesempatan
terakhirnya setelah dua bulan dari perkawinannya. Abdullah mengunjungi
paman-pamannya dari kabilah bani Najar di Madinah, dan di sana ia meletakkan
jasadnya di muka bumi, ia meninggal dunia.
Abdullah bin Abdul Muthalib kini telah
meninggal. Saat itu ia berusia dua puluh lima tahun. Kabar kematiannya
tiba-tiba tersebar dan sangat memilukan hati orang-orang yang mendengarnya,
sehingga kabar itu sampai ke istrinya. Aminah tampak menangis tersedu-sedu dan
ia tampak menyampaikan pertanyaan-pertanyaan pada dirinya dan tidak mengetahui
jawabannya, mengapa Allah SWT menebusnya dengan seratus unta jika kemudian Dia
menetapkan kematian baginya.
Tidak lama kemudian, lalu bergeraklah
dirahimnya janin dengan gerakan yang sedikit, ia tampak mulai mengetahui bahwa
ia sedang hamil. Aminah menangis dua kali, pertama ia menangis untuk dirinya
sendiri dan kali ini ia menangis untuk anak yang ditinggal mati ayahnya sebelum
ia sempat dilahirkan. Aminah tidak pernah mengetahui sebelumnya bahwa janin
yang dikandungnya akan menjadi anak yatim, ayahnya meninggal saat ia
dilahirkan.
Anak yatim ini harus menanggung beban
anak-anak yatim dan orang-orang fakir serta orang-orang yang sedih di muka
bumi. Ia akan menjadi Nabi yang terakhir dan rasul-Nya kepada manusia. Ia akan
menjadi rahmat yang dihadiahkan kepada manusia dan tidak akan mengetahui makna
rahmat kecuali orang yang merasakan penderitaan dan kepahitan. Inilah anak
kecil yang sebelum dilahirkan telah menelan kesedihan. Dan berlalulah hari demi
hari, lalu hilanglah tangisan penderitaan dan mata Aminah pun telah mengering,
namun kesedihannya tampak menyerupai sebuah pohon yang turnbuh bersama
kehausan.
Kemudian kesedihannya hari demi hari
semakin ia rasakan tetapi kesedihannya itu mulai tidak tampak ketika ia
mendapatkan bahwa janin yang dikandungnya tidaklah memberatkannya, sebaliknya
ia merasakan betapa ringannya janin yang dikandungnya bagaikan merpati yang
berkeliling di seputar Ka'bah, dan seandainya kesedihannya yang selalu
mengitarinya, maka tidak ada wanita yang lebih bahagia darinya dengan kehamilan
yang ringan ini. Janin itu adalah manusia yang mulia di sisi Tuhan, kemudian
semakin dekatlah hari kelahirannya. Sementara itu, pasukan Abrahahh mendekati
Mekah.
Abrahahh adalah seorang penguasa
Yaman, yaitu pada saat Yaman tunduk kepada Habasyah setelah penguasa Persia
diusir. Di Yaman ia membangun suatu gereja yang menunjukkan bangunan yang
menakjubkan. Abrahahh membangunnya dengan niat agar orang-orang Arab berpaling
dari Baitul Haram di Mekah. Ia melihat betapa orang-orang Yaman tertarik dengan
rumah tersebut. Dan ketika ia tidak melihat gereja yang dibangunnya memiliki
daya tarik seperti itu dan tidak mampu menarik hati orang-orang Arab, maka ia
berkeinginan kuat untuk menghancurkan Ka'bah, sehingga orang-orang tidak menuju
ke Ka'bah lagi melainkan ke gerejanya. Demikianlah akhirnya ia menyiapkan
pasukan yang besar yang dipenuhi dengan berbagai senjata, kemudian pasukan itu
menuju Ka'bah.
Pasukan Abrahahh terdiri dari kelompok
gajah yang besar yang digunakannya untuk menghancurkan Ka'bah. Gajah-gajah itu
bagaikan tank-tank yang kita gunakan saat ini. Orang-orang Arab pun mendengar
rencana tersebut. Memang orang-orang Arab saat itu terkenal sebagai penyembah
berhala, meskipun demikian mereka sangat memberikan penghargaan dan
penghormatan terhadap Ka'bah, karena mereka meyakini bahwa mereka adalah
anak-anak Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as pemelihara Ka'bah.
Perjalanan pasukan tiba-tiba dihadang
oleh seorang lelaki yang mulia dari penduduk Yaman yang bernama Dunaher. Ia
mengajak kaumnya dan dari kalangan orang-orang Arab untuk memerangi Abrahahh,
sehingga ada beberapa orang yang mengikutinya. Abrahahh berhadapan dengan
tentara tersebut tetapi pasukan yang sedikit itu dapat dengan mudah dipatahkan
oleh pasukan kafir yang besar itu. Kemudian Dunaher pun kalah dan menjadi
tawanan Abrahahh. Pasukan Abrahahh tersebut juga sempat ditentang oleh Nufail
bin Hubaid al-Aslami, namun Abrahahh pun dapat mengalahkan mereka dan berhasil
menawan Nufail.
Kemudian ketika Abrahahh melewati kota
Taif, menghadaplah kepadanya beberapa orang tokoh setempat, dan mereka tampak
gemetar ketakutan dan berkata kepadanya bahwa sesungguhnya 'rumah' yang
ditujunya tidak berada di tempat mereka, tetapi berada di Mekah. Hal itu mereka
sampaikan dengan maksud untuk memalingkannya dari rumah berhala mereka, di mana
mereka membangun di dalamnya berhala yang bernama Latha kemudian mereka
mengutus seseorang yang akan menunjukkan kepada Abrahahh letak Ka'bah. Ketika
Abrahahh berada di antara Taif dan Mekah, ia mengutus seorang pemimpin
pasukannya sehingga ia melihat keadaan Mekah. Di sana ia merampas banyak harta
dari kaum Quraisy dan selain mereka, dan di antara yang dirampasnya adalah dua
ratus unta milik Abdul Muthalib bin Hasyim. Saat itu Abdul Muthalib adalah
salah seorang pembesar Quraisy dan pemimpin mereka, serta pengawas sumur
Zamzam.
Kedatangan utusan Abrahahh di Mekah
telah menimbulkan gejolak pada kabilah-kabilah. Akhirnya kaum Quraisy bergerak,
begitu juga kaum Khananah. Kemudian mereka mengetahui bahwa mereka tidak
memiliki kemampuan untuk melawan Abrahahh, sehingga mereka membiarkannya, lalu
tersebarlah di Jazirah Arab berita tentang datangnya pasukan yang kuat yang
sulit untuk ditandingi. Dalam surat yang dibawa oleh utusannya itu, Abrahahh
menyampaikan bahwa ia tidak datang untuk memerangi mereka, namun ia datang
hanya untuk menghancurkan Ka'bah. Jika mereka tidak menentangnya, maka darah
mereka tidak akan ditumpahkan. Lalu utusan itu menemui Abdul Muthalib, ia
menceritakan tentang keinginan Abrahahh. Abdul Muthalib berkata: "Kami
tidak ingin memeranginya karena kami tidak memiliki kekuatan. Ka'bah adalah
rumah Allah SWT yang mulia dan suci, dan rumah kekasih-Nya Ibrahim. Jika Ia
mencegahnya, maka itu adalah rumah-Nya dan tempat suci-Nya, namun jika Ia
membiarkannya, maka demi Allah kami tidak memiliki kekuatan untuk
mempertahankannya." Kemudianutusan itu pergi bersama Abdul Mutihalib
menuju Abrahahh.
Abdul Muthalib adalah seseorang yang
sangat terpandang dan sangat mulia. Ia memiliki kewibawaan dan kehormatan yang
mengagumkan. Ketika Abrahahh melihatnya, Abrahahh menampakkan penghormatan
kepadanya. Abrahahh memuliakannya dan mendudukannya di bawahnya, ia tidak suka
bahwa ia duduk bersamanya di kursi kekuasaannya. Lalu Abrahahh turun dari
kursinya dan duduk di atas sebuah permadani dan mendudukkan Abdul Muthalib di
sisinya. Kemudian ia berkata kepada penerjemahnya: "Katakan padanya apa
kebutuhannya?" Abdul Muthalib berkata: "Kebutuhanku adalah agar
Abrahahh mengembalikan dua ratus ekor unta yang diambilnya dariku" Ketika
Abdul Muthalib mengatakan demikian, wajah Abrahahh berubah, lalu ia berkata
kepada penerjemahnya: "Katakan padanya sungguh aku merasa kagum ketika
melihatnya, kemudian aku merasakan kehati-hatian saat berbicara dengannya,
apakah engkau berbicara denganku tentang dua ratus ekor unta yang telah aku
ambil, lalu engkau membiarkan rumah yang merupakan simbol agamanya dan
kakek-kakeknya, yang aku datang untuk menghancurkannya dan dia tidak
menyinggungnya sama sekali" Abdul Muthalib menjawab: "Aku adalah pemilik
unta, sedangkan pemilik rumah itu adalah Tuhan yang melindunginya."
Abrahahh berkata: "Dia tidak akan mampu melindunginya dariku." Abdul
Muthalib menjawab: "Lihat saja nanti!"
Selesailah dialog antara Abdul
Muthalib dan Abrahahh. Abrahahh pun mengembalikan unta yang telah dirampasnya.
Abdul Muthalib pergi menemui orang-orang Quraisy dan menceritakan apa yang
dialaminya, dan ia memerintahkan mereka untuk meninggalkan Mekah dan berlindung
dibalik gua-gua di gunung. Akhirnya kota Mekah dikosongkan oleh pemiliknya. Aminah
binti Wahab keluar ke gunung-gunung di dekat kota Mekah kemudian malaikat turun
di bumi Jarzirah Arab.
Abdul Muthalib berdiri dan memegangi
pintu Ka'bah dan berdiri bersama dengan sekelompok orang-orang Quraisy, mereka
berdoa kepada Allah SWT dan meminta perlindungan-Nya, agar para malaikat
memerintahkan gajah-gajah tidak melangkahkan kakinya sehingga gajah itu pun
tetap di tempatnya dan menaati perintah para malaikat, kemudian gajah-gajah itu
menerima pukulan yang dahsyat namun gajah-gajah itu tetap berdiam di tempatnya,
gajah-gajah itu tampak gemetar dan berteriak tetapi lagi-lagi gajah-gajah itu
menolak untuk bergerak dan tidak bergerak selangkah pun. Abrahahh bertanya:
"Mengapa pasukan tidak bergerak?" Kemudian dikatakan kepadanya bahwa
gajah-gajah menolak untuk bergerak. Abrahah mengangkat cemetinya. Dengan muka
emosi, ia ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi dengan gajah-gajahnya.
Matahari saat itu bersinar dan ia
duduk di kemahnya. Ketika ia keluar, matahari bersembunyi di balik segerombolan
burung. Abrahah mengangkat pandangannya ke arah langit. Mula-mula ia
membayangkan bahwa ia melihat sekawanan awan yang hitam. Kemudian ia
mengamat-amati awan itu. Dan ternyata ia bukan awan biasa. Itu adalah
sekelompok burung yang menutupi cahaya matahari dan menyerupai awan yang tebal.
Burung ababil, burung yang banyak.
Gajah-gajah semakin berteriak dengan
kencang dan tampak ketakutan. Dan rasa takut itu kini menghinggapi seluruh
pasukan. Abrahah berteriak di tengah-tengah pasukannya agar gajah diusahakan
untuk maju secara paksa. Kemudian terbukalah salah satu jendela dari jendela
al-Jahim, dan burung-burung itu menghujani pasukan dengan batu dari Sijil,
yaitu batu yang sama yang pernah dihujankan kepada kaum Nabi Luth. Batu itu
menyerupai bom-bom atom yang digunakan saat ini.
Jika Anda membaca buku-buku kuno, maka
Anda akan mengetahui bagaimana peristiwa yang menimpa pasukan Abrahah. Anda
akan membayangkan bahwa Anda berada di hadapan suatu kekuatan yang
menghancurkan yang tidak diketahui asal muasalnya. Dunia mengenali sebagian
darinya setelah empat belas abad dari peristiwa tersebut. Buku-buku itu
mengatakan bahwa pasukan itu dihancurkan dengan penghancuran yang dahsyat.
Para tentara Abrahah kembali dalam
keadaan binasa di mana daging-daging dari tubuh mereka berceceran di jalan.
Abrahah pun mendapatkan luka dan mereka keluar dari tempat itu dalam keadaan
dagingnya terpisah satu persatu. Abrahah pun terbelah dadanya dan mati.
Kemudian jasad para pasukannya tersebar dan berceceran di bumi, seperti tanaman
yang dimakan oleh binatang. Setelah mendekati setengah abad, turunlah suatu
surah di Mekah yang menceritakan tentang peristiwa itu:
"Apakah kamu tidak memperhatikan
bagimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara gajah? Bukankah Dia telah
menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka 'bah) itu sia-sia? Dan Dia
mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka
dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadihan mereka
seperti daun yang dimakan (ulat)." (QS. al-Fil: 1-5)
Pasukan gajah yang ingin
memporak-porandakan Mekah dikalahkan. Kemudian mereka dihancurkan dan Tuhan
pemilik Ka'bah berhasil melindungi rumah suci-Nya. Perlindungan tersebut bukan
sebagai penghormatan bagi orang yang tinggal di rumah itu dan bukan sebagai
bentuk pengkabulan doa kaum yang menyembah berhala yang memenuhi tempat itu.
Allah SWT sebagai Pelindung Ka'bah memeliharanya karena adanya hikmah yang
tinggi; Allah SWT menginginkan sesuatu bagi rumah itu; Allah SWT ingin
melindunginya agar tempat itu menjadi tempat yang damai bagi manusia dan supaya
tempat itu menjadi pusat dari akidah yang baru dan menjadi tanah bebas yang
aman, yang tidak dikuasai oleh seseorang pun dari luar dan juga tidak
didominasi oleh pemerintahan asing yang akan membatasi dakwah. Yang demikian
itu karena di sana terdapat rumah dari rumah-rumah di Mekah yang lahir di sana
seorang anak di mana ibunya bernama Aminah binti Wahab dan ayahnya adalah
Abdullah, salah seorang tokoh Arab. Anak itu belum dilahirkan dan belum dapat
tugas kenabian dan ia belum memikul Islam di atas pundaknya dan belum menjadi
rahmat bagi alam semesta. Kemudian datanglah Abrahah yang ingin menghancurkan
semua ini tanpa ia mengetahui semua rahasia ini.
Tragedi yang menimpa Abrahah adalah
karena bahwa ia berusaha menentang kehendak Ilahi sehingga kehendak Ilahi itu
menghancurkannya dengan mukjizat yang mengagumkan. Datanglah banyak burung
dengan membawa batu-batuan yang tidak didengar suaranya. Kemudian burung-burung
melemparkan batu-batu itu kepada Abrahah beserta tentaranya. Semua ini
berdasarkan rencana Ilahi terhadap rumah-Nya dan agama-Nya serta nabi-Nya
sebelum orang mengetahui bahwa Nabi Islam telah bersiap-siap untuk meninggalkan
tempat tidurnya di perut ibunya dan mulai memasuki kehidupan yang keras di muka
bumi.
Di tengah-tengah kegembiraan Mekah
karena keselamatan penghuninya dan selamatnya Ka'bah, Aminah binti Wahab
bermimpi: di tengah suatu malam ia menyaksikan dirinya berdiri sendirian di
tengah-tengah gurun, dan telah keluar dari dirinya suatu cahaya besar yang
menyinari timur dan barat dan terbentang hingga langit. Aminah tiba-tiba
terbangun dari tidurnya namun ia tidak mengetahui tafsir dari mimpinya.
Berlalulah hari demi hari dari tahun
gajah. Dan pada waktu sahur dari malam Senin hari keduabelas dari bulan Rabiul
Awal, Aminah melahirkan seorang anak kecil yang yatim yang bernama Muhammad bin
Abdillah bin Abdul Muthalib, seorang cucu dari Ismail bin Ibrahim bin Adam.
Sebelum ia dilahirkan, dunia mati
karena kehausan padanya. Kehausan dunia sangat besar kepada cinta, rahmat, dan
keadilan. Sekarang teiah berlalu 600 tahun dari kelahiran al-Masih dan
orang-orang Masehi telah menjauhi ajaran cinta, bahkan keyakinan-keyakinan
berhalaisme telah meresap kepada sebagian kelompok mereka dan kejernihan ajaran
tauhid telah ternodai. Sedangkan orang-orang Yahudi telah meninggalkan
wasiat-wasiat Musa dan mereka kembali menyembah lembu yang terbuat dari emas.
Dan setiap orang dari mereka lebih memilih untuk memiliki lembu emas yang khusus.
Demikianlah, berhalaisme telah menyerang di bumi. Bumi dipenuhi oleh kegelapan.
Akal disingkirkan dan Tuhan diiupakan dan mereka menyerahkan diri mereka kepada
pembohong.
Ketika jantung dunia telah terkena
kekeringan, maka memancarlah dari timur suatu mata air keimanan yang jernih
yang menjadi puas dengannya separo dunia. Dan mukjizat besar terjadi ketika
mata air ini mengeluarkan air yang jernih dari jantung gurun yang paling besar
ketandusannya di dunia, yaitu gurun jazirah Arab. Berkenaan dengan penggambaran
masa tersebut, dalam hadis yang mulia dikatakan: "Sesungguhnya Allah
melihat penduduk bumi lalu Dia murka kepada mereka, baik orang-orang Arab
maupun orang-orang Ajam kecuali sebagian kecil dari Ahlulkitab."
Di tenda yang kasar, lahirlah seorang
anak yatim yang kemudian bertanggung jawab untuk memberikan minum kepada dunia
yang haus pada cinta, keadilan, kebebasan, serta kebenaran. Sementara itu,
beberapa langkah dari tempat kelahirannya terdapat berhala-berhala yang
memenuhi Baitul 'Athiq dan sekitar Ka'bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan
Nabi Ismail agar menjadi rumah Allah SWT dan Dia disembah di dalamnya dan
manusia merasa tenteram di dalamnya. Di rumah yang kuno ini—yang dibangun
sebelumnya oleh Adam—dipenuhi patung-patung tuhan yang terbuat dari batu dan
kayu. Ini menunjukkan betapa akal orang-orang Arab saat itu mengalami titik
terendah.
Sementara itu nun jauh di sana,
tepatnya di Yatsrib atau Madinah dipenuhi oleh orang-orang Yahudi yang mereka
datang di sana karena melarikan diri dari penindasan orang-orang Romawi. Mereka
tinggal di situ bagaikan srigala-srigala di atas tanah yang tersubur di mana
mereka melakukan monopoli dalam perdagangan. Mereka membagun kejayaan mereka
dengan memanfaatkan orang-orang Arab dan keheranan mereka terhadap diri mereka
sendiri.
Para cendikiawan Yahudi
memperdagangkan segala sesuatu, dimulai dari emas sampai Taurat. Mereka
menyembunyikan kertas-kertas darinya dan menampakkan sebagiannya; mereka
mengubah kertas-kertas Taurat itu untuk memperkaya diri mereka. Pada saat
orang-orang Yahudi menyembah emas dan sangat lihai melakukan persekongkolan,
orang-orang Arab justru menyembah batu dan mereka pandai berperang. Mereka juga
lihai dalam membuat syair lalu menggantungkannya di atas tirai-tirai Ka'bah.
Orang-orang Arab hidup di bawah naungan sistem kesukuan di mana kepala suku
adalah pemimpin dan nilainya sebanding dengan anak buahnya, dan kemampuan
mereka dalam berperang. Dan keutamaan seseorang dilihat dari asal muasalnya
serta nilainya juga dilihat dari kefanatikannya serta kebanggannya kepada nasab
yang merupakan kemuliannya, juga kefanatikannya terhadap berhala tertentu yang
merupakan agamanya. Jadi, segala bentuk kemuliaan dan kewibawaan tidak
terbentuk kecuali dalam ruang lingkup yang sempit dalam kabilah atau kesukuan.
Sedangkan di tempat yang jauh dari
Mekah, Romawi menyerupai burung rajawali yang lemah, namun belum sampai
kehilangan kekuatannya. Orang-orang Romawi sangat menyanjung kekuatan.
Sedangkan di belahan timur dari utara negeri Arab, orang-orang Persia menyembah
api dan air. Api tetap menyala di tempat peribadatan mereka di mana manusia
rukuk untuknya. Dan di sana terdapat danau Sawah yang dianggap suci oleh
mereka.
Sementara itu, Kisra, raja kaum Persia
duduk di atas singgasananya dan memberikan keputusan terhadap manusia.
Keputusan Kisra selalu didengar dan dilaksanakan. Tidak ada seorang pun yang
berani menentangnya dan menolaknya. Orang-orang Persia berhasil mengalahkan
Romawi dan Yunani, sehingga mereka menjadi kekuatan yang dahsyat di muka bumi.
Meskipun mereka memiliki kekuatan yang sangat luar biasa, namun penyembahan api
jelas-jelas menunjukkan betapa bodohnya mereka dan betapa kekuatan mereka
diliputi oleh kebodohan sehingga akal mereka tercabut dan mereka terhalangi
untuk mencapai kebenaran. Alhasil, kegelapan semakin meningkat di setiap
penjuru bumi dan kehidupan berubah menjadi hutan yang lebat di mana di dalamnya
seorang yang kuat akan menyingkirkan seorang yang lemah dan di dalamnya yang
menang adalah kebatilan.
Di tengah-tengah suasana yang demikian
kelam, lahirlah seorang anak di tenda Mekah. Ketika anak tersebut lahir, maka
padamlah api yang disembah oleh kaum Persia dan keringlah danau Sawah yang
disucikan oleh manusia, bahkan robohlah empat belas loteng dari istana Kisra.
Dan setan merasa bahwa penderitaan yang besar telah merobek-robek hatinya. Ini
semua sebagai simbol dimulainya kehancuran kejahatan atau keburukan di muka
bumi dan terbebasnya akal manusia dari penyembahan terhadap sesama manusia atau
terhadap hal-hal yang bersifat khurafat. Manusia diajak hanya untuk menyembah
kepada Allah SWT. Kelahiran Rasul sebagai bukti hilangnya kelaliman,
sebagaimana kelahiran Nabi Musa yang menunjukkan kebebasan Bani Israil dari
kelaliman Fir'aun.
Ajaran Muhammad bin Abdillah merupakan
ajaran revolusi yang paling meyakinkan dan yang paling penting yang pernah
dikenal di dunia; ajaran yang bertugas untuk menyelamatkan dan membebaskan akal
dan materi. Tentara Al-Qur'an adalah tentara yang paling adil dan paling berani
untuk menghancurkan orang-orang yang lalim. Kita akan melihat dalam sejarah
Nabi bahwa kejadian-kejadian luar biasa telah mengelilingi Ka'bah sebelum
kelahirannya. Kemudian terjadilah peristiwa luar biasa setelah kelahirannya di
mana terjadilah peristiwa pembelahan dada pada saat beliau masih kecil, begitu
juga beliau dinaungi oleh awan di waktu kecil, bahkan beliau terkenal pada saat
masih kecil dengan kecenderungan untuk meninggalkan permainan-permainan yang
biasa dimainkan oleh anak-anak kecil seusia beliau. Allah SWT memberikan penjagaan
khusus kepadanya sehingga Jibril as turun kepadanya dengan membawa wahyu.
Selanjutnya, mukjizatnya yang pertama
adalah mukjizat yang terdapat pada kepribadiannya dan pemikiran-pemikirannya.
Itulah yang menjadi mukjizatnya yang terbesar setelah Al-Qur'an; itu adalah
bangunan ruhani yang tinggi di mana beliau mampu menahan penderitaan di jalan
Allah SWT. Dan dalam menegakkan kebenaran, beliau memikul berbagai macam
rintangan. Beliau melaksanakan amanat yang diembannya secara sempuma dan
sebaik-baik mungkin. Hal yang indah yang dikatakan tentang mukjizat Nabi
setelah diutusnya beliau adalah bahwa beliau tidak mempunyai mukjizat selain
usaha membebaskan akal: tanpa memiliki kekuatan luar biasa selain membebaskan
pikiran, tanpa dalil selain kalimat Allah SWT.
Sedangkan Isa bin Maryam telah
berdakwah dan mengajak manusia untuk menciptakan kesamaan, persaudaraan, dan
cinta kasih di antara mereka, namun Muhammad saw diberi karunia untuk
mewujudkan persamaan, persaudaraan, dan cinta kasih di antara orang-orang
mukmin di tengah-tengah kehidupannya dan setelah kehidupannya.
Ketika Nabi Isa mampu menghidupkan
orang-orang yang mati dan mengeluarkan mereka dari kuburan, Muhammad bin
Abdillah menghidupkan orang-orang hidup dari kematian mereka yang tidak pernah
mereka sadari. Itu adalah bentuk kematian yang paling berat. Beliau juga
mengeluarkan rnereka dari kegelapan dan kebodohan menuju cahaya ilmu, dan dari
belenggu syirik dan kekufuran menuju dunia tauhid.
Sulaiman sebagai seorang Nabi dan raja
mampu memperkerjakan jin untuk mengabdi padanya, bahkan mereka mampu terbang
beribu-ribu mil untuk menghadirkan singgasana musuh-musuhnya agar mereka semua
tercengang terhadap kemampuannya, sehingga mereka masuk Islam. Namun Muhammad
saw justru mengabdi kepada Islam hanya sebagai seorang tentara yang sederhana.
Beliau mengetahui bahwa ketika beliau lalai sesaat saja dari dakwah di jalan
Allah SWT, maka kesempatannya dalam menyebarkan agama Islam akan hilang.
Di saat terjadi peristiwa besar dalam
peperangan, tiba-tiba azan salat dikumandangkan, sehingga para pasukan yang
berperang mengerjakan salat. Tidak ada malaikat yang turun untuk melindungi
mereka ketika salat atau mencegah datangnya anak-anak panah dari punggung
mereka saat sujud. Karena itu, hendaklah para pasukan melindungi dirinya
sendiri. Para pasukan mukmin berusaha salat secara bergantian: sebagian mereka
salat dan sebagian mereka bertugas untuk menjaga.
Allah SWT berfirman:
"Dan apabila kamu berada di
tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama
mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu dan
menyandang senjata, kemudian apabila mereka sujud (telah menyempurnakan
serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi
musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu
bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan
menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin agar kamu lengah terhadap senjatamu
dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus."(QS.
an-Nisa': 102)
Selesailah masalah itu dan tidak adak
malaikat yang turun untuk melindunginya dan menolongnya. Ini adalah masa
kematangan akal dan masa keletihan para nabi dan orang-orang mukmin. Dan sesuai
kadar keletihan mereka dalam menyampaikan ajaran Islam, mereka pun akan
mendapatkan balasan yang besar.
Pada masa para nabi sebelum Nabi
Muhammad saw, mereka menghadirkan mukjizat-mukjizat kepada kaum mereka saat
memulai dakwah, sehingga kaum tersebut mempercayai apa saja yang mereka bawa,
sedangkan Nabi Muhammad bin Abdillah tidak menghadirkan kepada kaumnya selain
dirinya dan ketulusannya.
Allah SWT telah memutuskan untuk
melindungi Musa dan memerintahkannya untuk mengangkat gunung di atas kaumnya
hingga mereka beriman kepada Taurat, atau untuk menjatuhkan gunung tersebut di
atas mereka. Ketika mengetahui hal yang Demikian itu, orang-orang Yahudi sujud
dengan meletakkan pipi mereka di atas tanah dan mereka mengamati bukit batu
yang berada di atas kepala mereka yang diangkat oleh tangan yang tersembunyi.
Sedangkan Nabi Muhammad bin Abdillah tak pernah memaksa seseorang pun.
Berimanlah beberapa orang kepadanya dan puaslah beberapa orang kepadanya dan
matilah bersamanya orang-orang yang mati dalam keadaan puas. Beliau tidak
membawa pedang kecuali saat panah yang beracun mendekati jantung Islam dan
mengancamnya.
Dakwah para nabi menuntut terjadinya
mukjizat demi mukjizat. Ini karena masa kekanak-kanakan manusia serta kelemahan
akal dan hilangnya panca indera menuntut rahmat Allah SWT untuk mendatangkan
mukjizat yang sesuai dengan masa turunnya mukjizat tersebut dan budaya
masyarakat setempat. Adalah hal yang maklum bahwa di tengah-tengah penduduk
Mekah saat itu tidak terdapat orang-orang yang cerdas atau orang-orang yang
bijak yang mampu menyerap kata-kata yang baik. Dan kesulitan yang dihadapi oleh
Islam adalah bahwa ia tidak diturankan pada masa ini saja, tetapi Islam
diturunkan untuk setiap masa. Allah SWT mengetahui bahwa manusia telah memasuki
masa kematangan berpikir yang mengagumkan, maka hikmah-Nya menuntut bahwa
pernyataan yang pertama kali disebutkan dalam risalah-Nya adalah
"iqra'" (bacalah). Di samping itu, risalah tersebut mengandung
pemikiran yang universal, sistem yang membangun, dan hukum yang mempesona,
serta kebebasan yang diidamkan, dan manusia yang sempurna.
Adalah tidak mengurangi kehormatan
para nabi sebelum Nabi Muhammad saw di mana mereka tidak diutus di masa-masa
kematangan pemikiran, tetapi yang menambah kehormatan Nabi Muhammad saw bahwa
beliau diutus di tengah-tengah masa kematangan berpikir, dan beliau diutus
sebelum datangnya masa ini. Beliau memikul berbagai lipat cobaan yang pernah
dipikul oleh para nabi; beliau berdakwah dengan menanggung berbagai lipat
godaan dan cobaan; beliau mengalami siksaan yang pernah dialami oleh semua para
nabi; beliau mencintai Allah SWT sebagaimana para nabi mencintai-Nya. Allah SWT
memuliakannya ketika beliau mengimami mereka di saat salat pada saat beliau
melakukan Isra' dan Mi'raj. Meskipun demikian, ketika beliau keluar pada suatu
hari menemui sahabat-sahabatnya dan mendapati mereka mengutamakan para nabi dan
mendahulukannya atas mereka, maka beliau justru menampakkan kemarahan dan
wajahnya berubah. Beliau berkata: "Janganlah kalian mengutamakan aku atas
Yunus bin Mata."
Melalui pernyataan itu, beliau
berusaha meletakkan suatu pondasi pemikiran yang harus dilalui oleh kaum Muslim
di mana para nabi memang memiliki derajat tertentu di sisi Allah SWT. Boleh
jadi ada nabi yang lebih afdal atau yang lebih mulia daripada yang lain.
Siapakah yang menetapkan hal itu? Tidak ada seorang pun selain Allah SWT. Ada
pun kaum Muslim hendaklah mereka berhenti pada batas tertentu yang seharusnya
mereka berikan berkaitan dengan sopan santun terhadap para nabi. Selama Allah
SWT menyampaikan shalawat kepada rasul sebagai bentuk penghormatan dan
memerintahkan mereka untuk menyampaikan shalawat kepadanya, dan selama
Rasulullah seperti nabi-nabi yang lain, maka hendaklah mereka juga bershalawat
kepada semua nabi tanpa perbedaan, meskipun pada bentuk shalawat itu sendiri.
Sementara itu, bayi yang mungil itu
yang lahir di Mekah bergerak setelah tahun gajah. Kemudian berita tersebar di
sana sini dan Sampailah ke telinga kakeknya bahwa cucunya telah dilahirkan.
Abdul Muthalib segera menuju ke tempat itu dan membawa cucunya yang yatim lalu
berkeliling dengannya di Ka'bah sambil memikirkan namanya. Abdul Muthalib tidak
merasa terpukau dengan nama-nama yang mulai beredar di benaknya. Ia tampak
bingung menentukan nama yang paling tepat buat cucunya, bahkan kebingungannya
itu berlanjut sampai enam hari, sehingga sang Nabi disunat. Ketika malam telah
menyelimuti kawasan Mekah, datanglah kepadanya suara yang sama yang dulu pernah
dilihatnya dan didengarnya yang memerintahkannya untuk menggali zamzam. Di tengah-tengah
tidurnya, suara itu membisikkan kepadanya bahwa nama cucunya berasal dari
al-Ham, yang berarti Muhammad atau Ahmad.
Orang-orang Quraisy bertanya kepada
Abdul Muthalib: "Nama apa yang engkau berikan kepada cucumu?" Abdul
Muthalib menjawab sambil mengingat bisikan suara yang didengarnya saat mimpi,
"Muhammad." Nama tersebut sebenamya tidak umum di kalangan
orang-orang Jahilliyah. Mereka bertanya, "Mengapa Abdul Muthalib tidak
memakai narna-nama kakek-kakeknya dan nama-nama yang biasa dipakai di kalangan
mereka." Abdul Muthalib menjawab: "Aku ingin Allah SWT memujinya di
langit dan manusia memujinya di bumi."
Kami tidak mengetahui dorongan apa
yang mendikte Abdul Muthalib untuk menyatakan kalimat tersebut. Apakah kalimat
itu bersumber dari realitas kebanggaan orang-orang Arab yang populer atau
berasal dari realitas kebanggaan tradisional? Atau, apakah berangkat dari
realitas kegembiraan yang dalam dengan kelahiran si cucu, ataukah kalimat itu
bersumber dari suasana ruhani yang jernih dan bisikan alam gaib? Tentu kami
tidak bisa menjawab. Yang dapat kami ketahui adalah bahwa seseorang tidak akan
layak menyandang predikat manusia yang dipuji di bumi dan dipuji oleh Allah SWT
di langit seperti predikat yang disandang oleh Muhammad bin Abdillah.
Nabi Muhammad saw muncul ke alam wujud
dalam keadaan yatim. Beliau ditinggalkan oleh ayahnya saat beliau masih janin
di dalam perut ibunya. Allah SWT berfirman:
"Bukankah Dia mendapatimu sebagai
seorang yatim, lalu Dia melindungimu?" (QS. adh-Dhuha: 6)
Allah SWT melindunginya. Orang-orang
sufi mengatakan bahwa sebab-sebab kemanusiaan seperti adanya kakeknya Abdul
Muthalib dan bagaimana ia mengasuhnya dan melindunginya tidak lain hanya bentuk
lahiriah yang tidak begitu penting, sedangkan bentuk batiniah yang sebenarnya
adalah kita berada di hadapan manusia yang dilindungi dan diasuh oleh Tuhannya
sejak masih kecil. Allah SWT mendidiknya saat beliau masih kecil, dan
mengujinya dengan keyatiman saat beliau masih janin serta mengujinya dengan
kelaparan sejak masih kecil, dan dewasa dengan kematian si ibu, saat beliau
masih kecil dengan keterasingan di tengah-tengah keramaian, dan dengan terjaga
di tengah-tengah tidur serta dengan penderitaan demi penderitaan. Allah SWT
telah menyiapkannya sejak usia dini untuk memikul beban risalah terakhir.
Selanjutnya, ibunya seringkali
memeluknya lebih dari sebelumnya. Ia melihat bahwa banyak dari wanita-wanita
yang menyusui tidak berkenan untuk mengasuhnya. Adalah sudah menjadi tradisi
yang berkembang di Mekah di mana keluarga-keluarga yang mulia mengirim anaknya
ke kawasan dusun agar anak tersebut menyerap dan menghirup udara segar serta
memperoleh mainan yang memadai. Dan biasanya wanita-wanita yang menyusui
anak-anak lebih tertarik menyusui anak-anak dari orang-orang kaya. Namun ketika
pemimpin manusia seorang yang fakir, maka wanita-wanita yang biasa menyusui
tidak berminat kepadanya.
Marilah kita telusuri bagaimana
Halimah binti Abi Duaib menceritakan kisahnya bersama anak kecil yang
disusuinya: "Saat itu terjadi musim tandus dan kami tidak memiliki sesuatu
sehingga aku dan suamiku mengalami kemiskinan yang luar biasa. Lalu kami
menetapkan keluar ke Mekah dan menemani wanita-wanita dari Bani Sa'ad. Kami
semua mencari anak-anak yang masih menvusu agar orang tua mereka dapat membantu
kami untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Binatang yang aku tunggangi sangat
lemah dan sangat kurus yang itu semua disebabkan oleh kekurangan makanan.
Bahkan kami khawatir kalau-kalau ia berhenti di tengah perjalanan dan mati. Dan
kami tidak tidur semalaman karena melihat kondisi anak kecil yang bersama kami.
Ia menangis karena tidak menemukan makanan yang dapat dimakannya. Ia menangis
karena kelaparan dan tidak mendapat air susu, baik dari air susuku maupun air
susu unta yang dibawa oleh suamiku, sehingga kami tidak dapat memuaskan
dahaganya. Di tengah-tengah malam, aku merasakan keputusasaan. Aku
bertanya-tanya bagaimana aku dapat melakukan sesuatu dalam keadaan yang
demikian.
Akhirnya, kami sampai di Mekah.
Sementara itu, wanita-wanita yang ingin mencari anak-anak yang dapat mereka
susui telah mendahului kami. Mereka mengambil anak-anak kecil yang mereka
sukai, kecuali satu anak, yaitu Muhammad di mana ayahnya telah meninggal dan ia
berasal dari keluarga yang miskin meskipun sebenarnya kedudukannya sangat mulia
di antara tokoh-tokoh Quraisy. Oleh karena itu, wanita-wanita enggan untuk
mengasuhnya. Namun aku dan suamiku tidak sepaham dengan mereka karena aku tidak
peduli dengan keyatiman dan kcfakirannya. Kemudian aku malu untuk kembali dan
tidak mengambil bayi yang dapat aku susui kemudian. Di samping itu, aku malu
jika mendapat cercaan dari wanita-wanita itu. Lalu aku merasakan adanya kasih
sayang yang memenuhi hatiku terhadap anak kecil yang tampan itu yang akan
diganggu oleh udara yang kotor."
Kisah tersebut mengatakan bahwa saat
anak-anak kecil mendapatkan wanita-wanita yang menyusuinya, maka Muhammad bin
Abdillah sedang tidur dalam keadaan lapar di ranjangnya yang kasar, tanpa
disusui oleh siapa pun. Suatu hikmah yang tinggi berkehendak agar bayi yang masih
menyusui itu menghadapi dunia dalam keadaan yatim dan dalam keadaan kelaparan
agar ia dapat merasakan penderitaan anak-anak yatim dan orang-orang yang lapar
sebelum ia menyelamatkan mereka.
Halimah mengatakan bahwa ia meyakinkan
suaminya bahwa ia merasakan keinginan yang kuat untuk mengambil anak yatim ini,
sehingga suaminya menyetujuinya. Halimah tidak mengetahui rahasia keinginannya
yang samar agar ia kembali untuk mengambil anak yatirn yang masih menyusu ini.
Ia tidak mengetahui bahwa Allah SWT telah menanamkan rasa cinta kepada anak
kecil itu dalam hatinya seperti Allah SWT menanamkan cinta kepada Musa pada
hati isteri Fir'aun. Jika Musa menolak wanita-wanita lain untuk menyusuinya
kecuali ibunya setelah Allah SWT mencegahnya dari susuan wanita-wanita lain
agar ibunya merasa bahagia dan tidak bersedih, maka Muhammad bin
Abdillah—seorang anak kecil yang masih menyusu dan mulia—-justru ditolak oleh
wanita-wanita yang menyusui, sedangkan ia sendiri tidak pernah menolak
seseorang pun.
Halimah kembali kepadanya dan ia
memberitahu bahwa ia akan mengasuhnya. Nabi Muhammad saw adalah seorang yang
mulia. Halimah meletakkan tangannya di dadanya, sehingga anak kecil itu
tertawa. Halimah mencium di antara kedua matanya. la meletakkannya di kamarnya.
Halimah mengetahui bahwa kedua air susunya telah kering, namun tiba-tiba air
susunya memancar dengan keras sebagai bentuk kasih sayang dan tanda kebesaran
dari Allah SWT. Kini Halimah pun dapat menyusuinya. Apakah itu merupakan hikmah
yang tinggi di mana anak kecil tersebut merasa cukup dengan sesuatu yang
sedikit? Ataukah anak kecil itu sudah dapat mendidik dirinya untuk zuhud dan
qanaah sebelum ia mendidik orang-orang dewasa tentang pengorbanan dan
kesatriaan?
Halimah kembali ke gurun Bani Sa'ad
dan ia membawa Muhammad bin Abdillah. Belum lama ia menyaksikan tanahnya yang
tandus sehingga tiba-tiba kebaikan dunia terbuka dan mekar di hadapanya, di
mana bumi dipenuhi dengan kehijau-hijauan setelah mengalami masa tandus.
Pohon-pohon berbuah dan buah kurma tampak berseri-seri setelah sebelumnya layu,
bahkan susu-susu binatang pun mulai tampak banyak. Allah SWT memberikan
berkah-Nya kepada tempat tersebut. Halimah mengetahui bahwa kabaikan ini telah
datang bersama kedatangan anak kecil yang diberkahi, sehingga cintanya kepada
anak itu semakin bertambah. Bahkan suaminya pun menjadi tawanan cinta yang lain
kepada Muhammad saw.
Pada suatu hari ia berkata kepada
isterinya: "Apakah engkau mengetahui wahai Halimah bahwa engkau telah
mengambil seorang anak yang mulia?" Halimah berkata: "Anak kecil itu
tidak menangis dan tidak berteriak kecuali ketika ia telanjang." Ketika
anak kecil itu gelisah di tengah malam dan tidak tidur, maka Halimah membawanya
keluar dari kemah dan ia berhenti bersamanya di bawah sinar bintang. Saat itu
anak itu tampak bergembira ketika menyaksikan langit. Setelah kedua matanya
terpuaskan oleh pandangan ke arah langit, ia pun mulai tidur.
Ketika anak itu mencapai tahun yang
kedua, maka ia telah disapih, sehingga ibunya ingin mengambilnya, tetapi
Halimah tidak kuat untuk menahan perpisahan ini. Halimah menjatuhkan dirinya di
hadapan kedua kaki sang ibu dan ia mulai menciuminya dan ia meminta agar
membiarkannya bersama anaknya sehingga anak itu benar-benar kuat dan dapat
kembali menghirup udara segar gurun. Akhirnya, Rasulullah saw tinggal di tempat
Bani Sa'ad sampai lima tahun. Dan pada masa lima tahun ini terjadi peristiwa
penting yang terkenal dengan peristiwa pembelahan dada. Kehendak Ilahi telah
menetapkan kepada Ruhul Amin, yaitu Jibril untuk menemui Muhammad bin Abdillah
dan membelah dadanya dengan perintah Ilahi serta menyuci hatinya dengan rahmat
dan mengeringkannya dengan cahaya dan mengeluarkan bagian dunia darinya.
Seperti biasanya Rasulullah saw keluar
pada suatu hari bersama saudara susuannya dengan menunggangi sekawanan domba
menuju tempat pengembalaan. Di tengah hari, saudaranya berlari-lari dalam
keadaan takut dan menangis sambil berteriak bahwa Muhammad telah terbunuh.
Muhammad diambil oleh dua orang laki-laki yang memakai baju yang putih lalu
kedua orang itu menelentangkannya dan membelah dadanya.
Mendengar hal itu, Halimah sangat
kaget dan terpukul. Ia segera pergi sambil berlari mencari Muhammad dan diikuti
oleh suaminya yang mengikuti petunjuk anak kecil dari saudara Muhammad.
Akhirnya, mereka menemukan Muhammad sedang duduk di atas tanah di mana wajahnya
tampak pucat dan kedua matanya menyala.
Halimah dan suaminya mencium dengan
lembut dan mulai menampakkan kasih sayangnya. Kemudian mereka bertanya,
"apa yang terjadi?" Muhammad menjawab: "Ketika aku memperhatikan
domba-domba yang sedang bermain aku dikagetkan dengan kedatangan dua orang yang
memakai pakaian yang putih. Mula-mula aku menyangka bahwa mereka adalah burung
yang besar, namun ternyata aku salah. Mereka adalah dua orang yang tidak aku kenal
yang memakai pakaian warna putih. Salah seorang dari mereka berkata kepada
temannya dengan menunjuk ke arahku, "Apakah ini anaknya?" Yang lain
menjawab, "benar." Aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Lalu
mereka mengambilku dan menidurkan aku serta membelah dadaku dan mereka
mengambil sesuatu darinya hingga mereka mendapatinya dan membuangnya jauh-jauh.
Setelah itu, mereka bersembunyi laksana bayangan."
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Anas
dan juga diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad. Para mufasir berbeda pendapat
tentang simbolisme yang dalam ini. Sebagaian besar ulama menakwilkan peristiwa
tersebut. Pakar-pakar klasik, seperti Qurthubi berpendapat bahwa peristiwa itu
diisyaratkan oleh firman-Nya: "Bukankah Kami telah melapangkan untukmu
dadamu?. " (QS. Alam Nasyrah: 1)
Sedangkan tokoh-tokoh hadis, seperti
Ghazali berpendapat bahwa manusia istimewa seperti Muhammad saw tidak mungkin
terlepas dari bimbingan Ilahi dan tidak mungkin terkena waswas sekecil apa pun
yang biasa menimpa manusia biasa. Jika suatu kejahatan menjadi suatu gelombang
yang memenuhi cakrawala, maka di sana terdapat hati yang segera memungutnya dan
terpengaruh dengannya, namun hati para nabi dengan adanya bimbingan Allah SWT
tidak akan terpanggil dan tidak terkena arus kejahatan tersebut.
Dengan demikian, usaha para nabi
terfokus pada peningkatan kemajuan atau ketinggian, bukan memerangi kerendahan.
Diriwayatkan oleh Abdillah bin Mas'ud bahwa Rasulullah saw bersabda:
"Tidak ada seseorang di antara kalian kecuali ia diawasi oleh temannya
dari kalangan jin dan temannya dan dari kalangan malaikat." Para sahabat
berkata: "Apakah hal itu juga berlaku kepadamu wahai Rasulullah?"
Beliau menjawab: "Ya, tetapi Allah SWT membantuku, sehingga ia berserah
diri dan tidak memerintahkan kepadaku kecuali dalam kebaikan."
Begitulah sikap orang-orang yang
dahulu dan para ahli hadis berkaitan dengan peristiwa pembelahan dada. Kami
kira bahwa kejadian yang luar biasa tersebut berhubungan dengan persiapan Nabi
untuk melalui Isra' dan Mi'raj. Ia merupakan perjalanan di mana Rasulullah saw
akan menebus alam angkasa dan akan mencapai alam langit. Kemudian beliau akan
melampaui alam ini, sehingga sampai di Sidratul Muntaha yang di sana terdapat
Janatul Ma'wah.
Pandangan tersebut kembali kepada
pendapat kami yang mengatakan bahwa peristiwa pembelahan dada berulang lebih
dari sekali saat Rasul saw mencapai usia lima puluh tahun. Dan peristiwa
pembelahan dada terjadi kedua kalinya pada malam Isra' dan Mi'raj.
Bukhari meriwayatkan dari Malik bin
Sh'asha'a bahwa Rasulullah saw menceritakan kepada mereka peristiwa malam Isra'
di mana beliau bersabda: "Ketika aku berada di Hathim—atau beliau berkata
di Hijr—saat aku dalam keadaan antara tidur dan bangun, maka seorang datang
kepadaku lalu ia membelah antara ini dan ini. Yaitu antara kerongkongan dan
perutnya. Beliau melanjutkan: Lalu ia mengeluarkan hatiku dan membawa mangkok
dari emas yang penuh dengan keimanan lalu ia menyuci hatiku. Kemudian
diulanginya."
Kami kira bahwa pembelahan dada
merupakan bentuk simbolis yang menunjukkan kesucian Rasul saw dan sebagai
bentuk penyiapannya untuk melalui Isra' dan Mi'raj. Itu merupakan pemberitahuan
dari Ilahi bahwa anak ini akan mencapai suatu kedudukan yang belum pernah
dicapai oleh manusia dan tidak akan dicapai manusia sesudahnya. Setelah
peritiwa pembelahan dada, berubahlah kehidupan anak kecil itu di mana sebagian
besar waktunya digunakan untuk merenung dan menyendiri. Dari roman wajahnya
tampak keseriusan yang biasanya menghiasi wajah orang-orang dewasa.
Berlalulah hari demi hari, tahun demi
tahun dan Selesailah masa menetapnya bersama Halimah di dusun Bani Sa'ad.
Beliau sangat terpengaruh dan sangat terkesan dengan keadaan di sana.
Diriwayatkan bahwa beliau pemah mengingat masa kecilnya di Bani Sa'ad dan
beliau membanggakannya. Beliau menyebutkan pengorbanan mereka dan sikap mereka
yang baik. Beliau berkata: "Aku termasuk dari Bani Sa'ad, tanpa bermaksud
menyombongkan diri. Jika mereka berhadapan atau menyaksikan salah seorang
mereka lapar, maka mereka akan membagi makanan di antara mereka."
Kemudian Muhammad bin Abdillah kembali
ke Mekah saat usianya lima tahun. Beliau hidup beberapa hari bersama ibunya di
mana si ibu merasakan kesedihan yang dalam atas kepergian ayahnya. Sesuai janji
untuk mengingat ayahnya yang telah pergi, Aminah menetapkan untuk mengunjungi
kuburannya di Yatsrib. Jarak antara Mekah dan Yatsrib lebih dari lima ratus
kilo meter di gurun yang kering yang jauh dari tanda-tanda kehidupan. Anak itu
menempuh peijalanan yang berat. Setelah perjalanan yang berat ini, Muhammad bin
Abdillah tinggal di tempat paman-paman dari ibunya di Madinah selama satu
bulan. Muhammad melihat rumah yang di situ ayahnya meninggal sebelum ia
dilahirkan. Ia berziarah bersama ibunya ke kuburan yang sederhana yang ayahnya
dikuburkan di dalamnya. Mula-mula pikirannya terfokus pada keadaan yatim sambil
ia mulai memperhatikan linangan air mata ibunya yang diam.
Selesailah masa satu bulan
keberadaannya di sisi paman-pamannya. Kemudian ibunya menemaninya untuk kembali
ke Mekah. Kedua anak manusia itu sampai di pertengahan jalan. Muhammad bin
Abdillah tidak mengetahui rahasia kepucatan wajah ibunya. Lalu malaikatul maut
turun di suatu tempat yang yang bernama Abwa. Di situlah Aminah binti Wahab
telah bertemu dengan kekasihnya, Allah SWT.
Sang ibu meninggal dan meninggalkan
anak satu-satunya bersama seorang pembantu. Pembantu itu menampakkan rasa
kasihnya terhadap anak kecil yang kehilangan ayahnya saat masih janin dan
kehilangan ibunya saat berusia enam tahun. Muhammad bin Abdillah kini menjadi
sendiri dan ia dalam keadaan menangis. Ia mencapai kematangan setelah ia
melewati kesedihan kehidupan dan kerasnya kehidupan sebagai anak yatim.
Rasulullah saw pernah ditanya setelah
masa diutusnya: "Bagaimana pandanganmu?" Beliau menjawab:
"Pengetahuan adalah modalku. Akal adalah dasar agamaku. Cinta adalah
pondasiku. Zikrullah adalah kesenanganku. Dan kesedihan adalah temanku."
Allah SWT telah menyiramkan kepadanya
sungai-sungai kesedihan sehingga beliau dapat memberikan kepada manusia buah
dari kegembiraan dan ketulusan.
Anak kecil itu kembali ke Mekah dalam
keadaan sedih dan ia tampak terpaku. Lalu Abdul Muthalib, kakeknya menampakkan
cinta yang luar biasa dan penghormatan padanya. Setelah dua tahun ketika
Muhammad bin Abdillah berusia delapan tahun, maka meninggallah salah satu
benteng yang terbaik yang menjaganya, yaitu kakeknya Abdul Muthalib. Kemudian
anak kecil itu kini merenungi kakeknya laksana orang dewasa. Ia tampak tegar
seperti layaknya orang dewasa.
Kita tidak mengetahui mengapa terjadi
demikian. Mengapa hikmah Allah SWT mencegah Nabi yang terakhir untuk
mendapatkan kasih sayang seorang ayah, kasih sayang seorang ibu, dan bimbingan
seorang kakek? Apakah Allah SWT ingin memberi Nabi yang terakhir suatu kasih
sayang dan cinta yang semata-mata bersumber dari sisi-Nya? Apakah Allah SWT
ingin mendidiknya dengan kesedihan dan memberinya perasaan-perasaan yang penuh
dengan penderitaan? Apakah Allah SWT ingin membuat hati Rasul-Nya hanya tertuju
kepadanya? Dahulu Allah SWT berkata kepada Musa:
"Dan Aku telah memilihmu untuk
diri-Ku." (QS. Thaha: 41)
Dahulu Allah SWT memberi kabar gembira
kepada Musa di dalam Taurat sebagaimana Isa memberi kabar gembira di dalam
Injil dengan kedatangan seorang Nabi setelahnya yang bernama Ahmad. Dan Nabi
Musa meminta kepada Tuhannya agar memberinya dan memberi umatnya puncak
keutamaan, lalu Allah SWT menjawab bahwa Dia telah menetapkan keutamaan ini
kepada Nabi yang terakhir Ahmad dan umatnya.
Allah SWT telah memilih Musa untuk
diri-Nya. Meskipun Demikian, Dia tidak mencegahnya untuk mendapatkan kasih
sayang seorang ibu dan mendidiknya di tengah-tengah keluarganya. Namun Dia
berkehendak untuk menjadikan Nabi yang terakhir tercegah dari mendapatkan kasih
sayang seorang manusia dan cinta seorang manusia, sehingga Nabi tersebut hanya
mendapatkan kasih sayang Ilahi dan cinta Ilahi.
Allah SWT berfirman menceritakan
tentang keadaan Rasul terakhir:
"Bukankah Dia mendapatimu sebagai
seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang
bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang
kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Adapun terhadap anak yatim, maka
janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta,
maka janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu maha hendaklah
kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur). " (QS. ad-Dhuha: 6-11)
Makna ayat tersebut secara harfiah
adalah bahwa beliau dalam keadaan yatim lalu Allah SWT melindunginya; beliau
dalam keadaan tersesat lalu Allah SWT memberinya petunjuk; beliau dalam keadaan
fakir lalu Allah SWT memampukannya. Allah SWT melindunginya dengan mengasuhnya,
membimbingnya, dan mencukupinya. Itu adalah derajat keutamaan yang tidak pernah
dicapai oleh seseorang pun di dunia.
Setelah kematian kakeknya, maka
pamannya Abu Thalib mengasuhnya. Allah SWT telah meletakkan kecintaan pada hati
pamannya, sehingga pamannya mengutamakan Muhammad saw daripada anak-anaknya dan
memuliakannya serta menghormatinya, bahkan Abu Thalib mendudukkannya di ranjangnya
yang biasa dibentangkannya di hadapan Ka'bah di mana tidak ada seorang pun yang
duduk selainnya.
Muhammad bin Abdillah hidup di jantung
gurun Mekah sebagai seorang yang memiliki kesadaran yang tinggi di antara kaum
yang sedang lalai dan kaum yang mabuk-mabukan dan para penyembah berhala serta
para pedagang minuman keras dan para syair dan orang-orang yang berperang dan
tokoh-tokoh kabilah.
Muhammad bin Abdillah seorang yang
banyak diam dan ketika usianya semakin dewasa, maka ia bertambah banyak diam.
Beliau tidak berbicara kecuali jika diajak seseorang berbicara; beliau tidak
terlibat dalam permainan hura-hura anak-anak muda; beliau merasakan kesedihan
yang dalam; beliau sering menyendiri dan membuka matanya di hamparan
pasir-pasir. Mulutnya terdiam dan akalnya berpikir. Beliau merenungkan di masa
kecilnya bagaimana kaumnya bersujud terhadap berhala dan terpukau dengannya;
bagaimana orang-orang berakal mau bersujud kepada batu-batu yang tidak
memberikan mudharat dan manfaat dan tidak berbicara serta tidak dapat melakukan
apa-apa. Beliau mewarisi dari kekeknya Ibrahim kebencian yang fitri terhadap
dunia berhala dan patung.
Di dalam dirinya terdapat penghinaan
yang besar terhadap sembahan-sembahan dari batu ini, suatu penghinaan yang
menjadikannya tidak mau mendekat selama-lamanya terhadap patung tersebut. Namun
hatinya yang besar dipenuhi dengan kesedihan yang lebih hebat dari kesedihan
kakeknya Ibrahim. Beliau sedih karena akal manusia menyembah batu dan emas,
kesombongan serta kekuasaan penguasa; beliau mendengar apa yang dikatakan
manusia dan mengamat-amati urusan kehidupan dan keadaan masyarakat; beliau juga
menyaksikan betapa banyak pertentangan dan perkelahian di antara manusia yang
justru disebabkan oleh masalah-masalah yang sepele, sehingga keheranan beliau
semakin bertambah dan sudah barang tentu kesedihannya pun semakin dalam.
Tidakkah manusia mengetahui bahwa mereka akan mati seperti ayahnya, ibunya, dan
kakeknya? Mengapa mereka menimbulkan pertentangan ini, hingga mereka
mendapatkan lebih banyak kejahatan?
Ketika usianya semakin bertambah, maka
bertambahlah kezuhudannya dalam hidup, dan sepak terjangnya terus bersinar
memenuhi penjuru Mekah. Beliau tidak sama dengan seseorang pun dari kalangan
pemuda saat itu. Meskipun kami kira bahwa kesedihannya disebabkan oleh hal-hal
yang umum, tetapi beliau tidak mengungkapkan kegelisahan hatinya pada seseorang
pun. Beliau belum bertujuan untuk memperbaiki masyarakat atau kemanusiaan.
Benar bahwa pertanyaan-pertanyaan kritis timbul dalam benaknya dan ingin segera
menemukan jawaban, tetapi akalnya sendiri tidak dapat menemukan jawaban atau
jalan keluar. Inilah yang dimaksud dengan makna ayat:
"Dan Dia mendapatimu sebagai
seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk." (QS. adh-Dhuha: 7)
Yang dimaksud ad-Dhalal (kesesatan) di
sini ialah kebingungan akal dalam menafsirkan kejahatan dan usaha melawannya
karena ketiadaan senjata dan kecilnya usia. Semua itu justru menambah sikap
diam anak kecil itu dan menjauhkannya dari dunia yang akan mencemari akal,
sehingga akalnya selamat dari segala noda dan tetap di bawah naungan
kejernihannya.
Anak kecil itu tetap jauh dari
dosa-dosa yang dilakukan oleh kaumnya yang berupa kecenderungan untuk menyembah
berhala dan cinta kekuasaan dan kebanggaan. Ia selalu mendekat dan lebih
mendekat kepada hakikatnya yang suci; ia mampu mempengaruhi orang lain dengan
jiwanya yang bersih dan rahmatnya atau kasih sayangnya tertuju kepada manusia,
bahkan kepada binatang dan burung. Ketika ia duduk akan makan lalu ada burung
merpati berkeliling di seputar makanannya rnaka ia meninggalkan makanannya
untuk burung itu. Pada saat orang-orang memukul anjing yang mendekat kepada
makanan mereka, maka ia justru mencabut suapan yang ada di mulutnya dan
memberikannya pada anjing, kucing, anak-anak kecil, dan orang-orang fakir.
Bahkan seringkali di waktu malam ia tidur dalam keadaan lapar karena ia
memberikan makanannya ke orang lain.
Muhammad saw adalah seorang fakir yang
harus bekerja agar dapat makan, maka beliau bekerja sebagai pengembala kambing,
seperti Nabi Daud, Nabi Musa, dan nabi-nabi yang lain yang diutus oleh Allah
SWT. Kemudian beliau melakukan perjalanan bersama kafilah pamannya Abu Thalib
menuju Syam saat beliau berusia tiga belas tahun. Beliau menyaksikan keadaan
umat-umat yang lain, maka keheranannya semakin bertambah terhadap masa
jahiliyah ini. Ketika beliau menyaksikan orang-orang tersesat, maka
kesedihannya semakin bertambah dan hatinya semakin tersentuh dan pikirannya
semakin dalam.
Pada saat perjalanan menuju ke Syam
ini terjadi suatu peristiwa terhadap anak kecil itu. Kemungkinan besar itu
justru menambah kebingungannya. Seorang pendeta yang bernama Buhaira berdiri di
jendela rumah yang menjadi tempat peribadatannya di Suria. Tiba-tiba ia memperhatikan
suatu awan putih—tidak seperti biasanya—yang menghiasai langit yang biru. Saat
itu udara sangat terang, sehingga munculnya awan tersebut sangat mengherankan.
Kemudian pandangan Buhaira yang tertuju ke langit, kini tertuju ke bumi di mana
ia mendapati awan itu menyerupai burung yang putih yang menaungi kafilah kecil
yang menuju ke arah utara. Buhaira memperhatikan bahwa awan tersebut mengikuti
kafilah.
Jantung Buhaira berdebar dengan keras
karena ia mengetahui melalui buku-buku peninggalan kaum Masehi yang otentik
bahwa seorang nabi akan muncul ke dunia setelah Isa. Sifat dan kabar nabi
tersebut diceritakan dalam buku-buku kuno. Buhaira segera meninggalkan
tempatnya, lalu ia segera memerintahkan untuk menyiapkan makanan yang besar.
Kemudian ia mengutus seseorang untuk menemui kafilah tersebut dan mengundang
mereka untuk jamuan makan. Salah seorang mereka berkata dengan nada bercanda
kepada Buhaira: "Demi Lata dan 'Uzza, engkau hari ini tampak lain wahai
Buhaira. Engkau tidak pernah melakukan demikian kepada kami, padahal kami telah
melewati dan singgah di tempat ini lebih dari sekali. Ada peristiwa apa
gerangan wahai Buhaira?"
Buhaira menjawab: "Hari ini
kalian adalah tamu-tamuku." Pertanyaan orang tersebut tidak dijawab dengan
terang-terangan. Ia sengaja menghindarinya dan tidak menyingkapkan rahasia
kemuliaan yang datangnya tiba-tiba ini. Buhaira memberi makan mereka dan mulai
memperhatikan di antara mereka adanya seseorang yang memiliki tanda-tanda yang
dibacanya dalam kitab-kitabnya yang kuno tentang seorang rasul yang ditunggu.
Namun ia tidak menemukannya, hingga ia bertanya kepada mereka: "Wahai kaum
Quraisy, apakah ada seseorang yang tidak hadir bersama jamuanku ini?"
Mereka menjawab: "Benar, ada seseorang yang tidak ikut bersama kami. Kami
meninggalkannya karena ia masih kecil." Buhaira berkata: "Sungguh aku
telah mengundang kamu semua. Panggilah ia supaya hadir bersama kami dan memakan
makanan ini." Salah seorang lelaki dari kaum Quraisy berkata: "Demi
Lata dan 'Uzza, sungguh tercela bagi kami untuk meninggalkan Muhammad bin
Abdillah bin Abdul Muthalib dari jamuan yang kami diundang di dalamnya.
Pamannya meminta maaf karena Muhammad
masih kecil, kemudian sebagian mereka berdiri dan menghadirkannya. Belum lama
Buhaira memandangi kejernihan dua mata Muhammad, sehingga ia mengetahui bahwa
ia telah mendekati tujuannya. Buhairah terpaku ketika memandangi Muhammad bin
Abdillah sehingga kaum selesai makan dan mereka berpisah.
Muhammad bin Abdillah duduk sendirian.
Buhaira menghampirinya dan berkata: "Wahai anak kecil, demi kedudukan Lata
dan 'Uzza, sudikah kiranya engkau memberitahu aku terhadap apa yang aku
tanyakan kepadamu?" Buhaira ingin mengetahui sikap anak ini terhadap
berhala kaumnya. Anak kecil itu menjawab: "Jangan engkau bertanya kepadaku
tentang Lata dan 'Uzza. Demi Allah, tidak ada sesuatu yang lebih aku benci
daripada keduanya." Buhaira berkata: "Dengan izin Allah aku ingin
bertanya kepadamu." Anak kecil itu menjawab: "Tanyalah apa saja yang
terlintas di benakmu."
Buhaira bertanya kepada anak kecil itu
tentang keluarganya, kedudukannya di tengah-tengah kaumnya, mimpinya dan
pendapat-pendapatnya. Dialog tersebut terjadi jauh dari pantauan kaum karena
mereka tidak akan diam ketika mendengar bahwa Muhammad membenci berhala-berhala
mereka. Kemudian Muhammad menjawab pertanyaan-pertanyaan Buhaira dengan yakin,
hingga membuat Buhaira mantap bahwa ia sekarang duduk bersama seorang Nabi yang
kabar berita gembiranya disampaikan oleh Nabi Isa sebagaimana disampaikan oleh
nabi-nabi dari kaum Israil dari kaum Nabi Musa. Setelah itu, ia bangkit
meninggalkan anak kecil itu dan menuju ke Abu Thalib ia bertanya tentang
kedudukan anak kecil itu di sisinya. Abu Thalib menjawab: "Ia adalah
anakku." Buhaira berkata: "Tidak mungkin ayahnya masih hidup."
Abu Thalib berkata: "Benar. Ia anak saudaraku. Ayahnya dan ibunya telah
meninggal." Buhaira berkata: "Engakau benar, kembalilah kamu ke
negerimu dan hati-hatilah dari kaum Yahudi." Abu Thalib bertanya tentang
rahasia dari apa yang dikatakan oleh pendeta itu. Pendeta itu mulai mengetahui
bahwa ia telah berbicara lebih dari yang semestinya. Lalu ia berkata: "Ia
akan memiliki kedudukan tertentu." Buhaira tidak menjelaskan lebih dari
itu dan ia tidak menentukan kedudukan yang dimaksud.
Lalu berlalulah peristiwa tersebut
tanpa terlintas dari benak seseorang atau tanpa menggugah kesadaran di antara
mereka. Kisah tersebut tidak membawa pengaruh berarti bagi kafilah atau kepada
Nabi sendiri. Kafilah menganggap bahwa penghormatan pendeta kepada Muhammad bin
Abdillah dan memberitahunya akan kedudukan yang akan disandangnya adalah
semata-mata basa-basi yang biasa diucapkan di atas meja makan ketika para tamu
memuji kedermawanan tuan rumah. Dan sebagai balasannya, orang yang mengundang
akan memuji akhlak para pemuda mereka. Alhasil, peristiwa tersebut tidak
membawa pengaruh apa pun, baik bagi Muhammad maupun bagi sahabat-sahabat yang
ikut dalam kafilah, sehingga mereka tidak mengetahui rahasia perkataan pendeta
dan mereka tidak menyebarkan pembicaraan yang mereka dengar darinya. Peristiwa
itu tersembunyi meskipun ia sungguh sangat membingungkan Muhammad.
Apa gerangan yang terjadi antara
dirinya dan orang-orang Yahudi, sehingga pendeta perlu mengingatkan pamannya
dari ancaman mereka? Apa kedudukan yang akan diembannya seperti yang diceritakan
oleh pendeta itu? Dan apa hubungan semua ini dengan kesedihan-kesedihannya yang
dalam serta kebingungannya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sedikit demi sedikit
berputar di benaknya. Kemudian seperti biasanya kafilah tersebut kembali ke
Mekah. Muhammad kembali menuju keterasingannya. Ia memperhatikan keadaan alam
di sekitarnya. Kemudian ia melihat kembali penderitaannya; ia berusaha untuk
mendapatkan kehidupannya; ia mengabdi kepada manusia dan mengorbankan apa saja
demi kemuliaan mereka.
Hari demi hari berlalu. Muhammad saw
tampil dengan pakaian ketulusan kasih sayang, dan amanah serat cinta,
sebagaimana pelita dipenuhi oleh cahaya, sehingga kejujurannya terkenal di
tengah-tengah kaumnya. Bahkan kejujuran dan amanatnya tidak bakal diragukan
oleh seseorang pun dari penduduk Mekah. Dan ketika beliau datang dengan membawa
risalahnya dan beliau ditentang mayoritas masyarakatnya, namun tak seorang pun
yang berani meragukan kejujurannya. Mereka hanya menuduh bahwa ia terkena sihir
atau kesadarannya telah hilang.
Pada tahun ketiga belas dari masa
kenabian, ketika semua kabilah sepakat untuk membunuhnya dan mengucurkan
darahnya di antara para kabilah dan mereka mengepung rumahnya, maka di saat
situasi yang sulit ini beliau menetapkan untuk berhijrah. Tetapi sebelumnya
beliau mewasiatkan kepada Ali bin Abi Thalib, anak pamannya untuk tetap tinggal
di rumahnya agar ia dapat mengembalikan amanat yang dititipkan oleh semua
musuhnya dan para sahabatnya. Ini beliau maksudkan agar Ali dapat menyerahkan
amanat tersebut di waktu pagi kepada para pemiliknya. Anda dapat melihat betapa
para musuhnya merasa aman terhadap harta mereka ketika dijaga oleh Muhammad
saw.
Hari demi hari berlalu dan tahun demi
tahun pun lewat. Sementara itu, kesucian dan kejujuran Muhammad saw semakin meningkat.
Dan di tengah lautan keheningan yang mencekam, ketika Muhammad bin Abdillah
menyebarkan layar perahunya yang putih, maka ia harus menemui hakikat azali
yang bertemu dengan-nya semua nabi dan rasul. Muhammad bin Abdillah mengetahui
bahwa alam yang besar ini mempunyai Tuhan Pengatur dan Pencipta; Tuhan yang
Maha Satu dan yang tiada tuhan selain-Nya.
Muhammad dijauhkan dari suasana
kenikmatan dan foya-foya yang biasa dilakukan oleh para pemuda seusianya. Dan
ketika pemuda Mekah berbangga-bangga dengan banyaknya minuman keras yang mereka
minum dan banyaknya bait-bait syair yang mereka katakan tentang wanita, maka
Muhammad bin Abdillah telah menemukan jati dirinya di suatu gua yang tenang di
gunung yang besar. Ia memilih untuk menghabiskan waktunya di dalam keheningan
gua tersebut. Ia merenung dengan hatinya tentang keadaan alam; ia memikirkan
keagungan rahasia-rahasianya dan rahmat Penciptanya serta kebesaran-Nya.
Pada tahun yang kedua puluh lima,
beliau mengenal Ummul Mu'minin, isterinya yang pertama, yaitu Khadijah binti
Khuwailid yang saat itu berusia empat puluh tahun. Khadijah adalah wanita yang
mulia dan mempunyai cukup harta. Ia berdagang dan suaminya telah meninggal.
Banyak orang yang mendekatinya dengan alasan untuk mendapatkan kekayaannya. Khadijah
mencari seseorang laki-laki yang dapat membawa harta dagangannya menuju Syam,
lalu Khadijah mendengar berita yang cukup banyak berkenaan dengan kejujuran dan
amanat serta kesucian Muhammad bin Abdilah. Akhirnya, Khadijah mengutus
Muhammad saw untuk membawa barang dagangannya. Muhammad saw pergi dalam
perjalanannya yang kedua ke Syam saat beliau berusia dua puluh lima tahun.
Allah SWT memberkati perjalannya di mana beliau kembali dengan membawa
keuntungan yang berlipat ganda yang diserahkannya kepada Khadijah. Muhammad saw
tidak peduli dengan harta Khadijah dan tidak peduli kepada kecantikannya;
Muhammad saw hanya memandang kemuliaan yang dipegangnya. Kemudian Khadijah
merasakan getaran cinta terhadap Muhammad saw. Dan Akhirnya, ia mengutarakan
keinginan untuk menikah dengannya, hingga Muhammad saw pun setuju.
Paman Muhammad saw, Abu Thalib berdiri
dan menyampaikan khotbah pada saat perayaan perkawinannya: Muhammad saw tidak
dapat dibandingkan dengan seorang pun dari kaum Quraisy karena ia adalah
seorang yang mulia, baik dari sisi akal maupun ruhani. Meskipun ia seorang yang
fakir namun harta adalah naungan yang akan hilang dan benda yang bersifat
sementara.
Setelah menikah, Muhammad saw justru
mendapatkan kesempatan yang lebih besar untuk merenung dan menyendiri serta
beribadah. Kemudian kehidupan yang dijalaninya justru meningkatkan
kemuliaannya, sehingga keutamaannya tersebar di sana sini. Beliau tidak pernah
terlibat dalam pergulatan yang keras untuk memperebutkan materi-materi dunia.
Beliau selalu menggunakan akal sehatnya daripada terlibat dalam kesesatan
mereka dan kegelapan berhala yang menyelimuti banyak orang pada saat itu.
Kemudian usianya kini mendekati empat puluh tahun.
Setelah merasakan kesunyian di
tengah-tengah masyarakat, beliau lebih memilih untuk menjauh dari mereka.
Beliau mencari-cari hakikat, sehingga Allah SWT membimbingnya untuk menyendiri
di gua Hira. Akhirnya, beliau dapat keluar dari Mekah. Beliau berjalan beberapa
mil. Kemudian beliau mulai mendaki dan mendaki. Setiap kali ia mendaki gunung,
maka tempat itu semakin luas. Udara tampak lembut dan tersingkaplah hijab, dan
pandangan semakin terbentang. Kemudian beliau memasuki gua. Keheningan
menyelimuti segala sesuatu, namun hati tetap sadar dan tidak ada sesuatu yang
dapat menghalang-halangi pandangan internal yang dalam. Dalam suasana kesunyian
terkadang lahirlah pemikiran-pemikiran yang cemerlang yang kemudian menyebarkan
sayap-sayapnya dan membumbung, pertama-tama di atas angkasa gua lalu tersebar
menuju ke tempat yang lebih luas. Tidak ada sesuatu pun yang membatasinya atau
mengekang kebebasannya.
Kita tidak mengetahui pikiran-pikiran
apa yang terlintas pada manusia termulia dan terbesar di atas bumi itu saat
beliau duduk di gua Hira beberapa bulan. Apa yang beliau pikirkan dan apa
gerangan yang beliau risaukan? Mimpi apa yang ada di benaknya dan
perasaan-perasaan apa yang lahir dalam hatinya? Bagaimana keadaan batu-batu
yang ada di sisinya? Apakah atom-atom batu yang berputar di sekelilingnya
menyahuti tasbihnya yang diam, seperti atom-atom batu yang bersahut-sahutan
bersama Daud saat ia membaca kitabnya Zabur.
Kami tidak mengetahui secara pasti
bentuk kelahiran yang terjadi dalam dirinya. Yang kita ketahui adalah bahwa
beliau tidak berpikir tentang kenabian dan beliau tidak berpikir untuk
memberikan petunjuk kepada manusia; beliau tidak melakukan praktek-praktek
sufisme karena beliau sudah menjadi seorang sufi sebelum diutus di
tengah-tengah manusia. Kemudian Allah SWT memilihnya sebagai Nabi lalu beliau
meninggalkan uzlahnya dan turun ke medan serta membawa senjata. Beliau
mempertahankan kebenaran, sehingga beliau bertemu dengan Tuhannya. Mula-mula
lahirlah tasawuf dan setelahnya lahirlah jihad di jalan Allah SWT. Tasawuf
bukanlah puncak atau hasil sebagaimana diyakini oleh manusia sekarang, tetapi
ia adalah permulaan jalan yang panjang di mana pada akhirnya yang bersangkutan
menggunakan senjata sebagai bentuk usaha untuk membela manusia dan
kehormatannya.
Pada suatu hari beliau duduk di gua
Hira dan tiba-tiba beliau dikagetkan dengan kedatangan Jibril yang berdiri di
depan pintu gua. Malaikat tersebut memeluknya erat-erat lalu memerintahkannya
untuk membaca sambil berkata: "Bacalah!" Muhammad bin Abdillah
menjawab: "Aku tidak mampu membaca." Beliau ingin mengatakan bahwa
beliau tidak mengenal bacaan dan tulisan. Kalau begitu, apa yang harus beliau
baca? Malaikat kembali memeluknya dengan kuat sehingga Rasulullah saw
menganggap bahwa ia meninggal. Kemudian malaikat melepasnya dan
memerintahkannya untuk membaca. Beliau kembali menjawab: "Aku tidak bisa
membaca." Malaikat yang mulia kembali memeluknya dan kembali memerintahkan
untuk membaca. Dan lagi-lagi Rasulullah saw menjawab dengan gemetar: "Apa
yang aku baca?" Kemudian Jibril membaca permulaan ayat-ayat yang turun
kepada beliau:
"Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan
perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya." (QS. al-'Alaq: 1-5)
Setelah peristiwa itu, Jibril
menghilang secara tiba-tiba sebagaimana ia muncul secara tiba-tiba. Rasulullah
saw merasakan dalam dirinya kejadian yang luar biasa yang pernah dirasakan oleh
Nabi Musa saat beliau mendengar panggilan-panggilan suci di lembah Thuwa.
Sebagaimana Nabi Musa lari ketakutan, maka Muhammad bin Abdillah pun segera
menuju ke rumahnya dalam keadaan ketakutan. Ia turun ke gunung dan kembali ke
rumahnya dan kembali ke isterinya. Tubuhnya yang mulia bergetar denga keras dan
beliau merasakan ketakutan dan kegelisahan.
Apakah beliau kali ini berhubungan
dengan jin atau alam perdukunan? Apakah beliau telah mengigau sehingga beliau
mendengar suara-suara dan melihat wajah-wajah yang belum pernah dilihatnya?
Rasulullah saw mengkhawatirkan dirinya karena beliau sangat benci kepada
perdukunan. Beliau memasuki rumahnya dengan keadaan gemetar. Beliau berkata
kepada isterinya: "Selimutilah aku, selimutilah aku!" Kemudian
isterinya segera menyelimuti dengan selimut dari wol dan mengusap keringat yang
berada di keningnya. Isterinya dikagetkan dengan kepucatan wajah beliau yang
mulia dan kegemetaran tubuhnya.
Khadijah bertanya kepadanya: "Apa
yang sedang terjadi?" Kemudian Muhammad saw menceritakan secara detail apa
yang dialaminya. Kemudian ia berkata: "Sungguh aku khawatir terhadap
diriku." Khadijah mengetahui bahwa ia sekarang berhadapan dengan masalah
yang serius, suatu berita gembira yang ia tidak mengetahui hakikatnya, suatu
berita gembira yang seharusnya tidak dihadapi Muhammad saw dengan kekhawatirkan
dan kegelisahan.
Khadijah berkata dengan maksud untuk
meredakan ketakutannya: "Tenanglah. Demi Allah, Allah SWT tidak akan
menghinakanmu selama-lamanya. Sungguh engkau adalah seorang yang baik, yang
menyambung tali silaturahmi, yang berbicara dengan jujur, dan yang menghormati
tamu."
Meskipun kalimat-kalimat tersebut
penuh dengan kedamaian dan kesejukan, tetapi kegelisahan Rasul saw juga belum
hilang. Kemudian Khadijah pergi bcrsama beliau ke rumah Waraqah bin Nofel,
yaitu anak dari paman Khadijah. Waraqah adalah seorang Nasrani dan dia mampu
menulis kitab dalam bahasa Ibrani dan ia cukup mengetahui kitab-kitab Taurat
dan Injil di mana matanya telah buta karena masa tua.
Khadijah berkata kepadanya:
"Wahai putra pamanku, dengarlah dari anak saudaramu." Waraqah
berkata: "Wahai anak saudaraku, apa yang engkau lihat?" Rasulullah
saw menceritakan apa yang dialaminya secara sempurna. Waraqah berkata sambil
mengangkat kepalanya yang tampak keheranan: "Itu adalah Namus (Jibril)
yang Allah SWT turunkan kepada Musa." Sebagai seorang yang mengerti,
Waraqah bin Nofel mengetahui bahwa ia berada di hadapan seorang Nabi yang
berita gembiranya disampaikan oleh Taurat dan Injil.
Setelah keheningan sesaat, Waraqah
berkata: "Seandainya aku masih hidup ketika kaummu mengeluarkanmu dan
mengusirmu." Rasulullah saw bertanya: "Mengapa aku harus diusir oleh
mereka?'' Waraqah menjawab: "Benar, tidak ada seorang pun yang akan datang
seperti dirimu kecuali engkau akan mengalami penderitaan dan pengusiran.
Seandainya aku hadir di saat itu niscaya aku akan menolongmu."
Demikianlah, akhirnya Islam pun
dikembangkan. Kehendak Allah SWT terlaksana dan Allah SWT telah memilih Nabi
yang terakhir di muka bumi dan orang Muslim yang pertama. Barangkali pembaca
akan bertanya: Apa hakikat dari Islam? Apabila Muhammad saw sebagai Nabi yang
terakhir yang diutus oleh Allah SWT di muka bumi dan kita mengetahui bahwa para
nabi semuanya sebagai Muslim, maka bagaimana beliau dapat dikatakan mendahului
mereka dalam keislaman dan menjadi orang Muslim yang pertama?
Islam yang dibawa oleh Muhammad saw
tidak berbeda dalam esensinya dengan Islam yang dibawa oleh Nabi Nuh, Nabi
Musa, Nabi Isa atau nabi yang lain, tetapi yang berbeda adalah bentuknya,
sedangkan esensinya tetap seperti semula, yakni berdasarkan tauhid. Islam yang
dibawa oleh Nabi Muhammad saw berbeda dalam bentuknya dengan Islam yang dibawa
nabi-nabi sebelumnya karena sebab yang penting, yakni bahwa Islam ini merupakan
ajaran yang universal dan berisi aspek kemanusiaan yang abadi. Islam tidak
terbatas atas orang-orang Arab tetapi ia berlaku atas semua golongan. Islam
yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw tidak terbatas untuk kabilah tertentu atau
bangsa tertentu atau bumi tertentu atau lingkungan tertentu atau zaman
tertentu, tetapi ia untuk semua manusia. Atau dengan kata lain, ia merupakan
ajakan untuk membangkitkan akal manusia di mana saja mereka berada tanpa ada
batasan tempat atau waktu.
Universalitas ajaran Islam tidak
dikenal pada risalah-risalah Ilahi sebelumnya di mana setiap risalah itu
diperuntukkan bagi bangsa tertentu dan zaman tertentu. Oleh karena itu,
mukjizat-mukjizat yang mengagumkan yang bersifat temporal seringkali mendukung
risalah-risalah yang dahulu. Ketika Islam datang sebagai bentuk ajakan untuk
menghidupkan akal manusia secara bebas, maka di sana tidak ada alasan untuk
membawa mukjizat yang mengagum-kan. Hanya ada satu kata yang dapat dijadikan
pembuka untuk berdakwah dan membuka akal manusia, yaitu kata "iqra"'
(bacalah). Dan hendaklah bacaan ini berdasarkan nama Allah SWT. Dengan nama
Tuhanmu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Coba
Anda renungkan permulaan pertumbuhan dan puncak pencapaian. Di sini tersembunyi
mukjizat yang hakiki jika Anda berusaha mencari mukjizat yang hakiki.
Bacalah, dan Tuhanmu Yang Maha Mulia,
yang memberikan nikmat penciptaan dan rezeki serta rahmat dan kelembutan. Dia
Maha Mulia yang mengajarkan manusia apa saja yang tidak diketahuinya.
Demikianlah esensi dari Islam, yaitu ajakan untuk membaca. Ia adalah dakwah
yang menunjukkan kedudukan ilmu. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya yang takut kepada
Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orangyang berilmu (ulama)."
(QS. Fathir: 28)
Takut kepada Allah SWT tidak akan
muncul kecuali berdasarkan ilmu. Mustahil kebodohan dengan bentuk apa pun akan
melahirkan rasa takut. Oleh karena itu, dalam pandangan Islam ilmu adalah hal
yang pokok. Ia bukan kemewahan dan bukan hanya perhiasan. Kaum Muslim telah
mengalami masa kemuliaan dan kejayaan dan mereka berhasil menguasai bumi ketika
mereka memahami Islam secara benar, tetapi ketika pemahaman ini jauh dari
mereka, maka mereka kembali dalam keadaan yang paling buruk, bahkan lebih buruk
daripada masa jahiliah.
Jadi, ilmu dalam Islam merupakan tujuan
yang mulia dan utama dalam penciptaan alam wujud. Kisah Nabi Adam dan Hawa,
sebagaimana diceritakan oleh Al-Qur'an adalah bukan semata-mata kisah kesalahan
memakan pohon tcrlarang, tetapi ia juga kisah yang memiliki dimensi-dimensi
yang dalam dan aspek-aspek yang beraneka ragam. Ketika Anda menyclami
kedalamannya, maka Anda akan dapat menemukan simbol-simbol dari makna-makna
yang lebih penting.
Dialog internal yang dialami oleh para
malaikat tentang rahasia pemilihan Nabi Adam untuk memakmurkan bumi dan menjadi
khalifah di dalamnya serta pengajaran yang diperoleh Nabi Adam tentang
nama-nama semuanya dan bagaimana beliau mengemukakan nama-nama tersebut kepada
para malaikat, serta ketidaktahuan mereka tentang nama-nama itu, kemudian usaha
Nabi Adam untuk memberitahu mereka tentang apa yang diketahuinya serta
pengetahuan para malaikat tentang rahasia pemilihan Nabi Adam dan para
keturunannya untuk memakmurkan bumi, semua ini menjadikan tujuan dari
penciptaan manusia adalah pencapaian ilmu atau ma'rifah secara umum. Pandangan
tersebut dikuatkan oleh firman Allah SWT:
"Dan Ahu tidak menciptakan jin
dan manusia kecuali untuk menyembah-(Ku)." (QS. adz-Dzariat: 56)
Lalu bagaimana kita memahaminya saat
ini dan bagaimana generasi yang pertama dari kaum Muslim dan dari
sahabat-sahabat Rasul saw dan para pengikutnya dan para tentaranya memahaminya?
Saat ini kita memahaminya dengan pemahamam yang sederhana. Kita mengetahui
bahwa kalimat "untuk menyembah-Ku " berarti ritualitas dalam
beribadah dan aspek-aspek lahiriahnya, seperti mengucapkan kalimat syahadat,
salat, puasa, haji, zakat dan lain-lain. Sehingga orang-orang yang salat
diperbolehkan untuk menyembah Allah SWT di negeri mereka atau di rumah-rumah
mereka, meskipun mereka hidup di bawah pemikiran orang-orang Barat dan membeli
produk-produk yang dibuat mereka serta memanfaatkan ilmu dan kecanggihan
tehnologi orang-orang Barat. Namun mereka sendiri tidak menghasilkan apa-apa.
Mereka tidak dapat memberikan kontribusi kepada kehidupan; mereka tak ubah-nya
seperti bulu yang dimainkan oleh ombak. Sedangkan pemahaman yang dahulu
berkaitan dengan kalimat tersebut sebagai berikut:
"Dan Aku tidak menciptakan jin
dan manusia kecuali untuk menyembah-(Ku). " (QS. adz-Dzariat: 56)
Ibnu Abbas membacanya: "Illa
liya'rifuun." (Agar mereka mengetahui). Perhatikanlah bagaimana pentingnya
perbedaan antara praktek-praktek ibadah dengan bentuk-bentuknya dan
kedalamannya yang jauh dalam ma'rifah yang menyebabkan rasa takut kepada Allah
SWT. Orang Muslim yang pertama meyakini bahwa Allah SWT menciptakannya agar ia
mengetahui Allah SWT atau agar ia mengenal Allah SWT. Sehingga ambisi orang
Muslim yang pertama sangat mengagumkan. Mereka pergi untuk membebaskan dunia
semuanya: satu tangan berpegangan dengan Al-Qur'an dan tangan yang lain memegang
pedang untuk menghancurkan belenggu-belenggu yang menyeret manusia kepada
kesesatan.
Kemudian jatuhlah dari Islam hakikat
ilmu, sehingga umat Islam tidak dapat memimpin kehidupan dan mereka justru
men-dapatkan kehinaan. Allah SWT berfirman:
"Allah menyatakan bahwasannya
tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan
orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan
melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya agama yang
diridhai di sisi Allah hanyalah Islam." (QS. Ali 'Imran: 18)
Setelah kesaksian kepada Allah swt dan
kesaksian kepada malaikat, maka disebutlah secara langsung kesaksian kepada
orang-orang yang berilmu. Maka, adakah penghormatan terhadap ilmu yang lebih
besar daripada penghormatan ini? Ilmu dalam Islam berbeda dengan ilmu dalam
peradaban Barat. Memang benar bahwa Islam yang bertanggung jawab terhadap
tumbuhnya pandangan ilmiah dan metode eksperimental di mana berdasarkan metode
ini tegaklah peradaban Barat yang kemudian melahirkan berbagai produksi,
pembuatan, dan penemuan. Dan metode eksperimental adalah metode al-Istiqra,
yaitu suatu metode yang mengikuti bagian-bagian terkecil (parsial) melalui
jalan eksperimen yang dapat tunduk terhadap eksperimen dan melalui jalan
memperhatikan hal-hal yang tidak dapat tunduk terhadap suatu eksperimen, atau
melalui jalan matematis murni yang membutuhkan kepada matematis murni di mana
hal itu bertujuan untuk menyingkap hukum-hukum yang menguasai benda. Sistem ini
bidangnya adalah alam dan alatnya adalah panca indera dan akal. Sistem ini
dimanfaatkan oleh seorang Eropa yang bernama Roger Bikun. Ia mengakui bahwa ia
sangat berhutang kepada kaum Muslim dan peradaban Islam.
Seorang guru yang bernama Bruicll
dalam bukunya Abna' al-Insaniah menceritakan tentang dasar-dasar peradaban
Barat di mana ia berkata: "Roger Bikun mempclajari bahasa Arab dan
ilmu-ilmu Arab di sekolah Oxford kepada guru-gurunya yang berasal dari Arab di
Andalus. Dan Roger Bikun dan Fenessis Bikun tidak dapat menisbatan keutamaan
yang mereka peroleh dalam menciptakan sistem eksperimental kepada diri mereka
sendiri. Roger Bikun hanya seorang duta dari duta-duta ilmu. Oleh karena itu,
ia tidak malu ketika menyatakan bahwa mempelajari bahasa Arab dan ilmu-ilmu
Arab adalah jalan satu-satunya untuk mengetahui kebenaran."
Demikianlah pernyataan pakar-pakar
Barat yang jujur. Yang demikian ini bisa dijadikan sanggahan terhadap
orang-orang Barat yang tidak jujur agar mereka mengetahui bahwa mereka
sebenarnya mengambil senjata yang sebenarnya berasal dari Islam. Dan jika
dikatakan bahwa rahasia kebangkitan Barat saat ini dan keunggulannya atas Timur
kembali kepada pengambilannya terhadap sebab-sebab metode eksperimental, yaitu
metode Islam, maka rahasia kehancuran Barat dan kebingungannya serta
kegelisahannya adalah karena mereka tidak menghubungkan metode tersebut dengan
kebesaran Allah SWT sebagaimana semestinya. Metode eksperimen-tal—sebagaimana
diambil orang-orang Barat—dimulai dari alam dan berakhir kepadanya sebagai
sesuatu tujuan. Jadi, ruang lingkup pembahasan mereka adalah berkisar kepada
materi, dan alat-alat pembahasan adalah eksperimen dan pengamatan serta
istiqra.
Tiada setelah alam kecuali kematian
dan kematian adalah rahasia yang misterius dan melawannya adalah hal yang
mustahil. Kita tidak mengetahui apa yang terjadi setelah kematian; kita tidak
mengetahui sesuatu pun tentang ruh. Tidak ada hubungan antara ilmu dan akhlak;
tidak ada jawaban dari ilmu tentang tujuan kehidupan ini. Kita hanya
mempelajari aspek-aspek lahiriah dan mencapai hukum-hukumnya saja. Demikianlah
pandangan Barat tentang ilmu di mana ia hanya sekadar alat dan sarana untuk
mengatur alam dan berusaha menguasainya. Sedangkan metode ilmiah dalam Islam
menyatakan bahwa gerakan atom dengan gerakan sistem tata surya di bawah kendali
Zat Yang Maha Tahu dan Zat Yang Maha Pencipta. Ilmu dalam Islam justru
membimbing manusia untuk menuju Allah SWT:
"Dan bahwasannya kepada
Tuhanmulah kesudahan (segala sesua-tu). " (QS. an-Najm: 42)
Ilmu justru mengantarkan manusia untuk
mencapai rasa takut kepada Allah SWT sebagaimana membimbingnya beribadah
kepadanya dan mencintai-Nya:
"Sesungguhnya yang takut kepada
Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu
(ulama)." (QS. Fathir: 28)
Islam datang dan mengajak manusia
untuk membaca, mengetahui, dan takut kepada Allah SWT serta hanya beribadah
kepadanya. Jika ilmu merupakan sayap pertama di dalam Islam, maka sayap yang
kedua adalah kebebasan. Rasulullah saw memberitahu dan menyatakan bahwa tidak
ada Tuhan selain Allah SWT dan tidak ada sembahan selain Allah SWT.
Seruan ini mengisyaratkan keruntuhan
tuhan-tuhan yang mengusai bumi semuanya, baik tuhan yang berupa
kepentingan-kepentingan pribadi, kekayaan, raja, penguasa, pemikiran-pemikiran
yang mengusai manusia, warisan para kakek dan nenek, berhala-berhala yang
terbuat dari batu dan kayu, maupun berbagai macam tuhan lain yang bohong.
Adalah salah jika seseorang membayangkan bahwa kalimat "tiada Tuhan selain
Allah" hanya sekadar hiasan mulut seorang Muslim di mana segala sesuatu
yang ada di sekitarnya penuh dengan kebohongan dan tidak membenarkan apa yang dikatakannya.
Kalimat tersebut dalam Islam merupakan per-gulatan besar bersama kegelapan yang
ada pada diri manusia, suatu pergulatan yang berakhir pada penyerahan diri;
pergulatan yang akan berpindah pada kehidupan yang lebih berat, sehingga
kehi-dupan akan berserah diri. Dan mustahil pergulatan itu akan terjadi kecuali
jika terpenuhi suatu kebebasan: kebebasan akal untuk meragukan dan menolak dan
kebebasan yang berakhir kepada pencapaian batas-batasnya dan kemampuannya serta
kebebasan yang meninggi untuk mencapai keimanan yang dalam dan kokoh. Itu
adalah tanggung jawab yang berarti bahwa ia harus memikul senjata untuk
membebaskan orang lain sebagaimana ia membebaskan dirinya sendiri. Demikianlah
esensi dari Islam, yaitu ilmu yang berdiri di atas kebebasan dan tanggung jawab
yang tumbuh dari kebebasan, dan buah terAkhirnya adalah tauhid dalam
kedalamannya yangjauh.
Jika tauhid dipahami secara benar,
maka manusia akan terbebas dari penyembahan selain Allah SWT: manusia akan
bebas terhadap rasa takut dari kematian, kekhawatiran atas rezeki, manusia akan
terbebas dari sikap bakhil dan ketakutan terhadap hari-hari yang akan datang.
Muhammad bin Abdillah datang nntuk
menyerukan bahwa hanya Allah SWT yang patut disembah dan bahwa semua manusia
adalah hamba-hamba-Nya. Dcngan membebaskan manusia dari menyembah sesama
mereka, maka kebcbasan yang hakiki telah dimulai. Rasulullah saw memberitahu
bahwa kematian adalah perpindahan dari satu rumah ke rumah yang lain. Ia bukan
akhiran yang misteri dari kehidupan yang tidak dapat dipahami, tetapi ia hanya
sekadar perpindahan. Takut kepada kematian tidak akan menyelamatkan dari
kematian itu sendiri, dan cinta kepada kehidupan tidak akan memanjangkan ajal.
Pada setiap ajal ada ketentuannya. Maka keberanian merupakan unsur dari
unsur-unsur pembentukan kepribadian Islam dan bagian dari bagian-bagian sel
yang ada dalam tubuh seorang Muslim.
Rasulullah saw juga menyatakan bahwa
rezeki di dunia sudah dijamin dan ditentukan oleh Allah SWT:
"Dan tidak ada suatu binatang
melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya. " (QS. Hud:
6)
Jibril mewahyukan kepada Rasul saw
bahwa suatu jiwa tidak akan memenuhi ajalnya sehingga rezekinya disempurnakan.
Jika demikian halnya, maka tidak ada alasan bagi manusia untuk khawatir
terhadap rasa lapar dan gelisah terhadap hari esok. Semua ini terjadi dalam
ruang lingkup mengambil atau melalui jalanjalan menuju sebab. Yakni berusaha
untuk mencapai rezeki yang merupakan kewajiban bagi orang Muslim dan percaya
terhadap kedermawan Allah SWT yang juga merupakan suatu kewajiban bagi orang
Muslim untuk mempercayainya. Allah SWT berfirman:
"Dan di langit terdapat
(sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu. "
(QS. adz-Dzariat: 22)
Allah SWT telah menjamin rezeki di
dunia dan memerintahkan manusia untuk berusaha mencapai rezeki di akhirat.
Rezeki di dunia adalah sesuatu yang sudah dijamin, sehingga manusia tidak perlu
melakukan usaha yang terlalu sengit untuk mencapainya. Cukup baginya untuk
berusaha secara benar dan seimbang. Sedangkan berkenaan dengan rezeki akhirat,
Allah SWT memerin-tahkan manusia untuk berusaha mencapainya karena ia adalah
rezeki yang Allah SWT tidak menjaminnya kecuali jika manusia berhasil melampaui
dua jihad: jihad yang besar dan jihad yang kecil. Jihad besar adalah jihad
melawan hawa nafsu dan jihad kecil adalah jihad melawan musuh di medan perang.
Dengan terbebasnya seorang Muslim dari
kerisauan pada kematian, rezeki, dan rasa takut, maka Islam memberi seorang
Muslim senjatanya dan alat-alatnya dan ia memerintahkannya untuk mulai
memerangi kekuatan-kekuatan kelaliman di muka bumi. Allah SWT berfirman tentang
umat Islam:
"Kamu adalah umat yang terbaik
yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari
yang mungkar, dan beriman kepada Allah." (QS. Ali 'Imran: 110)
Perhatikanlah, bagaimana Allah SWT
menyebutkan amal makruf nahi mungkar sebelum keimanan kepada Allah SWT. Ini
dimaksudkan agar akal manusia tergugah akan pentingnyajihad di jalan Allah SWT.
Amal makruf dan nahi mungkar tidak terwujud semata-mata dengan memegang tongkat
dan mencambukannya kepada punggung orang-orang Islam yang tidak salat; ia juga
tidak berupa usaha untuk menahan orang-orang Muslim yang tidak berpuasa.
Masalah itu lebih penting dan lebih besar dari sekadar memperhatikan hal-hal
yang bersifat lahiriah, sedangkan hal-hal yang bersifat batiniah tidak
diperhatikan.
Ayat tersebut berarti, hendaklah
seorang Muslim membawa senjata dan berdakwah di jalan Allah SWT serta memerangi
orang-orang lalim di muka bumi. Abu Bakar berkata: "Wahai manusia, kalian
membaca ayat berikut ini:"
"Hai orang-orang yang beriman,
jagalah dirimu. Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu
apabila kamu telah mendapat petunjuk," (QS. al-Maidah: 105)
Dan aku mendengar Rasulullah saw
bersabda: "Sesungguhnya ketika masyarakat melihat orang yang lalim dan
mereka tidak menghentikannya, maka Allah SWT akan menimpakan azab kepada mereka
semua."
Penafsiran Abu Bakar terhadap ayat
tersebut sangat jelas artinya. Yakni bahwa pelaksanaan ayat tersebut dapat
diwujudkan dengan adanyajihad di jalan Allah SWT dengan mengangkat senjata
sebagai usaha untuk menghentikan orang-orang yang lalim. Setelah itu, seorang
Muslim dapat mengatakan: "Aku telah melaksanakan tugasku dan tidak akan
berdampak kepadaku orang yang sesat setelah aku memberikan petunjuk."
Demikianlah pemahaman orang-orang
Islam yang pertama. Maka bandingkanlah pemahaman tersebut dengan pemahaman kita
saat ini di mana kita telah kchilangan keberanian, dan rasa takut telah
menghinggapi tubuh orang-orang Islam. Kaum Muslim lebih mengutamakan
keselamatan diri mcrcka daripada memerangi orang-orang yang lalim.
Muhammad bin Abdillah datang dengan
membawa risalah Islam yang di dalamnya terdapat perintah Ilahi untuk rnemerangi
orang-orang yang lalim dan mempertahankan kehormatan orang-orang yang tertindas
di muka bumi. Allah SWT berfirman:
"Karena itu, hendaklah
orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di
jalan Allah. Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau
memperoleh kemenangan, maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang
besar. Mengapa kamu tidak mau berperang dijalan Allah dan (membela) orang-orang
yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa:
'Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang lalim penduduknya dan
berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu.
" (QS. an-Nisa': 74-75)
Muhammad bin Abdillah membacakan
kepada kaumnya tentang penafsiran Allah SWT berkenaaan dengan makna kejayaan
yang besar:
"Sesungguhnya Allah telah membeli
dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk
mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh.
(Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan
Al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah?,
maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah
kemenangan yang besar." (QS. at-Taubah: 111)
Bacalah ayat tersebut dua kali dan
renungkanlah tentang kedermawan Allah SWT. Betapa tidak, Dia membeli jiwa
orang-orang mukmin dan harta mereka, padahal jiwa tersebut dan harta tersebut
pada hakikatnya adalah milik-Nya sendiri. Lihatlah bagaimana kemuliaan Allah
SWT di mana Dia membeli harta milik-Nya yang khusus dengan surga dan bagaimana
Allah SWT menganjurkan orang-orang Islam untuk berperang, dan Dia memberitahu
mereka bahwa urusan memerangi orang-orang lalim dan orang-orang yang tersesat
bukanlah hal yang baru atas orang-orang Islam. Allah SWT telah memerintahkan
hal tersebut dalam Injil dan Taurat. Sebagaimana Nabi Isa diutus dengan pedang,
seperti yang disebutkan dalam lembaran-lembaran atau buku-buku orang-orang
Nasrani, maka Nabi Musa pun diutus dengan membawa pedang. Dan ketika Bani
Israil berkata kepada Nabi Musa, "pergilah engkau bersama Tuhanmu dan
berperanglah, dan kami hanya di sini duduk-duduk saja,", maka kehendak
Ilahi menetapkan agar mereka mendapatkan kesesatan selama empat puluh tahun
sebagai akibat dari perbuatan mereka itu, agar generasi yang lemah dan hina itu
hancur yang mereka justru tidak memenuhi panggilan Allah SWT dan mereka
membiarkan Nabi Musa bersama Tuhannya berperang, padahal peperangan itu
merupakan tanggung jawab mereka dan tugas mereka yang harus mereka emban
sebagai pengikut Nabi Musa.
Demikianlah esensi dari ajaran Islam
sebagaimana yang dibawa oleh Muhammad bin Abdillah. Yakni ajakan untuk membaca
dan menggali ilmu serta mendapatkan kebebasan dan yang terpenting adalah usaha
melawan kekuatan-kekuatan lalim. Suatu ajakan yang universal yang tidak
dikhususkan untuk kalangan tertentu atau untuk waraa kulit tertentu atau untuk
kaum tertentu atau untuk tempat tertentu; suatu ajakan kemanusiaan yang
komprehensif yang universal yang ingin mengikat ilmu dan kebebasan dan jihad
dengan tujuan yang lebih tinggi, yaitu mencapai tauhid kepada Allah SWT dan
menyucikan-Nya serta keimanan terhadap hari kemudian dan kebangkitan manusia
semuanya di hadapan Allah SWT.
Adalah salah jika ada orang yang menganggap
bahwa Islam hanya memperhatikan aspek akhirat dan melupakan aspek duniawi.
Menurut Islam dunia adalah lembar-lembar jawaban yang akan dikoreksi di hari
akhir. Ia adalah ujian dan tempat percobaan bagi manusia agar manusia
mengetahui apakah ia layak untuk menda-patkan kemuliaan dari Allah SWT yang
telah diberikan kepada Adam. Atau apakah iajustru layak untuk jadi bagian dari
tanah neraka Jahim dan batunya, sebagaimana firman Allah SWT:
"Yang bahan bakarnya manusia dan
batu. " (QS. al-Baqarah: 24)
Rasulullah saw telah menjelaskan
hikmah dari penciptaan manusia, penciptaan kehidupan dan kematian ketika beliau
menyampaikan firman Allah SWT dalam surah al-Mulk:
"Yang menjadikan mati dan hidup,
supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amabiya. "
(QS. al-Mulk: 2)
Dunia adalah rumah pergulatan. Dan
Allah SWT telah menciptakan kehidupan dan kematian agar manusia menyadari siapa
di antara mereka yang terbai amalnya. Tentu pengetahuan ini tidak akan menambah
kekuasaan Allah SWT. Pengetahuan itu justru dibutuhkan oleh manusia. Allah SWT
menciptakan manusia agar menusia mengetahui, danpengetahuan yang paling penting
adalah pengetahuan atau pengenalan terhadap diri. Dan pada hari kiamat manusia
akan mengenal dirinya secara sempurna dan ia akan mengenal balasan yang akan
diterimanya secara sempurna.
Dan barangkali mukadimah yang kami
sarikan dari hari akhir ini mengharuskan kehidupan di atas bumi dipenuhi dengan
kesucian dan kebersihan, yaitu diliputi dengan kemanusiaan yang sempurna yang
di dalamnya manusia layak untuk hidup. Demikianlah Islam yang dibawa oleh
Muhammad saw. Inilah asasnya dan hakikatnya. Itu adalah pondasi dan hakikat
yang tidak diciptakan oleh Muhammad saw dan tak didahului oleh rasul-rasul
sebelumnya. Hakikat risalah-risalah yang dulu semuanya adalah tauhid dan
mempertahankan kebenaran serta keimanan terhadap hari akhir dan
menyerahkan jiwa dan anggota tubuh hanya kepada Allah SWT. Yang baru dalam
Islam adalah ilmu, kebebasan dan universalitas ajaran Islam serta warna keadilan
yang sangat kental, sehingga sangat tepat jika dikatakan bahwa karakter dari
Islam adalah keadilan. Barangkali bagian ini perlu diperhatikan.
Meskipun agama-agama samawi pada
esensinya satu, tetapi kehendak Allah menuntut turunnya lebih dari agama dan lebih
dari satu nabi. Kehendak tersebut menuntut agar pada setiap agama terdapat
karakter yang khusus yang menggambarkan bentuk yang paling tepat sesuai dengan
kebutuhan utama yang di situ agama itu diturunkan dan sesuai dengan waktu saat
itu. Orang-orang Yahudi misalnya, mereka hidup di tengah-tengah suasana
penyembahan berhala dikalangan orang-orang Mesir kuno. Yahudisme
diturunkan pada Bani Israil yang suka membangkang dan karena itu, karakter
utamanya adalah ketegasan (as-Sharamah) agar mereka tidak terpengaruh dengan
fenomena berhalaisme ala Mesir atau mereka terkena pengaruh dari tindakan
semena-mena Fir'aun. Dengan ketegasan inilah agama Yahudi selamat dan dapat
menjadi risalah penyelamatan dan pembebasan.
Namun Bani Israil yang
memperbudak manusia dan mempunyai hati yang keras pada saat yang sama mereka
keluar dari Fir'aun untuk masuk ke cengkraman orang-orang Romawi di mana
orang-orang Romawi justru lebih lalim dan lebih kuat dari orang-orang
Mesir. Oleh karena itu, orang-orang Masehi bertanggung jawab untuk melakukan
pembebasan baru tetapi dengan cara yang berbeda sesuai dengan perubahan
keadaan. Cara tersebut adalah menjauhkan penggunaan kekuatan bersenjata karena
kekuatan orang-orang Romawi mengungguli kekuatan saat itu dan menguasai bumi
secara keseluruhan. Maka kemenangan yang mungkin dapat diperoleh adalah dengan
cara menghindari tindak kekerasan dan lebih mengutamakan pendekatan cinta. Dan
pada kali yang lain orang-orang Masehi memperoleh kemenangan melalui cara
kedamaian dan cinta yang disebarkannya atas imperialisme Romawi dengan segala
senjatanya dan kekuasaannya.
Adapun Islam datang sebagai agama yang
terakhir dan menyeluruh yang layak untuk diterapkan di muka bumi, sehingga
Allah SWT mewariskan bumi dan apa saja yang ada di dalamnya kepada orang-orang
yang berhak mewarisinya. Oleh karena itu, agama yang terakhir ini harus
mempunyai karakter khusus dan karakter itu adalah karakter keadilan.
Ketegasan hanya cocok untuk zaman
tertentu dan kelompok tertentu dan keadaan tertentu, sedangkan cinta adalah
contoh yang tertinggi, tetapi ia tidak dapat menjadi sesuatu tolok ukur untuk
dibandingkan dengan tindakan-tindakan tertentu atau untuk dijadikan alat untuk
melakukan sesuatu. Dan jika ia menjadi tolok ukur bagi orang-orang yang memilki
perasaan yang tinggi atau budaya yang tinggi, maka ia tidak dijadikan tolok
ukur umum dan universal. Adapun keadilan, maka ia menjadi karakter Islam yang
berarti keseimbangan dalam sifat-sifat keutamaan dan meletakkan segala sesuatu
pada tempatnya. Ini adalah tolok ukur yang menyeluruh dan barometer yang akhir.
Dan barangkali kebesaran keadilan dan pengaruhnya dalam pengaturan alam
bersandarkan kepada firman Allah SWT:
"Allah menyatakan bahwasannya
tidak ada Tuhan melainkan Dia. Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan
orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu)." (QS. Ali
'Imran: 18)
Apabila Allah SWT dalam Islam
merupakan cermin yang tertinggi, maka keadilan yang disaksikan oleh Allah SWT
terhadap diri-Nya sendiri harus menjadi karakter Islam dan kaum Muslim.
Keadilan dalam Islam bukan hanya keadilan ekonomi atau keadilan hukum atau
keadilan dalam balasan, tctapi ia mencakup semuanya. Sebelum semua ini dan
sesudahnya, kcadilan dalam Islam merupakan suatu sistem dalam kehidupan dan
metode utama dalam Islam.
Ketika Anda memalingkan pandangan Anda
dalam Islam, maka Anda akan menemukan keadilan menghiasi seluruh wajah Islam.
Di sana terdapat keadilan antara agama-agama yang dulu, keadilan antara
individu dan masyarakat, keadilan antara dunia dan agama, keadilan antara pria
dan wanita, keadilan untuk orang-orang yang fakir dan orang-orang yang kaya,
keadilan antara para penguasa dan rakyat, bahkan dengan keadilan itu sendiri
bumi dan langit ditegakkan dan Allah SWT menyebut diri-Nya sebagai al-'Adl
(Yang MahaAdil).
Selanjutnya, Islam adalah agama yang
sudah lama sebagaimana lamanya kedatangan para nabi. Nabi Nuh as berkata dalam
surah Yunus:
"Jika kamu berpaling (dari
peringatanku), aku tidak meminta upah sedikit pun darimu. Upahku tidak lain
hanyalah dari Allah belaka dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan
orang-orang yang berserah diri (kepadanya)." (QS. Yunus: 72)
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail as
berkata dalam surah al-Baqarah saat keduanya membangun Ka'bah:
"Ya Tuhan kami, terimalah dari
kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. Ya Tuhan Kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduh patuh
kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat
haji hami, dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Menerima
taubat lagi Maha Penyayang. " (QS. al-Baqarah: 127-128)
Nabi Ibrahim tidak lupa untuk
berwasiat kepada keturunannya dan di antara mereka adalah Yakub agar mereka
mati dalam keadaan Islam. Allah SWT berfirman:
"Dan Ibrahim telah mewasiatkan
ucapan itu kepada anaknya, Demikian pula Yakub. (Ibrahim berkata): 'Hai
anak-anakku, Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah
hamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.'" (QS. al-Baqarah: 132)
Ketika kematian mendekati Yakub,
beliau mengumpulkan anak-anaknya di sekelilingnya dan bertanya kepada mereka:
"Apa yang kamu sembah
sepeninggalku? Mereka menjawab: 'Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenak
moyangmu, Ibrahim, Ismail, dan hhaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya
tunduk patuh kepadanya.'" (QS. al-Baqarah: 133)
Allah SWT memberitahu kita dalam surah
Yunus tentang perkataan Nabi Musa kepada kaumnya:
"Hai kaumku, jika kamu beriman
kepada Allah, maka bertawakallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang
yang berserah diri." (QS. Yunus: 84)
Sementara itu, Nabi Sulaiman adalah
seorang Muslim sesuai dengan nas ayat-ayat yang menceritakan tentang kisahnya
bersama Ratu Saba' ketika Ratu tersebut berkata:
"Ya Tuhanku, sesungguhnya aku
telah berbuat lalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman
kepada Allah, Tuhan semesta alam." (QS. an-Naml: 44)
Demikian juga Nabi Yusuf, beliau
berdoa kepada Allah SWT dan meminta kepadanya agar mematikannya sebagai orang
Muslim dan memasukannya dalam kelompok orang-orang yang saleh. Allah SWT
berfirman dan bercerita tentang Yusuf dalam surah Yusuf:
"Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau
telah menganugerahkan kepadaku sebagaian kerajaan dan telah mengajarkan
kepadaku sebagian ta'bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi, Engkaulah
Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan
gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh." (QS.Yusuf: 101)
Sementara itu dalam surah al-Maidah,
Allah SWT mewahyukan kepada kaum Hawariyin agar mereka beriman kepadanya dan
kepada rasul-Nya lalu mereka berkata:
"Kami telah beriman dan
saksikanlah (wahai rasul) bahwa Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh
(kepada seruanmu)." (QS. al-Maidah: 111)
Jadi, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi
Ismail, Nabi Yakub, Nabi Musa Harun, Nabi Sulaiman, Nabi Yusuf, Nabi Isa adalah
nabi-nabi yang Muslim sesuai dengan nas ayat-ayat tersebut. Maka seluruh nabi
adalah orang-orang Muslim, lalu bagaimana Nabi Muhammad saw sebagai Nabi yang
terakhir dikatakan sebagai orang Muslim yang pertama?
Allah SWT berfirman dalam surah
al-An'am yang ditujukan kepada Nabi yang terakhir:
"Katakanlah: 'Sesungguhnya
shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta
alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku
dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).'"
(QS. al-An'am: 162-163)
Maka, bagaimana beliau menjadi orang
Muslim yang pertama, padahal penamaan umat beliau dengan sebutan al-Muslimin
adalah penamaan yang sebenarnya sudah dahulu dikenal di kalangan nabi-nabi yang
terdahulu dan kedatangannya ke alam wujud dan penamaan agamanya dengan sebutan
al-Islam sebenarnya berhutang kepada kakeknya yang jauh, yaitu Nabi Ibrahim.
Allah SWT berfirman dalam surah al-Hajj:
"Dan Dia sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang
tuamu Ibrahim. Dia telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu. "
(QS. al-Hajj: 78)
Tidak ada pertentangan dalam
pendahuluan para nabi dengan sebutan al-Muslimin daripada Rasulullah saw dan
kedudukan beliau sebagai orang Muslim yang pertama. Tentu kata al-Awwal (yang
pertama) di sini tidak dipahami dari sisi waktu atau masa kemunculan, tetapi
yang dimaksud dengan orang Muslim di sini adalah akmalul muslimin (orang yang
paling sempurna di antara orang-orang Muslim). Suatu kali Aisyah pernah ditanya
tentang akhlaknya Rasulullah saw lalu dia menjawab dengan kalimatnya yang
singkat: "Akhlak beliau adalah Al-Qur'an."
Kita mengetahui bahwa Al-Qur'an
al-Karim menetapkan akhlak yang mulia meskipun dalam batasannya yang sederhana
dan rendah, dan menyebutkan keutamaan akhlak dalam tingkatannya yang tinggi.
Oleh karena itu, akhlak seperti apa yang dimiliki oleh Rasulullah saw: apakah
beliau memiliki akhlak yang sifatnya tengah-tengah, atau apakah beliau
mendahului dalam kebaikan, atau apakah beliau termasuk ashabul yamin
(orang-orang yang berasal di sebelah kanan), atau apakah beliau termasuk
al-Muqarrabin (orang-orang yang dekat dengan Allah SWT)?
Rasulullah saw tidak hanya memiliki
semua karakter tersebut dan atribut tersebut, bahkan kedudukan beliau lebih
dari itu semua. Beliau berada di puncak dari segala puncak keutamaan akhlak,
sehingga beliau berhak untuk mendapatkan sebutan dari Allah SWT:
"Dan sungguh pada dirimu terdapat
budi pekerti yang agung. " (QS. al-Qalam: 4)
Para Mufasir berbeda pendapat tentang
makna dari al-Huluqul 'adzim (budi pekerti yang agung). Sebagian mereka mengatakan
bahwa yang dimaksud adalah Al-Qur'an. Sebagian yang lain mengatakan itu adalah
Islam. Ada juga yang mengatakan bahwa beliau tidak memiliki sesuatu kecuali
keinginan untuk menuju jalan Allah SWT.
Dalam Al-Qur'an al-Karim terdapat
penjelasan tentang derajat beliau yang tinggi dalam dua ayat yang mulia. Ayat
yang pertama adalah firman-Nya:
"Katakanlah: 'Sesungguhnya
Shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta
alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku
dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).'"
(QS. al-An'am: 162-163)
Beliau adalah orang yang paling utama
di antara manusia semuanya; beliau memiliki keutamaan yang melebihi semua
manusia; beliau memiliki rahmat dan kemuliaan yang tidak dapat ditandingi oleh
seseorang pun. Meskipun beliau datang sebagai Nabi yang terakhir namun justru
karena posisi beliau sebagai Nabi yang terakhir, maka beliau menjadi bata yang
terakhir dalam pembangunan rumah kenabian yang tinggi, sehingga bata yang
terakhir itu harus menjadi puncak pembangunan manusia. Sedangkan ayat yang
kedua adalah firman-Nya:
"Dan Kami tidak mengutusmu
kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta." (QS. al-Anbiya': 107)
Beliau bukan hanya menjadi rahmat bagi
orang-orang Arab saja; beliau bukan hanya menjadi rahmat bagi orang-orang
Quraisy dan beliau bukan menjadi rahmat bagi zamannya saja, begitu juga beliau
tidak menjadi rahmat bagi jazirah Arab saja, tetapi beliau menjadi rahmat bagi
alam semesta; beliau senantiasa menjadi rahmat bagi alam semesta: dimulai dari
diturunkannya wahyu kepadanya dengan kalimat iqra hingga Allah SWT mewariskan
bumi dan apa saja yang ada di dalamnya kepada orang-orang yang berhak
mewarisinya sampai hari kiamat. Alhasil, beliau adalah rahmat yang dihadiahkan
kepada manusia; beliau adalah rahmat yang tidak menonjolkan mukjizat yang
mengagumkan, tetapi beliau adalah rahmat yang memulai dakwah dengan
mengutamakan fungsi akal atau pembacaan dua kitab: pertama, pembacaan kitab
alam atau Al-Qur'an yang diciptakan atau kalimat-kalimat Allah SWT yang terdiri
dari jutaan bentuk dan kedua pembacaan Al-Qur'an yang diturunkan melalui
malaikat Jibril di mana ia merupakan kalamullah yang abadi. Dan kitab alam
dibaca dengan ribuan cara: dibaca melalui penelusuran dunia:
"Katakanlah: 'Berjalanlah kamu di
mnka bumi dan amat-amatilah.'" (QS. an-Naml: 69)
Atau dibaca melalui usaha menyingkap
misteri dan penggunaan akal:
"Kami akan memperlihatkan kepada
mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka
sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah benar. "
(QS. Fushilat: 53)
Atau dibaca melalui ilmu dan
pengamatan:
"Atau siapakah yang telah
menjadikan bumi sebagai tempat berdiam, dan yang telah menjadikan sungai-sungai
di celah-celahnya, dan yang menjadikan gunung-gunung untuk (mengokohkan)nya dan
menjadikan suatu pemisah antara dua laut 1 Apakah di samping Allah ada tuhan
(yang lain)? Bahkan (sebenarnya) kebanyakan dari mereka tidak mengetahui."
(QS. an-Naml: 61)
Jika di sana terdapat ribuan jalan
atau cara untuk membaca kalimat-kalimat Allah SWT dan kitab alam, maka di sana
terdapat satu jalan untuk membaca kalamullah yang abadi, yaitu hendaklah
Al-Qur'an dibaca dengan mata hati dan kecermelangan basirah, sehingga Al-Qur'an
menjadi bagian akhlak dari yang membaca sesuai dengan kemampuannya.
Sebelum turunnya Al-Qur'an, dunia
diliputi dengan kekurangan, baik secara materi, ruhani, undang-undang maupun
dari dimensi kehidupan yang biasa melekat pada manusia saat itu. Dan sebelum
diutusnya Rasul saw yang beliau adalah manusia yang sempurna dan paling utama,
alam belum mencapai puncak dari penyerahan diri kepada Allah SWT atau puncak
dari keutamaan akhlak. Ketika Rasulullah saw diutus, maka manusia mengalami
kesempurnaan dan mampu mencapai tingkat kesempurnaannya. Dengan Kitab yang
mulia ini dan Nabi yang pengasih, Allah SWT yang menyempurnakan agama bagi
manusia dan menyempurnakan nikmat-Nya atas mereka, sebagaimana firman-Nya:
"Pada hari ini telah
Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku,
dan telah Ku-ridhai Islam itujadi agama bagimu. " (QS. al-Maidah: 3)
Namun semua itu tidak terwujud begitu
saja, Nabi yang mulia harus berjuang secara serius dan sungguh-sungguh,
sehingga beliau menjadi manusia yang paling layak untuk mendapatkan pujian
pendduduk bumi dan penduduk langit. Dan Rasulullah saw telah melakukan semua
itu. Kita tidak mengenal seorang nabi yang perasaannya dihina dan dicaci maki
lebih dari apa diterima oleh Muhammad bin Abdillah; kita tidak mengenal seorang
nabi yang memikul berbagai penderitaan, dan memiliki kesabaran yang mengagumkan
di jalan Allah SWT sebagaimana yang ditunjukkan oleh Nabi kita.
Kemudian, seorang yang diutus oleh
Allah SWT sebagai rahmat bagi alam semesta tidak akan mengajak manusia menuju
kebenaran kecuali jika manusia tersebut dari kalangan orang-orang yang kafir
dan membangkang. Beliau berdakwah bagi orang yang berhak mendapatkan dakwah;
beliau siap memikul tanggung jawab dakwah dengan berbagai tantangan dan
cobaannya; beliau menunjukkan kesabaran yang luar biasa. Setelah itu, beliau
datang kepada Allah SWT dengan hati yang puas dan air mata yang bercucuran dan
dengan suara berbisik berkata: "Ya Allah, jika tidak ada kemurkaan pada
diri-Mu, maka aku tidak akan peduli dengan manusia." Segala sesuatu akan
menjadi mudah jika di sana terdapat ridha Allah SWT.
Setelah turunnya wahyu kepada Rasul
saw, beliau memulai tahapan dakwah dan mengajak manusia untuk menyembah Allah
SWT. Dimulailah dakwah secara rahasia yang berlangsung selama tiga tahun dalam
persembunyian.
Mula-mula Ummul Mu'minin, Khadijah
binti Khuwailid beriman kepadanya, lalu beriman juga sahabatnya, Abu Bakar
sebagaimana beriman kepadanya anak pamannya, Ali bin Abi Thalib yang saat itu
masih kecil dan hidup di bawah asuhan Muhammad, dan juga beriman kepadanya Zaid
bin Tsabit, seorang pembantunya. Kemudian Abu Bakar juga ikut berdakwah,
sehingga ia memasukkan dalam dakwah teman-temannya, seperti Usman bin Affan,
Thalha bin Ubaidilah, dan Sa'ad bin Abi Waqas. Juga beriman seorang Masehi,
yaitu Waraqah bin Nofel dan Rasulullah saw melihatnya setelah kematiannya tanda
kesenangan yang itu menunjukkan ketinggian derajatnya di sisi Allah SWT.
Setelah itu, Abu Dzar al-Ghifari juga masuk Islam, lalu disusul oleh Zubair bin
Awam dan Umar bin 'Anbasah serta Sa'id bin 'Ash. Jadi, Islam mulai mengepakkan
sayapnya secara rahasia di Mekah.
Kemudian berita tersebarnya akidah
yang baru ini sampai kepada pembesar-pembesar Quraisy, tetapi mereka tidak
begitu peduli. Barangkali mereka membayangkan bahwa Muhammad telah
menjadi—karena uzlah yang dilakukannya di gua Hira—salah seorang juru bicara
tentang ketuhanan sebagaimana pernah dilakukan oleh Umayah bin Shalt dan Qas
bin Sa'adah.
Demikianlah dakwah secara rahasia
berhasil mengembangkan misinya dan dapat melindungi akidah yang baru. Dan
selama perjalanan tiga tahun yang dibutuhkan tahapan dakwah secara rahasia
keimanan telah tertanam dalam hati kaum Muslim yang pertama. Rasulullah saw
telah mendidik mereka dan telah menanamkan kepada diri mereka sifat-sifat
kemuliaan dan telah menciptakan mereka sebagai benih pertama dari pasukan
Islam. Pada suatu hari Jibril turun dengan membawa firman Allah SWT:
"Dan berilah peringatan kepada
kerabat-kerabatmu yang terdekat." (QS. asy-Syu'ara': 214)
Demikianlah, datanglah perintah Ilahi
agar Rasulullah saw berdakwah secara terang-terangan. Lalu berkumpullah di
sekeliling Nabi sekelompok tentara yang besar dan datanglah perintah Ilahi agar
beliau menyampaikan dakwah secara terang-terangan dan mengingatkan keluarga
dekatnya. Ketika Nabi melakukan hal tersebut, maka dakwah memasuki tahapan yang
kedua. Dan tahapan dakwah yang baru ini berakibat pada timbulnya penekanan
terhadap para dai di mana mereka mengalami penindasan, bahkan mereka didustakan
oleh masyarakat serta diboikot.
Orang-orang Quraisy mengetahui bahwa
Muhammad berbahaya bagi mereka. Beliau bukan hanya berbicara tentang ketuhanan,
tetapi beliau mengajak rnanusia untuk mengikuti agama baru, yaitu agama yang mencoba
untuk menyingkirkan berhala-berhala dan patung-patung mereka serta tuhan-tuhan
mereka yang mereka yakini; agama yang mencoba menyingkirkan kedudukan sosial
mereka dan kepentingan-kepentingan ekonomi mereka; agama yang menyatakan bahwa
tiada tuhan lain selain Allah SWT, dan tiada hukum lain selain hukum-Nya, serta
tiada penguasa lain selain Dia. Kedatangan agama tersebut menyebabkan penduduk
kota Mekah membencinya dan orang-orang yang memegang kekuasaan di dalamnya
merasa gelisah.
Setelah pengumuman dakwah secara
terang-terangan, dimulailah dan ditabuhlah gendrang peperangan. Kemudian
peperangan yang dahsyat terjadi antara para pembesar Quraisy dan para pengikut
Rasulullah saw. Orang yang pertama kali menyerang Islam adalah seorang tokoh
Mekah yang bernama Abu Lahab.
Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah
saw menaiki bukit Shafa dan beliau mulai memanggil-manggil tokoh Quraisy dan
para kabilah Mekah. Dan ketika semua berkumpul, beliau bertanya kepada mereka:
"Apakah kalian percaya jika aku memberitahu kalian bahwa seekor kuda akan
datang menyerang kalian?" Mereka menjawab: "Tentu, kami belum pernah
melihatmu berbohong." Beliau berkata: "Aku seorang yang diutus
sebagai pemberi peringatan terhadap kalian. Di hadapanku terdapat siksaan yang
berat jika kalian menentang." Abu Lahab berkata: "Sungguh celaka
engkau, apakah karena ini engkau mengumpulkan kami."
Dengan penghinaan inilah, peperangan
terhadap Islam dimulai. Ketika kaum Muslim tidak mampu mempertahankan diri
mereka, maka mula-mula Allah SWT membantu mereka dan menolong mereka dengan
menurunkan surah yang pendek yang mengecam tindakan Abu Lahab:
"Binasalah kedua tangan Abu Lahab
dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah bermanfaat kepadanya harta bendanya
dan apa yang dia usahahan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak.
Dan (begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari
sabut. " (QS. Allahab: 1-5)
Dengan ayat-ayat yang pendek dan tepat
tersebut, Abu Lahab memasuki kancah sejarah dari pintunya yang paling pendek. Gambaran
tentang kejahatan Abu Lahab tertulis selama-lamanya. Abu Lahab adalah seorang
yang menentang dakwah kebenaran karena ia mengkhawatirkan kedudukannya dan
kekayaannya, padahal harta yang dipertahankannya dan dijaganya tidak memiliki
arti sama sekali di sisi Allah SWT karena ia sekarang berada dan dijebloskan di
tengah-tengah neraka yang menyala-nyala, sedangkan isterinya membawa kayu
bakar, sehingga menambah nyala api itu sendiri. Dan di lehernya terdapat suatu
belenggu sebagai simbol keterikatannya dengan dunia binatang yang tidak
berakal. Sebagian besar orang-orang yang menentang dakwah adalah orang-orang
yang berhubungan dengan dunia binatang yang tidak sadar.
Allah SWT berfirman:
"Atau apakah kamu mengira bahwa
kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah
seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang
ternak itu). " (QS. al-Furqan: 44)
Seandainya hari ini kita merenungkan
reaksi orang-orang kafir dan orang-orang musyrik, maka kita akan terheran-heran.
Allah SWT berfirman:
"Dan mereka heran karena mereka
kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari kalangan mereka; dan
orang-orang kafir berkata: 'Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak berdusta.
Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang Satu saja? Sesungguhnya ini
benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan'." (QS. Shad: 4-5)
Coba perhatikan bagaimana kebodohan
kaum itu di mana mereka menganggap bahwa pada hakikatnya terdapat multi tuhan
dan mereka jutru merasa heran ketika terdapat hanya satu tuhan atau tuhan yang
esa. Mereka justru merasa heran ketika berhadapan dengan masalah yang fitri dan
jelas ini.
Allah SWT berfirman:
"Dan apabila mereka melihat kamu
(Muhammad), mereka hanyalah menjadikan kamu sebagai ejekan (dengan mengatakan):
'Inikah orangnya yang diutus Allah sebagai rasul? Sesungguhnya hampirlah ia
menyesatkan kita dari sembahan-sembahan kita, seandainya kita tidak sabar
(menyembah)nya. " (QS. al-Furqan: 41-42)
Perhatikanlah betapa nekatnya kaum itu
di mana mereka mulai menghina dan mengejek Rasulullah saw, padahal beliau telah
datang di tengah-tengah mereka untuk menyelamatkan mereka dari api neraka, dan
coba perhatikan bagaimana pandangan mereka terhadap tuhan-tuhan mereka. Mereka
membayangkan bahwa mereka nyaris tersesat jika mereka tidak bersabar dalam
membela tuhan-tuhan tersebut. Demikianlah kesesatan mengejek kebenaran dan
kebodohan menghina ilmu. Mereka justru merasa heran terhadap kepandaiannya yang
dapat menyelamatkannya dari meninggalkan tuhan-tuhannya yang terbuat dari batu
dan kayu, bahkan terkadang mereka membuat tuhan dari adonan roti di mana mereka
menyembahnya kemudian memakannya. Mereka mengatakan bahwa tuhan-tuhan kami
menyelamatkan kami dari rasa lapar atau mereka mengatakan bahwa kami menyembah
mereka agar mereka dapat mendekatkan kami pada Allah sedekat-dekatnya.
Meskipun demikian, dakwah Nabi terus
berlanjut dan tertanam di muka bumi. Mereka orang-orang musyrik menuduh Nabi
sebagai seorang dukun; mereka menuduhnya juga sebagai seorang gila, bahkan
mereka menuduhnya sebagai seorang penyihir; mereka menuduh bahwa beliau
berbohong atas nama kebenaran dan beliau dibantu oleh kaum yang lain; mereka
mengatakan ini adalah dongengan orang-orang yang dahulu.
Mereka meminta kepada beliau untuk
mendatangkan mukjizat dengan bentuk tertentu; mereka memberitahu bahwa mereka
tidak akan beriman kepadanya, sehingga terdapat suatu mata air yang memancar
dari bumi atau terwujud di depan mereka suatu taman dari pohon kurma dan anggur
yang memancar di tengah-tengahnya sungai, atau langit akan runtuh sebagaimana
yang beliau sampaikan kepada mereka sebagai bentuk azab atau beliau datang
dengan Allah SWT dan para malaikat dan mereka semua menjamin kebenaran dakwah
yang diserukannya, atau beliau memiliki rumah dari emas atau beliau mampu
mendaki langit dan mereka masih belum beriman terhadap pendakian itu meskipun
ia mendaki di hadapan mata mereka dan kembali dengan selamat, kecuali jika ia
menghadirkan kitab kepada mereka yang dapat mereka baca dari langit.
Nabi tidak peduli dengan usaha mereka
untuk menyakiti hati beliau; Nabi tetap memberitahu mereka dengan penuh
kelembutan bahwa apa saja yang mereka minta itu tidak sesuai dengan Islam.
Sebab, Islam hanya menyeru akal dan berusaha menciptakan kebebasan. Beliau
menyampaikan kepada mereka bahwa beliau hanya sekadar manusia yang diutus oleh
Tuhan; beliau datang kepada mereka untuk mengingatkan mereka akan suatu hari di
mana seorang tua tidak akan menyelamatkan anaknya dan tidak bermanfaat di
dalamnya harta dan anak-anak, dan mereka tidak akan selamat di dalamnya dari
siksaan. Orang-orang yang mempunyai kedudukan atau para tokoh mereka adalah
para tiran-tiran di muka bumi di mana semua itu tidak akan bermanfaat bagi
mereka pada hari kiamat. Siksaan yang bakal mereka terima tidak dapat mereka
hindari dan mereka pun tidak dapat meringankannya.
Demikianlah Islam—sebagaimana
agama-agama sebelumnya— mengumpulkan di sekelilingnya orang-orang yang berakal
dan orang-orang yang fakir serta orang-orang yang menderita di muka bumi.
Berimanlah sekelompok orang-orang fakir di mana mereka menjadi kelompok sosial
yang tertindas dan tersingkirkan di Mekah. Mereka menjadi makanan empuk
kelompok-kelompok yang lalim.
Islam bukan hanya memberikan solusi
ekonomi terhadap tragedi kehidupan atau masyarakat, tetapi Islam memberikan
solusi Ilahi terhadap keberadaan manusia secara umum; Islam meyakini bahwa
manusia bukan hanya sekadar perut yang harus dikenyangkan dan naluri seksual
yang harus dipuaskan, manusia bukan hanya dilihat dan dinilai dari sisi ini,
namun Islam justru meletakkan manusia pada tempatnya yang hakiki, tanpa
membesar-besarkan atau mengecilkannya. Dalam pandangan Islam, manusia terdiri
dari bangunan fisik dan ruhani, terdiri dari akal dan ambisi dan terdiri dari
celupan dari Allah SWT dalam ruhnya.
Islam tidak mementingkan fisik saja
dan meninggalkan ruhani, begitu juga sebaliknya. Terkadang fisik boleh jadi
mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan, tetapi ruhani justru mengalami
penderitaan yang luar biasa. Karena itu, pemuasan salah satu dimensi dari
dimensi manusia tidak akan membawa manusia kepada kesempurnaan atau
kebahagiaan. Maka, Islam datang untuk membawa suatu solusi yang dapat
menyelamatkan manusia dari dalam dirinya sendiri dan Islam membebankan tugas
ini, yakni tugas perubahan ini kepada Al-Qur'an.
Al-Qur'an menjadi cermin dalam
kehidupan di mana ayat-ayatnya diturunkan kepada Rasul saw, lalu beliau
mengajarkannya kepada kaum Muslim. Kemudian Al-Qur'an berubah menjadi
orang-orang yang berjalan di pasar-pasar dan mengancam singgasana kebencian
yang menguasai Mekah, sehingga orang-orang musyrik justni meningkatkan usaha
pengejekan dan penghinaan terhadap Rasul saw. Oleh karena itu, beliau semakin
sedih lalu Allah SWT menghiburnya. Allah SWT memberitahu beliau bahwa mereka
tidak mendustakannya, tetapi mereka justru melalimi diri mereka sendiri. Mereka
mulai menentang Nabi dan ayat-ayat Allah SWT, padahal Nabi adalah salah satu
dari ayat Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Kami mengetahui
bahwasannya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah hamu
bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi
orang-orang yang lalim itu mengingkari ayat-ayat Allah." (QS. al-An'am:
33)
Kemudian kaum musyrik meningkatkan
penindasan kepada Rasul saw dan para pengikutnya. Peperangan dimulai: dari
peperangan urat saraf sampai peperangan fisik. Mereka mulai menyiksa para
pengikut Rasul saw, bahkan membunuhnya. Pada saat itu, musuh-musuh Islam
membayangkan bahwa dengan cara menindas kaum Muslim dan menekan mereka dakwah
Islam akan berhenti dan kaum Muslin akan enggan untuk berdakwah. Mereka
menganggap bahwa kaum Muslim justru memilih untuk menyelamatkan diri mereka.
Namun para tokoh-tokoh Quraisy dan para tokoh-tokoh Mekah dikagetkan ketika
melihat penekanan yang mereka lakukan justru semakin membakar semangat kaum
Muslim untuk berdakwah. Saat itu kaum Muslim merasa yakin bahwa benih yang
telah ditanam Rasulullah saw dalam diri mereka menjadikan mereka tetap bersemangat
untuk menyebarkan risalah Allah SWT di muka bumi, yaitu suatu risalah yang
mengembalikan bumi menuju kematangan (kesempurnaan) yang telah hilang darinya
dan kema-nusiaan yang telah disia-siakan serta kehormatan yang telah
ditumpahkan dan kebebasan yang telah hilang.
Kaum Muslim yakin bahwa mereka bukan
hanya membangun suatu negeri yang kecil di Mekah, dan mereka bukan hanya
memperbaiki masyarakat yang rusak, yaitu masyarakat jazirah Arab, tetapi mereka
mengetahui bahwa mereka akan membangun suatu manusia yang baru. Mereka akan
menciptakan manusia seutuhnya; mereka akan menghadirkan dunia dalam bentuk yang
baru dan dalam gambar yang baru yang merupakan cermin dari gambar kebesaran
sang Pencipta.
Sebelum kedatangan Islam, orang-orang
Arab tidak dikenal. Dibandingkan dengan peradaban yang dahulu dan modern,
orang-orang Arab tidak memiliki apa-apa. Mereka tidak memberikan kontribusi
kepada dunia dalam bentuk ilmu, seni, atau peninggalan apa pun yang dapat
dijadikan sebagai kebanggaan. Namun ketika Islam turun kepada mereka, mereka
menjadi cermin kejayaan manusia di mana mereka dapat memberikan sumbangan nyata
pada umat manusia. Bahkan orang-orang Barat banyak berhutang kepada mereka
dalam kemajuan yang mereka capai saat ini. Sebaliknya, ketika mereka berpaling
dari Islam di mana Islam hanya menjadi lembaran cerita-cerita dan kertas-kertas
yang tidak berguna, maka saat itulah orang-orang Barat dapat menguasai kaum
Muslim karena mereka justru mendapatkan ilmu dari Kaum Muslim itu sendiri.
Mereka justru mencapai kemajuan ketika kaum Muslim meninggalkan agama mereka.
Jadi, ketika kaum Muslim memahami Islam secara benar dan berusaha untuk
memnghidupkan ajaran-ajarannya niscaya mereka akan mencapai puncak keilmuan.
Pada awal-awal masa tersebarnya Islam,
kaum Muslim menyadari bahwa mereka menghadapi peperangan yang tidak akan
berhenti. Selama kehidupan ada, maka pertentangan pun tetap ada. Oleh karena
itu, ketika mereka mendapatkan penganiayaan dan siksaan, maka keimanan mereka
justru semakin meningkat, dan setiap penganiayaan yang dilakukan oleh kaum
Quraisy, maka mereka tetap bertahan untuk mempertahankan kebenaran. Sebagai
contoh, Amar bin Yasir mengalami penderitaan dan penganiayaan. Ia adalah salah
seorang budak yang menjadi korban dari sistem ekonomi yang berlaku saat itu,
yaitu ekonomi yang berdasarkan kepada sistem perbudakan. Seorang yang beriman
tersebut disiksa di Mekah di mana ia tidak memperoleh kebebasannya yang hakiki
kecuali setelah ia memeluk Islam. Mereka mengeluarkannya ke gurun dan
menyiksanya beserta ibunya. Bahkan siksaan semakin meningkat atas ibunya agar
ia kembali menjadi musyrik. Ketika ia tetap mempertahankan keimanannya dan
dengan tegas menolak ajakan untuk menentang Islam, maka Abu Jahal menikamnya
dengan belati yang ada di dua tangannya. Ia pun meninggal. Dan Islam
mengorbankan syahidnya yang pertama. Wanita mulia itu bernama Sumayah, ibu dari
Amar bin Yasir.
Banyak kalangan orang-orang bodoh
mengatakan tentang persetujuan Islam terhadap sistem perbudakan, atau Islam
mendiamkan sistem perbudakan. Mereka lupa bahwa Islam dibangun berdasarkan
suatu prinsip yang ingin membebaskan perbudakan dengan segala bentuknya; Islam
ingin mengeluarkan manusia dari kepemilikan sesama manusia menuju kepemilikan
kepada Allah SWT.
Jika Islam tidak turun dengan nas-nas
yang terperinci yang mengharamkan sistem perbudakan, maka dasar-dasarnya secara
umum dan prinsip-prinsip utamanya menghentikan—baik dalam tindakan maupun
ucapan—sumber-sumber sistem ini. Allah SWT sebagai pemilik syariat mengetahui
bahwa sistem perbudakan adalah sistem ekonomi yang sementara yang akan berubah
dengan perubahan waktu, dan karena Islam tidak turun pada waktu yang terdapat
perbudakan saja, tetapi ia turun secara umum dan menyeluruh untuk setiap zaman,
maka Islam sengaja melewati bentuk-bentuk yang temporal ini dari bentuk-bentuk
eksploitasi menuju unsur yang pertama atau dasar pertama yang menimbulkan
bentuk-bentuk eksploitasi tersebut, sehingga Islam mengharamkannya. Dengan cara
demikian, Islam mengharamkan sistem perbudakan secara bertahap, seperti proses
pengharaman khamer. Jadi, keseriusan Islam sangat menonjol dalam usaha
menghapus dan mengharamkan perbudakan.
Jika dikatakan kepada kita bahwa Islam
membolehkan para tentaranya untuk memperbudak para tawanan perang, maka kita
akan mengatakan bahwa Islam menerapkan sistem ini sebagai bentuk pembalasan
terhadap perlakuan yang sama di mana musuh-musuh Islam menjadikan kaum Muslim
sebagai budak-budak mereka ketika mereka menawannya. Oleh karena itu, secara
alami orang-orang Islam pun menawan mereka sebagai budak-budak. Jika Islam
tidak melakukan yang demikian, maka boleh jadi Islam akan dimain-mainkan dan
ada kesempatan besar bagi orang-orang musyrik untuk memperdaya Islam.
Demikianlah bahwa dakwah Islam
mengalami berbagai macam hambatan dan penindasan. Dan ketika orang-orang yang
tersiksa mengadu kepada Rasulullah saw atas penindasan yang mereka terima, maka
Rasulullah saw memberitahu mereka dengan pembicaraan yang jelas bahwa para dai
di jalan Allah SWT harus mengorbankan kesenangan mereka, kedamaian mereka, dan
darah mereka sebagai harga yang pantas untuk tersebarnya dakwah Islam.
Kebebasan bukan diperoleh dengan cuma-cuma. Sejarah kehidupan menceritakan
kepada kita bahwa ia dipenuhi dengan gumpalan darah yang harus dibayar oleh
masyarakat untuk memerangi musuh-musuhnya dari luar dan dari dalam. Jika ini
dialami setiap orang yang menuntut kebebasan pada zaman dan tempat tertentu,
maka bagaimana dengan orang-orang yang menuntut kebebasan manusia secara
keseluruhan.
Seorang Muslim hendaklah sadar bahwa
dengan mengumumkan dakwahnya, maka ia pasti akan menerima pengusiran,
penindasan, penjara, pengepungan dan pembunuhan. Ini adalah harga yang pantas
yang harus dibayar ketika berdakwah di jalan Allah SWT; inilah harga kebebasan.
Bahkan terkadang kaum yang batil pun membayamya dengan senang hati, maka
bagaimana mungkin orang-orang yang bersama kebenaran ragu untuk melakukannya.
Pada hakikatnya, manusia cinta kepada
keabadian. Secara naluri manusia merasa takut pada azab dan kematian. Dan
barangkali yang membedakan orang-orang Islam yang hakiki dengan yang lainnya
adalah bahwa mereka terbebas dari rasa ketakutan dan cinta keabadian. Ini
adalah tolok ukur yang pasti untuk membedakan antara seorang Muslim yang hakiki
dan seorang Muslim yang hanya namanya atau Muslim warisan atau hanya klaim
semata.
Seorang Muslim yang hakiki menyadari
bahwa ajal di tangan Allah SWT, rezeki adajuga di tangan-Nya, begitu juga
keamanan semua ada di tangan-Nya. Dengan keimanan seperti ini, ia memulai
pergulatannya untuk menyebarkan dakwah. Ia siap untuk menerima penyiksaan dan
penderitaan di jalan Allah SWT; ia pun siap meneteskan darahnya sebagai harga
yang pantas yang diberikannya dalam rangka memperoleh kebebasan. Ini semua
dilakukanya dengan begitu sederhana dan tidak ada rasa takut karena Islam
membebaskannya dari rasa ketakutan. Dahulu para pembangkang menggergaji
orang-orang yang menyeru di jalan Allah SWT dengan menggergaji saat mereka
dalam keadaan hidup-hidup.
Khabab bin Irit pergi menemui
Rasulullah saw dan meminta tolong kepada beliau dari penyiksaan orang-orang
Quraisy, sambil berkata: "Tidakkah engkau menolong kami, wahai Rasulullah?
Tidakkah engkau berdoa kepada kami, ya Rasulullah?" Rasulullah saw
menjawab: "Sungguh sebelum kalian terdapat orang-orang yang berdakwah di
jalan Allah SWT lalu mereka dimasukkan dalam suatu galian tanah lalu mereka
digergaji di mana tubuh mereka dipisah menjadi dua, namun mereka tetap
mempertahankan agamanya. Demi Allah, sungguh Allah SWT akan menolong masalah
ini tetapi kalian terlalu tergesa-gesa."
Dengan kalimat-kalimat yang penuh
kesabaran dan keberanian ini, Rasulullah saw ingin memahamkan kepada orang
tersebut bahwa termasuk dari kesempurnaan iman adalah membayar harga kebebasan.
Jelas sekali bahwa Islam tidak memberikan keuntungan bagi orang yang
memeluknya. Orang-orang Islam yang pertama tidak bertanya dan mengatakan:
"Apa yang kita peroleh dari agama ini?" Sebaliknya, mereka bertanya:
"Apa yang kita bayar untuk Islam?" Jawabannya adalah: "Segala
sesuatu dimulai dari suapan-suapan roti sampai darah yang tertumpah."
Jadi, kaum Muslim yang pertama telah membayar ongkos kebebasan. Mereka
merasakan kedamaian yang luar biasa untuk mempertahankan agama Allah SWT;
mereka mendapatkan kepercayaan yang tinggi tentang kemenangan kebenaran yang datang
kepada mereka; mereka justru memberitahu orang-orang musyrik bahwa mereka akan
dapat mengalahkan raja-raja Kisra dan Kaisar. Dengan dakwah yang mereka
lakukan, mereka akan menjadi pemimpin-pemimpin di muka bumi. Kaum musyrik
justru memanfaatkan kepercayaan ini untuk mengejek mereka dan menertawakan
mereka.
Ketika Aswad Ibnu Matlab dan
orang-orang yang bersamanya melihat sahabat-sahabat Nabi, maka mereka mengejek
dan mengatakan: "Telah datang kepada kalian pemimpin-pemimpin bumi yang
esok akan mengalahkan raja-raja Kisra dan Kaisar, kemudian mereka bersiul dan
bertepuk tangan." Namun kaum mukmin tidak peduli dengan ejekan tersebut.
Demikianlah bahwa ejekan demi ejekan terus menyertai dakwah kaum Muslim.
Kemudian kaum Quraisy mengadakan pertemuan yang bersejarah untuk menyatukan
pandangan dalam rangka menyerang Rasulullah saw. Kaum musyrik menuduhnya bahwa
beliau adalah seorang ahli sihir, dan pada kali yang lain mereka menuduhnya
bahwa beliau adalah dukun, dan pada kali yang lain lagi mereka menuduhnya bahwa
beliau adalah penyair, bahkan pada kali yang lain mereka menuduhnya bahwa
beliau adalah seorang yang gila. Kemudian mereka semua sepakat untuk menuduh
bahwa beliau adalah seorang penyihir.
Walid bin Mughirah yang terkenal
sebagai orang yang terpandang di kalangan mereka menuduh Rasulullah saw
sebagai penyihir yang dapat memisahkan antara sesama saudara dan antara
seseorang dengan isterinya. Kemudian mereka membikin kelompok-kelompok yang
mengingatkan para pendatang di Mekah bahwa Muhammad adalah seorang
penyihir. Meskipun demikian, dakwah Islam tetap berlangsung. Ia tetap tersebar
dengan pelan namun pasti dan kalimat-kalimat yang diutarakan Nabi justru
mengingatkan perjanjian yang pernah dilakukan oleh manusia, yaitu perjanjian
saat Allah SWT menyaksikannya ketika mereka masih di alam atom di punggung
Adam:
"Bukankah aku Tuhan kalian?
Mereka menjawab: 'Benar.'" (QS. al-A'raf: 172)
Bertambahlah jumlah kaum Muslim hingga
kaum Quraisy merasakan ketakutan. Mereka mulai melihat bahwa penggunaan
cara-cara kekerasan tidak selalu berhasil. Kemudian mereka memilih untuk
menggunakan cara baru, yaitu bagaimana seandainya mereka menggunakan perdamaian
dan perundingan. Orang-orang Quraisy mengutus 'Utbah bin Rabi'ah, seorang
lelaki yang terkenal dengan kecerdasan dan kebijaksanaan sebagai juru runding.
'Utbah berkata kepada Rasul saw:
"Wahai anak saudaraku, kami mengetahui kedudukanmu di sisi kami dari sisi
nasab. Engkau datang kepada kaummu dengan suatu hal yang besar di mana engkau
memisahkan kelompok-kelompok mereka. Maka dengarkanlah aku karena aku ingin
berbicara tentang beberapa hal. Barangkali engkau akan menerima
sebagiannya." Rasul saw berkata: "Silakan berbicara wahai
'Utbah." 'Utbah berkata: "Jika engkau menginginkan harta niscaya kami
akan mengumpulkan harta bagimu, sehingga engkau akan menjadi orang yang paling
kaya di antara kami, dan jika engkau menginginkan kehormatan, maka kami akan
memberi kehormatan itu bagimu dan jika engkau menginginkan kekuasaan, maka kami
akan menyerahkan kekuasaan padamu dan jika engkau terkena penyakit yang engkau
tidak mampu menolaknya dari dirimu, maka kami akan mencarikan tabib bagimu dan
kami akan mengeluarkan harta kami sehingga engkau sembuh."
Demikianlah 'Utbah mengakhiri
pembicarannya. Kemudian ia menunggu reaksi Nabi. Lalu Rasulullah saw berkata:
"Dengan nama Allah yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang. Haa miim. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah
lagi Maha Penyanyang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam
bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. Yang membawa berita gembira dan yang
membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling (darinya);, maka mereka
tidak (mau) mendengarkan. Mereka berkata: 'Hati kami berada dalam tutupan (yang
menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya dan di telinga kami ada sumbatan
dan antara kami dan kamu ada dinding, maka bekerjalah kamu; Sesungguhnya kami
bekerja (pula).' Katakanlah: 'Bahwasannya aku hanyalah seorang manusia seperti
kamu, diwahyukan kepadaku bahwasannya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa,
maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepadanya dan mohonlah ampun
kepadanya. Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-(Nya),
(yaitu) orang-orangyang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya
(hehidupan) akhirat. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang saleh mereka mendapat pahala yang tiada putus-putusnya.' Katakanlah:
'Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada yang menciptakan bumi dalam dua masa
dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itulah Tuhan
semesta alam. Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di
atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan
(penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi
orang-orang yang bertanya. Kemudian dia menuju kepada penciptaan langit dan
langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi:
'Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.'
Keduanya menjawab: 'Kami datang dengan suka hati.' Maha Dia menjadikannya tujuh
langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan
Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami
memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perhasa
lagi Maha Mengetahui. Jika mereka berpaling, maka katakanlah: 'Aku telah
memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum 'Ad dan kaum
Tsamud." (QS. Fushilat: 1-13)
Rasulullah saw telah menjawab tawaran
'Utbah di mana beliau memilih untuk menghadapi tawaran dan iming-iming tersebut
dengan membaca sebagian dari surah Fhusilat yang merupakan salah satu surah
Al-Qur'an yang diturunkan oleh Allah SWT melalui malaikat Jibril. 'Utbah
bangkit dari tempatnya ketika Rasulullah saw sampai pada firman-Nya:
"Jika mereka berpaling, maka
katakanlah: 'Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang
menimpa kaum "Ad dan kaum Tsamud. " (QS. Fushilat: 13)
'Utbah berdiri dalam keadaan takut dan
segera menuju kaum Quraisy. Bayang-bayang azab dunia terngiang di telinganya.
Dan ketika ia sampai ke orang Quraisy, ia mengusulkan agar orang-orang Quraisy
membiarkan apa saja yang dilakukan Muhammad. Gagallah perundingan dengan
seorang Muslim yang pertama, yaitu Rasulullah saw. Gagalnya perundingan
tersebut sebagai bentuk pemberitahuan tentang kembalinya tindak kekerasan dan
penyiksaan terhadap sahabat-sahabat Rasul saw. Kemudian kaum musyrik semakin
meningkatkan penindasan terhadap kaum Muslim. Rasulullah saw sangat menderita
melihat hal yang dirasakan para sahabatnya. Ketika kaum Muslim membayar harga
yang paling mahal sebagai konsekuensi dari akidah yang mereka anut dan mereka
dengan sabar memikul penderitaan di jalan Allah SWT, maka Rasulullah saw
mengisyaratkan mereka untuk berhijrah. Beliau memberikan izin untuk berhijrah
bagi orang yang ingin hijrah.
Kemudian Dimulailah gelombang hijrah.
Itu terjadi pada lima tahun dari turunnya wahyu setelah dua tahun diumumkannya
dakwah. Maka berhijrahlah ke Habasyah enam belas orang Muslim. Mereka keluar
secara rahasia dan mereka menuju ke laut. Mereka berlayar meskipun orang-orang
yang tinggal di gurun sebenarnya tidak ingin berlayar karena mereka takut dari
laut dan mereka yakin bahwa manusia yang berlayar di laut akan menjadi ulat di
atas kayu-kayu yang berenang.
Selanjutnya, gelombang hijrah yang
kedua pun dimulai. Kali ini diikuti oleh delapan puluh tiga orang laki-laki dan
sembilan belas perempuan. Kemudian orang-orang Quraisy berusaha untuk mengirim
beberapa orang dan tetap berusaha menyiksa dan menyakiti orang-orang yang
berhijrah. Mereka mengutus ke Najasyi, Raja Habasyah, orang-orang yang dapat
mempengaruhinya untuk menentang orang-orang yang berhijrah. Mereka menuduh kaum
Muslim meninggalkan agama nenek moyang mereka di Mekah dan mereka juga tidak
menganut agama Najasyi, yaitu agama Kristen. Kemudian orang-orang Quraisy tidak
lupa mengirim hadiah kepada Najasyi sebagai bentuk suapan kepadanya. Tampaknya
Najasyi seorang yang berakal lalu ia mengutus seseorang kepada kaum muhajirin
dan bertanya kepada mereka tentang agama baru yang mereka anut. Kemudian kaum
muhajirin menceritakan kepadanya tentang Islam.
Najasyi bertanya tentang Isa lalu
mereka menjawab: "Ia adalah hamba Allah SWT dan rasul-Nya dan ruh-Nya
serta kalimat-Nya yang diletakkan kepada Maryam, wanita yang perawan yang
suci." Kemudian Najasyi mengambil satu kayu kecil dari bumi dan
mengatakan: "Penjelasan tentang Isa yang kalian katakan tidak lebih dari
kayu kecil ini. Pergilah kalian dan kalian akan aman." Najasyi mengembalikan
hadiah kaum Quraisy dan mengatakan: "Allah tidak mengambil suap dariku
sehingga aku tidak mungkin mengambilnya dari kalian."
Demikianlah kaum muhajirin tinggal di
negeri yang damai, yaitu Habasyah negeri yang dipimpin oleh seorang laki-laki
yang diberi kematangan berpikir di mana ia cenderung mengimani karakter
al-Masih sebagai seorang manusia. Dan salah satu keajaiban kekuasaan Ilahi
adalah bahwa masyarakat Islam yang berhijrah tersebut tidak mengalami kelemahan
dalam akidahnya, namun mereka justru merasakan kekuatan.
Allah SWT memperkuat dakwah Islam
dengan masuknya dua lelaki besar dalam Islam, yaitu Hamzah, paman Nabi dan Umar
bin Khatab. Kedua orang itu mempunyai kepribadian yang tangguh di Mekah di mana
masing-masing dari mereka terkenal di tengah-tengah kaumnya. Allah SWT
berkehendak untuk memberi Islam dua orang lelaki yang tangguh di Mekah dan
Allah SWT telah meletakkan rahmat yang terpancar dalam hati mereka. Hamzah
masuk Islam karena dorongan emosi, fanatisme, dan rahmat terhadaporang-orang
yang tidak memberikan pembelaan kepada Muhammad saw.
Salah seorang perempuan berkata kepada
Hamzah: "Seandainya engkau melihat apa yang diperoleh oleh anak dari
saudaramu, Muhammad dari Abil Hakam bin Hisyam (Abu Jahal). Sungguh Abu Jahal
telah mencelanya dan menyakitinya, sedangkan Muhammad hanya terdiam dan tidak
mengatakan apa-apa." Mendengar pengaduan itu, darah mendidih berkobar
dalam urat-urat Hamzah. Dengan kemarahan yang sangat, Hamzah mencari-cari Abu
Jahal lalu ia melihatnya sedang duduk-duduk di tengah-tengah kaumnya. Hamzah
mengangkat tangannya lalu memukulkannya ke kepala Abu Jahal sambil berteriak:
"Apakah engkau akan mengejek Muhammad, padahal aku berada di atas
agamanya."
Demikianlah permulaan keislaman
Hamzah. Hamzah adalah seorang yang mulia di mana perasaannya berkobar ketika ia
melihat anak saudaranya disiksa dan dianiaya dan dia tidak mendapati seorang
pun yang membelanya. Beginilah sebab-sebab pertama dari keislaman Hamzah, namun
sebab yang paling dalam dan yang paling menentukan adalah rahmat Allah SWT yang
telah dianugerahkan kepadanya, meskipun Hamzah tidak mengetahuinya, yaitu
rahmat yang mendorongnya untuk tidak membiarkan seseorang pun menyakiti lelaki
yang berdakwah di jalan Allah SWT hanya karena ia seorang yang lemah dan tidak
mempunyai penolong. Jadi, Hamzah adalah penolongnya.
Sedangkan Umar bin Khatab terkenal
dengan ketangguhan sikap dan kekerasan perilaku. Seringkali kaum Muslim
mendapat siksaan darinya ketika ia masih menganut jahiliah. Dan salah seorang
yang mendapatkan siksaan ciarinya adalah Amir bin Rabi'ah dan isterinya. Amir
beserta istcrinya menetapkan untuk berhijrah ke Habasyah. Umar bin Khatab
menemuinya lalu ia mendapati isteri Amir dan tidak mencmukan suaminya. Umar
melihat wanita itu sedang bersiap-siap untuk berhijrah lalu Umar berkata (saat
itu sumber rahmat telah memancar pada dirinya): "Apakah engkau akan pergi
wahai Ummu Abdillah?" Dengan nada jengkel, wanita itu berkata:
"Benar, demi Allah kami akan keluar dan menuju tanah Allah SWT. Engkau
telah menyiksa kami dan telah memaksa kami untuk berhijrah. Kami akan pergi
sehingga Allah SWT akan memberikan kelapangan kepada kami." Umar berkata:
"Mudah-mudahan Allah SWTmenemanimu."
Wanita itu melihat tanda-tanda
kelembutan dan kesedihan pada wajah Umar. Dan ketika suaminya kembali, ia
menceritakan kepadanya bahwa ia sangat berharap kepada keislaman Umar. Lalu
suaminya menjawab: "Ia tidak mungkin masuk Islam sampai keledai Umar masuk
Islam." Ia mengatkan demikian karena ia melihat betapa bengisnya dan
kejamnya Umar. Namun perasaan lembut wanita itu lebih kuat daripada pandangan
pikiran lelaki itu dan keputusannya yang terlalu cepat kepada Umar.
Belum lama mereka berhijrah sehingga
Umar masuk Islam. Orang-orang muhajirin mengeluarkan penutup sumur rahmat dalam
dirinya. Dan barangkali Umar merasa kebingungan lalu ia menetapkan untuk
membunuh Rasul saw. Dengan menghunuskan pedangnya, ia pergi menuju Rasul saw.
Kemudian ia bertemu dengan orang-orang yang memergokinya dalam keadaan
kebingungan, lalu mereka bertanya kepadanya, hendak kemana ia akan pergi? Umar
menjawab: "Aku hendak ke Muhammad aku akan membunuhnya sehingga
orang-orang Arab merasa tenteram." Dengan nada mengejek, seseorang
berkata: "Tidakkah engkau memulai dari keluargamu sebelum engkau membunuh
Muhammad." Dengan nada jengkel, Umar berkata: "Apa yang terjadi pada
keluargaku?" Lelaki itu menjawab: "Saudara perempuanmu dan suaminya
telah masuk Islam, sedangkan engkau tidak mengetahuinya." Umar segera
mencari saudara perempuannya dan suaminya di mana saat itu keduanya sedang
membaca Al-Qur'an.
Ketika melihat Umar, mereka
menyembunyikan Al-Qur'an. Umar bertanya: "Sepertinya aku mendengar suara
bisikan dari luar." Tetapi saudara perempuannya mengatakan:
"Tidak." Kemudian suaminya ikut campur dan Umar pun tampak marah
kepadanya. Wanita itu bangkit untuk membela suaminya lalu Umar memukulnya
sehingga darah segar mengucur darinya. Darah itu justru membangkitkan sumber
rahmat dari diri Umar. Akhirnya, Umar mengambil air wudhu agar mereka
mengizinkan untuk membaca Al-Qur'an. Umar pun membacanya. Belum lama Umar
membacanya sehingga ia pergi menemui Rasul saw.
Tanpa ragu, Umar memilih untuk masuk
Islam. Dan pedang yang dibawanya itu menjadi pedang yang paling kuat yang
dengannya ia mempertahankan agama Muhammad saw. Kemudian ia mengetuk pintu
untuk menemui Rasul saw di mana saat itu beliau bersama sahabatnya. Dari
celah-celah pintu, sahabat Nabi melihat Umar bin Khatab sedang menghunuskan
pedang. Kemudian sahabat itu kembali kepada Nabi dengan membawa berita yang
sangat mengejutkan ini. Ia menduga bahwa Umar datang dengan maksud jahat.
Rasulullah saw bangkit dan
memerintahkan para sahabatnya agar membiarkan Umar. Rasulullah saw membukakan
pintu Kemudian ia menyambut Umar bin Khatab dan bertanya kepadanya apa yang
diinginkannya. Umar menjawab bahwa ia datang untuk mengucapkan dan bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.
Orang-orang Quraisy mulai merasa
bahaya akan mereka temui setelah keislaman Umar dan Hamzah. Para tokoh-tokoh
Mekah dan orang-orang yang dihormati telah masuk Islam. Sebelum Umar masuk
Islam, kaum Muslim bertawaf di Ka'bah secara rahasia dan dengan malu-malu,
namun ketika Umar masuk Islam ia menampakkan keislamannya dan ia menantang
orang yang mencegahnya untuk bertawaf, bahkan banyak orang-orang memberikan
jalan padanya saat tawaf. Mekah mengetahui bahwa ia menghadapi suatu dakwah
yang akan dapat mengubah jazirah Arab.
Rasa ketakutan mulai menghantui para
pemuka Quraisy dan mereka menetapkan metode baru untuk menghadapi kaum Muslim.
Mereka yang sebelumnya menggunakan metode penghinaan dan pengejekan kini mulai
mencoba untuk memblokade kaum Muslim secara ekonomi dan kemanusiaan. Kaum
musyrik mengadakan perkumpulan dan pertemuan untuk memboikot kaum Muslim. Mereka
mengadakan pertemuan itu di Ka'bah, sebagai penghormatan kepadanya. Orang-orang
musyrik menghormati Ka'bah meskipun mereka memenuhinya dengan berbagai macam
patung yang mereka sembah dalam rangka mendekatkan mereka kepada Allah. Pasal
kesepakatan itu menetapkan, hendaklah penduduk Mekah tidak menjual barang
apapun kepada kaum Muslim dan hendaklah mereka tidak menikah dengan kaum
Muslim. Dengan ketetapan yang kejam tersebut, mereka ingin menghancurkan kaum
Muslim dan membunuh perekonomian mereka. Rasulullah saw dan orang-orang yang
beriman kepadanya terpaksa berlindung di dusun Bani Hasyim. Mereka dilindungi
oleh keturunan Bani Muthalib, baik mereka orang-orang kafir maupun orang-orang
beriman kecuali musuh Allah SWT, Abu Jahal di rnana ia bersama orang-orang
Quraisy menentang kaummnya.
Kemudian Dimulailah blokade ekonomi
terhadap kaum Muslim di mana tidak ada makanan dan minuman yang datang kepada
mereka, sehingga penderitaan yang sulit kini dialami oleh sahabat-sahabat Nabi.
Ketika kafllah perdagangan datang ke Mekah dan salah seorang dari sahabat Nabi
menemui mereka di pasar untuk membeli makanan untuk keluarganya, maka Abu Lahab
berdiri dan berkata kepada para penjual, wahai para pedagang, mahalkanlah
dagangan kalian terhadap sahabat-sahabat Muhammad, sehingga mereka tidak mampu
membelinya dan aku menjamin kerugian yang kalian alami, bahkan aku akan membeli
apa saja yang ingin mereka beli dari kalian.
Mendengar hal tersebut, para pedagang
pun menjual barang dagangannya dengan harga yang tidak wajar, sehingga seorang
Muslim kembali ke rumah keluarganya tanpa membawa sedikit pun makanan. Kemudian
padagang itu pergi ke Abu Lahab dan memin-ta kepadanya agar membeli barang yang
ingin dibeli orang Muslim. Demikianlah peperangan tersebut terus terjadi
sehingga kaum Muslim merasakan penderitaan yang sangat luar biasa di mana
mereka dalam keadaan kelaparan dan kekurangan pakaian yang layak. Peperangan
ekonomi ini terjadi selama tiga tahun penuh. Saking menderitanya para sahabat
sampai-sampai Sa'ad bin Abi Waqas pernah keluar pada suatu hari untuk memenuhi
hajatnya, lalu ia mendengar suara gemerincing di bawah air kencing. Tiba-tiba
ia menemukan sepotong kulit unta yang kering lalu ia mengambilnya dan
membasuhnya. Kemudian ia membakarnya dan mencucinya dengan air sampai bersih
lalu ia menjadikannya makanan selama tiga hari.
Selama tiga tahun tersebut wahyu tetap
turun kepada Rasul saw dan seakan-akan ia melupakan bencana yang keras ini.
Allah SWT ingin mendidik para pengikut agama-Nya agar mereka mampu memikul
segala penderitaan.
Meskipun kaum Muslim mendapatkan
berbagai ujian selama tiga tahun tersebut, tetapi aktifitas dakwah Islam tidak
pernah padam dan tidak pernah surut. Kaum Muslim bertemu orang-orang selain
mereka pada musim haji lalu mereka berbicara kepada orang-orang tersebut
tentang keberadaan Allah SWT dan mereka meminta kepada para pengujung itu untuk
mencari rahmat Allah SWT dan ampunan-Nya. Keteguhan kaum Muslim dan keberanian
mereka telah memikat banyak orang sehingga mereka masuk Islam. Bahkan
orang-orang musyrik mulai bertanya kepada diri mereka dan mempertanyakan
kebenaran apa tindakan mereka. Lalu kecemburuan kepada kebenaran mulai
menyerang hati.
Kemudian Selesailah peperangan ekonomi
terhadap kaum Muslim di mana kaum musyrik melihat itu tidak berdampak terlalu
besar bagi kaum Muslim. Meskipun kaum Muslim menerima penderitaan dan kerugian
namun jumlah mereka tetap bertambah dan keimanan mereka semakin kuat serta
kepercaayaan kepada Allah SWT pun semakin meningkat. Lalu datanglah tahun
kesedihan kepada Nabi. Belum lama Rasulullah saw merasakan dan menghirup udara
segar setelah tiga tahun masa blokade dan beliau ingin memulai kehidupan
barunya dan dakwahnya, sehingga beliau dikagetkan dengan kematian isteri
tercintanya Ummul Mukminin Khadijah dan kematian pamannya yang tercita Abu
Thalib.
Abu Thalib adalah seorang yang besar
yang memiliki kewibawaan di tengah-tengah kaum Quraisy, sehingga usaha kaum
Quraisy untuk menyakiti Nabi menjadi terbatas ketika mereka berhadapan dengan
"tembok perlindungan" Abu Thalib kepada kemenakannya. Sedangkan
Khadijah merupakan tempat perlindungan dan kedamaian bagi Nabi. Ia adalah hati
yang sangat penyayang yang banyak menghibur Nabi saat beliau berdakwah.
Khadiijah adalah sebaik-baik teman dan sebaik-baik isteri. Begitu juga, bagi
Khadijah Rasulullah saw adalah sebaik-baik teman, sebaik-baik suami,
sebaik-baik pembantu, dan sebaik-baik sahabat.
Rasulullah saw sangat sedih ketika
kehilangan dua orang yang sangat berpengaruh dalam kehidupannya itu, bahkan
para sejarawan menamakan tahun tersebut dengan tahun kesedihan. Sebaliknya,
orangorang musyrik justru bergembira dengan kesedihan Rasul saw itu. Mereka
menganggap bahwa Rasul saw tidak lagi memiliki seorang tua yang mampu
melindunginya dan tidak lagi memiliki seorang isteri yang dapat meringankan
beban penderitaannya.
Setelah kematian dua orang tcrscbut,
penindasan dan penganiayaan kaum Quraisy kepada Nabi semakin meningkat dan
orang-orang musyrik memilih waktu yang tepat untuk menyembelih binatang di
Mekah lalu mereka membawa usus-usus atau jeroan dari unta dan mereka
melemparkannya dan meletakkannya di atas punggung Nabi saat beliau sujud.
Kemudian berita memilukan itu sampai kepada putri tercintanya, Fatimah
az-Zahrah, sehingga ia segera datang dan berusaha membela ayahnya dan membersihkan
kotoran yang ada di pundak ayahnya itu. Demikianlah kemuliaan Siti Fatimah
az-Zahra yang senantiasa melindungi ayahnya.
Betapa sedihnya Nabi saw ketika beliau
melihat bahwa keadaan beliau sampai pada batas di mana anak perempuan beliau
pun turut membelanya. Namun beliau tetap bersabar dalam berdakwah di jalan
Allah SWT. Pada suatu hari beliau berpikir untuk pergi ke Tha'if di mana di
sana dihuni oleh kaum Tha'if. Barangkali beliau berkata dalam dirinya: jika di
sini aku mendapati hati-hati yang telah membeku dan telah berhubungan mesra
dengan kebatilan ialu mengapa aku tidak pergi ke Tsaqif. Barangkali Allah SWT
akan membukakan pintu dakwah di sana. Mungkin di sana masih terdapat hati yang
akan terbuka guna menerima kebenaran.
Saat itu kaum musyrik memberlakukan
blokade umum atas dakwah yang dipimpin oleh Rasulullah saw sehingga tekanan
kepada beliau semakin meningkat sampai pada batas di mana pergerakan dakwah
tidak dapat bergerak satu langkah pun. Keadaan demikian ini sangat
menggelisahkan Nabi. Beliau ingin untuk melepaskan belenggu yang mengikatnya.
Lalu beliau memutuskan untuk pergi ke Tha'if. Jarak antara Mekah dan Tha'if
lebih dari tujuh puluh kilo meter. Nabi menempuh perjalanan itu dengan jalan
kaki, pergi dan pulang.
Kita tidak mengetahui pemikiran-pemikiran
apa yang terlintas dalam benak Rasulullah saw saat beliau pergi dan menemui
kabilah yang kafir kepada Allah SWT ini. Yang kita ketahui adalah bahwa beliau
pergi ke sana dengan membawa rahmat dunia dan akhirat. Tetapi mereka justru
membalas sikap baik Rasulullah saw itu dengan tindakan jahiliyah. Mereka
bersikap buruk kepada beliau dan mendustakannya. Rasulullah saw tinggal di sana
selama sepuluh hari. Beliau mondar-mandir dari satu rumah ke rumah yang lain
dan dari pasar ke pasar yang lain dan dari satu jalan ke jalan yang lain. Tak
seorang pun yang mendengar kedatangan beliau di sana; tak seorang pun yang mau
mendengar dakwah beliau dan tak seorang pun yang mau beriman kepada ajakannya.
Bahkan masyarakat di situ semakin menjadijadi dalam menyerang Rasulullah saw
dan mengejeknya.
Pada hari yang terakhir yang mana
beliau telah menetapkan untuk kembali ke Mekah. Rasulullah saw berdiri di
Tha'if dan mengharap kepada masyarakat di sana agar merahasiakan kunjungannya
kepada mereka sehingga pencelaan yang beliau terima di Mekah terhadap agama
yang dibawanya tidak semakin menjadi-jadi. Tetapi penduduk Tha'if menolak
permohonan yang terakhir ini. Mereka tidak cukup melakukan hal itu tetapi
mereka melakukan perbuatan terburuk yang dilakukan manusia terhadap sesama
manusia. Mereka menahan keluarga orang-orang yang bodoh dan orang-orang biasa
untuk membentuk dua barisan dan memerintahkan mereka untuk melempari Rasulullah
saw dengan batu dan mengejeknya. Nabi keluar dari Tha'if dan beliau mendapatkan
lemparan bertubi-tubi dari keluarga Tha'if bahkan beliau merasakan kepedihan
saat kakinya terkena lemparan batu itu sehingga darah suci mengucur dari kaki
beliau.
Kemudian Rasulullah saw diusir
sehingga beliau sampai di suatu kebun yang dimiliki oleh dua orang dari
orang-orang kaya Tha'if. Di sana beliau duduk di bawah naungan pohon anggur.
Dua orang pemilik kebun itu merasa kasihan melihat keadaan orang yang terusir
dan terluka itu. Mereka membawa kepadanya setangkai anggur dengan seorang
pembantu. Pembantu mereka adalah seorang Nasrani yang bernama Adas. Si pembantu
meletakkan setangkai anggur itu depan Rasul saw lalu beliau mengulurkan
tangannya kepadanya sambil berkata: "Bismillahirahmanirrahim (Dengan nama
Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Adas berkata kepada Nabi,
perkataan ini tidak begitu dikenal oleh penduduk negeri ini. Nabi berkata:
"Anda dari daerah mana?" Adas menjawab: "Aku adalah seorang
Nasrani dari Nainawa." Nabi berkata: "Apakah engkau dari desa lelaki
saleh Yunus bin Mata?" "Bagaimana engkau tahu tentang Yunus?, sambung
lelaki itu. Nabi berkata: "Itu adalah saudaraku. Ia adalah seorang Nabi
aku pun seorang Nabi."
Mendengar jawaban Rasul saw, Adas
segera merobohkan tubuhnya di depan kedua kaki Rasul saw lalu ia menciuminya
sambil menangis. Akhirnya, pembantu Nasrani itu masuk Islam sehingga ia
menambah barisan kaum Muslim. Ia adalah seorang yang menjadi Muslim ketika
Rasulullah saw berhijrah ke Tha'if. Inilah harga yang harus dibayar Rasulullah
saw sclania dua minggu saat beliau berada di Tha'if, dan kemudian bcliau
terkena cobaan dengan mengucurnya darah dari kaki beliau akibat lemparan batu
penghuni Tha'if.
Kemudian Rasulullah saw kcmbali ke
Mekah beliau kembali dalam keadaan ditolak oleh pcnduduk Tha'if dan kini beliau
kembali menerima penolakan itu di Mekah. Meskipun demikian, beliau merasakan
kesedihan yang mendalam melihat sikap kaumnya. Namun ketika kebencian semakin
deras mengalir kepada beliau, hati beliau justru semakin bersemangat dan
semakin dipenuhi dengan rahmat kemudian datanglah kepada Nabi masa di mana
tampak di dalamnya Islam asing, dan tampak di dalamnya Nabi seorang diri, tanpa
penolong.
Pada saat demikian ini ketika manusia
mulai meninggalkan Rasulullah saw lalu langit turut campur dan terjadilah
peristiwa besar dan mukjizat terbesar pada diri Nabi, yaitu Isra' dan Mi'raj.
Ia adalah mukjizat yang tidak berhubungan dengan dakwah Islam; ia tidak datang
untuk memperkuat dakwah ini atau menetapkannya tetapi ia datang semata-mata
untuk memperkuat keteguhan Nabi dan sebagai penghormatan kepadanya. Seakan-akan
Allah SWT ingin berkata kepada Nabi, jika saja penduduk bumi tidak memujimu,
maka penduduk langit mengenal kedudukanmu dan memberikan pujian yang layak
kepadamu dan jika manusia menolak dakwahmu dan menolak keberadaanmu, maka
sesungguhnya Allah SWT memilihmu dan memuliakanmu.
Untuk melihat tanda-tanda
kebesaran-Nya, munculnya mukjizat Isra' dan Mi'raj dalam sejarah para nabi
sebagai mukjizat satu-satunya yang tiada tandingannya dibandingkan dengan kisah
nabi yang lain. Kita mengetahui bahwa di deretan para nabi ada nabi-nabi yang
dinamakan oleh Allah SWT sebagai para kekasih-Nya dan sebagai para
pendamping-Nya, seperti Nabi Ibrahim. Kita juga melihat bahwa di antara para
nabi ada seseorang yang diajak bicara oleh Allah SWT tanpa perantara, seperti
Nabi Musa. Kita juga melihat di antara para nabi ada yang didukung oleh Allah
SWT dengan ruhul kudus, seperti Nabi Isa. Tetapi untuk pertama kalinya kita
berada di hadapan seorang nabi yang diajak dan dipanggil oleh Allah SWT untuk
menuju ke sisi-Nya.
Beliau naik bersama Jibril dengan
jasadnya dan ruhaninya sehingga Jibril berdiri di suatu tempat dan Nabi maju
sendirian. Itu adalah tingkat dari tingkat kehormatan di mana pena terasa keluh
untuk mengungkapkannya dan sejarawan tidak dapat menulis apa yang terjadi saat
itu. Kita telah melihat dalam kisah para nabi seorang nabi yang meminta kepada
Tuhannya agar memperlihatkan kepadanya bagaimana Dia menghidupkan orang-orang
yang mati. Allah SWT bertanya kepadanya, apakah ia belum beriman akan hal itu?
Ibrahim menjawab: Bahwa ia beriman tetapi ia ingin menenangkan hatinya.
Kita juga melihat dalam kisah para
nabi seorang nabi yang cintanya kepada Allah SWT memancar dalam kalbunya
sehingga ia meminta:
"Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri
Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". (QS. al-A'raf:
143)
Namun Allah SWT menjawab kepada Musa
tentang kemustahilan melihat Allah SWT atas manusia. Nabi Musa memahami bahwa
makhluk manapun tidak akan mampu menahan beban penampakan dari Zat sang
Pencipta.
Adapun Muhammad bin Abdillah ia tidak
bertanya kepada Tuhannya dan meminta kepadanya untuk diberi mukjizat atau
kejadian yang luar biasa; ia tidak meminta kepada Tuhannya agar dapat melihat
Zat-Nya dan ia tidak berusaha mencari ketenangan dalam hatinya. Cintanya kepada
Allah SWT termasuk bentuk cinta yang sulit untuk dipahami atau diselami
kedalamannya oleh para tokoh pecinta dan cintanya tersebut bukan termasuk
bentuk yang menimbulkan berbagai pertanyaan. Cinta beliau melampaui tingkat
permintaan menuju ketingkat penyerahan dan kepuasan atau ridha. Segala sesuatu
yang menggelisahkan Nabi adalah ridha Allah SWT.
Rasulullah saw berkata saat beliau
dalam keadaan ditolak dan diusir dan terluka akibat perbuatan kaum Tha'if:
"Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka aku tidak peduli dengan
mereka."
Lihatlah tingkat cinta yang tinggi
itu: bagaimana tingkat tersebut menyebabkan beliau merasa rendah diri sehingga
beliau berkata, "jika Engkau tidak murka kepadaku ..." Seakan-akan
beliau tidak menginginkan selain ridha Allah SWT dan yang beliau khawatirkan
adalah kemarahan Allah SWT.
Sungguh adab yang diterapkan
Rasulullah saw kepada Tuhannya adalah adab yang paling layak dan paling tinggi
yang sesuai dengan kedudukan beliau sebagai orang Muslim yang paling sempurna.
Demikianlah mukjizat Isra' dan Mi'raj.
Mukjizatyang tujuannya adalah menghormati kepribadian Rasulullah saw; mukjizat
yang membangkitkan peranan akal dan hati secara bersama. Para nabi tanpa
terkecuali didukung oleh bcrbagai macam mukjizat yang terjadi di muka bumi
bahkan para nabi yang diangkat ke langit seperti Nabi Idris dan Nabi Isa, maka
pengangkatan mereka sebagai bentuk menyelamatkan mereka dari usaha pembunuhan
atau penyaliban. Mukjizat mereka saat mereka diangkat ke langit adalah bentuk
akhir dari aktifitas mereka di muka bumi.
Ini adalah kali pertama ketika kita
mendapati suatu mukjizat yang tempat utamanya di langit; suatu mukjizat yang
terwujud bersama seorang Nabi yang diangkat ke langit dengan jasadnya dan
ruhaninya saat beliau masih hidup. Di sana Allah SWT memperlihatkan kepadanya
tanda-tanda kekuasaan-Nya. Kemudian beliau kembali ke bumi di mana beliau akan
mendapatkan berbagai macam tantangan dan cobaan yang biasa diterima oleh
penduduk bumi. Muhammad bin Abdillah adalah manusia yang pertama melewati
planet bumi dan beliau menembus bulan dan matahari dan bintang-bintang. Kita
menyaksikan di zaman kita manusia pertama atau astronot pertama yang mampu
menembus ruang angkasa. Ruang angkasa itu baru dapat ditembus oleh manusia
setelah empat belas abad dari turunnya risalah Muhammad saw, namun sejak empat
belas abad yang lalu Nabi Islam telah dapat menembus ruang angkasa itu, bahkan
beliau mencapai Sidratul Muntaha dan puncak al-Muntaha.
Beliau sampai pada batas yang di
situlah alam makhluk diakhiri dan beliau menembus alam gaib. Bukankah surga
bagian dari alam gaib? Beliau sampai di surga. Allah SWT menamakannya dengan
Jannatul Ma'wah. Beliau sampai pada batas terputusnya ilmu manusia dan tiada
yang mengetahui hakikat ilmu tersebut kecuali Allah SWT. Mukjizat Isra'
bukanlah mukjizat Mi'raj, meskipun kedua-duanya terjadi di satu malam.
Peristiwa Isra' dan Mi'raj dikutip oleh dua surah yang berbeda dalam Al-Qur'an
al-Karim. Allah SWT berfirman tentang mukjizat Isra':
"Maha Suci Allah, yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha
yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian
dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui." (QS. al-Isra': 1)
Sedangkan berkaitan dengan mukjizat
Mi'raj, Allah SWT berfirman:
"Dan sesungguhnya Muhammad telah
melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di
Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal. (Muhammad melihat
Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.
Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak
(pula) melampauiya. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda
(kekuasaan) Tuhannya yang paling besar." (QS. an-Najm: 13-18)
Pada malam Isra' dan Mi'raj, Nabi
Muhammad berkeliling di sekitar Ka'bah dan berdoa kepada Allah SWT. Beliau
dalam keadaan pucat wajahnya dan kedua air matanya mengucur; beliau tidak
bertawaf bersama seseorang pun; beliau tawaf sendirian lalu orang-orang kafir
dan orang-orang musyrik memandang beliau dengan pandangan kebencian saat beliau
bertawaf dan berdoa. Allah SWT melihat hamba-Nya yang khusuk itu lalu Allah SWT
menurunkan perintah-Nya kepada Ruhul Amin yaitu malaikat Jibril agar menemani
hamba-Nya dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsha Kemudian membawanya naik ke
langit agar dia dapat melihat tanda-tanda kebesaran Tuhannya.
Di suatu rumah yang mulia dan
sederhana dari rumah-rumah yang ada di Mekah, Nabi saw sedang tidur dan
datanglah waktu pertengahan malam. Jibril turun dan memasuki rumah sang Rasul
saw. Jibril as berdiri di sisi kepala sang Nabi dan ia melihat kepadanya dengan
pandangan cinta. Pandangan Jibril itu membangunkan Rasul saw kemudian beliau
membuka kedua matanya dan bangkit dari tempat tidurnya.
Jibril berkata kepada Nabi saw, salam
kepadamu wahai Nabi yang mulia. Allah SWT ingin agar engkau melihat sebagian
tanda-tanda kebesaran-Nya di alam. Kemudian Jibril berjalan bersama Nabi saw.
Mereka keluar dari rumah dan beliau menyaksikan Buraq yaitu makhluk yang
menyerupai burung dan mempunyai sayap seperti burung garuda; makhluk yang
terbuat dari kilat. Karena itu, ia dinamakan dengan Buraq. Kilat adalah listrik
dan listrik adalah cahaya. Cahaya adalah makhluk yang tercepat yang kita kenal
di bumi. Kilauan cahaya pada satu detik saja mencapai 186 ribu mil. Kita tidak
akan terlibat terlalu jauh tentang kendaraan luar angkasa yang digunakan dalam
perjalanan itu; kita tidak akan bertanya bagaimana Nabi saw menembus alam ruang
angkasa tanpa ada latihan sebelumnya dan berapa lama waktu yang beliau gunakan
untuk pulang pergi; kami juga tidak akan bertanya tentang kecepatan Buraq; kami
tidak heran dengan usaha penembusan luar angkasa ini; kita tidak akan bertanya
tentang semua itu karena kita mempunyai satu jawaban dari semuanya: Allah SWT
berkehendak agar hal itu terjadi dan untuk itu Allah SWT mengatakan kun
jadilah, maka jadilah.
Para ulama beselisih pendapat tentang
apakah Isra' dan Mi'raj terjadi dengan ruh saja atau dengan ruhani dan jasad
sekaligus. Ahli hakikat mengatakan bahwa itu terjadi dengan ruh dan jasad.
Tentu perselisihan itu berakibat pada perselisihan akal dan terjerumus dalam
perangkap kaifa (bagaimana) dan bertanya tentang kekuasaan Allah SWT dan usaha
untuk menundukkan masalah ini terhadap sebab-sebab yang biasa atau hukum-hukum
kita yang alami atau logika kemanusiaan. Allah Maha Suci dan Maha Tinggi dari
semua itu. Apakah seseorang akan bertanya, bagaimana Rasulullah saw naik
berserta ruh dan fisiknya ke puncak segala puncak di langit kemudian beliau
kembali sebelum tempat tidurnya dingin? Mukjizat apa yang terjadi di sini yang
melebihi mukjizat berubahnya air mani menjadi manusia dan berubahnya benih
menjadi pohon atau mukjizat air yang menghidupkan tanah, atau ia mampu
memuaskan kehausan si dahaga atau mukjizat cinta yang mengikat dua hati yang
belum pernah mengenal?
Sementara itu, Buraq menundukkan
badannya kepada Nabi saw kemudian Nabi saw menungganginya bersama Jibril dan
Buraq pergi bagaikan anak panah dari cahaya di atas gunung Mekah dan
pasir-pasir menuju ke utara. Jibril mengisyaratkan agar menuju arah gunung
Saina' lalu Buraq itu berhenti. Jibril berkata di tempat yang diberkati ini,
Allah SWT berdialog dengan Musa as. Kemudian Buraq kembali pergi ke Baitul
Maqdis, Nabi saw turun dari pesawat ini yang berjalan lebih cepat dari cahaya
dan jutaan kali lebih cepat darinya dan ia tidak berubah dari cahaya.
Nabi berjalan bersama Jibril dan
memasuki Baitul Maqdis. Beliau memasuki masjid dan beliau mendapati semua nabi
sedang menunggunya di sana. Allah SWT membangkitkan gambar para nabi-Nya dari
kematian dan mengumpulkan mereka di Mesjid Aqsha. Para malaikat memberinya
suatu bejana yang di dalamnya terdapat susu dan bejana yang lain yang di
dalamnya terdapat khamer. Lalu beliau memilih susu dan meminumnya. Dikatakan
pada beliau, sesungguhnya engkau telah memilih fltrah dan umatmu akan memilih
fitrah.
Para nabi mengitari Rasul saw dan
datanglah waktu salat. Para nabi bertanya di antara sesama mereka, siapa di
antara mereka yang menjadi imam salat, apakah itu Adam, Nuh, Ibrahim, Musa atau
Isa? Jibril berkata kepada Muhammad saw, sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu
untuk salat bersama para nabi. Rasulullah saw berdiri dan salat bersama para
nabi. Mereka semua adalah orang-orang Muslim dan beliau adalah orang-orang
Muslim yang pertama. Secara logis bahwa beliau layak menjadi imam dari para
nabi sebagaimana kitabnya dijadikan kitab yang terbaik daripada kitab-kitab
yang mendahuluinya. Beliau membacakan Al-Qur'an kepada mereka dan beliau
menangis saat membacanya. Kekhusukan beliau saat membacanya membuat para nabi
pun menangis. Dan ketika para nabi sujud di belakang imam mereka, pohon-pohon
dan bintang-bintang pun turut bersujud.
Selesailah waktu salat dan para nabi
membubarkan diri. Setiap nabi kembali ke langit yang mereka tinggal di
dalamnya. Nabi keluar dari masjid bersama Jibril dan mereka kembali menunggang
Buraq seperti panah dari cahaya. Buraq semakin meninggi dan ia melewati langit
pertama lalu beliau menyaksikan Nabi Adam. Kemudian ada panggilan dari Allah
SWT: "Hendaklah hamba-Ku semakin meninggi dan menjauh." Kemudian
hamba Allah SWT Muhammad bin Abdillah semakin terbang menjauh ia melampaui langit
demi langit. Beliau melampaui tempat materi dan mulai menjangkau tempat ruhani
dan melewatinya. Beliau bersiap berdiri di haribaan Ilahi; beliau semakin
tinggi dan jauh di tingkat dan dipuncak ruhani dalam kecepatan yang tidak
kurang dari kecepatan kilat.
Beliau melampaui kedudukan Nabi Adam
di langit pertama dan melampaui kedudukan Nabi Yahya dan Nabi Isa di langit
kedua. Lalu Tuhan pemilik kemuliaan memanggil, "hendaklah hamba-Ku lebih
tinggi lagi." Kemudian hamba Allah SWT dan Nabi-Nya yang mulia mencapai
tingkat yang lebih tinggi lagi. Beliau melampaui langit yang ketiga, keempat,
kelima, keenam, dan ketujuh. Beliau melampaui alam materi semuanya dan
melampaui alam ruhani. Akhirnya, beliau sampai ke Sidratul Muntaha. Beliau
sampai di tempat yang suci yang Allah SWT menamakannya dengan sebutan Sidratul
Muntaha dan di sana Nabi melihat dan menyaksikan Jannatul Ma'wa. Beliau
menyaksikan yang kita tidak mampu mengetahuinya dan memahaminya bahkan
membayangkannya:
"(Muhammad melihat Jibril) ketika
Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya
(Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidnk (pula)
melampauinya." (QS. an-Najm: 16-17)
Sungguh terjadilah pada tempat itu apa
yang terjadi dengannya. Dengan kebesaran yang misteri ini, Allah SWT
memberitahu kita bahwa terjadilah hal penting di sana meskipun hakikat hal
tersebut tersembunyi dari kita. Sesuatu yang Allah SWT sembunyikan dari kita
tersebut disaksikan oleh Rasul saw. Itu adalah mukjizat yang khusus baginya;
itu adalah tingkat cinta yang tidak tersingkap tabirnya karena ketinggiannya
yang tidak mampu ditangkap oleh pengetahuan manusia biasa.
Kemudian Tuhan pemilik surga dan
neraka memanggil, "hendaklah hamba-Ku lebih tinggi lagi." Hamba Allah
SWT Muhammad bin Abdillah menaik ke tempat yang tinggi. Kali ini beliau melihat
Jibril yang berada di belakangnya lalu beliau mendapatinya dalam keadaan
bertasbih kepada Allah SWT. Jibril tidak berada dalam wujud manusia seperti
yang Nabi saksikan ketika berada di dunia. Jibril as kembali ke dalam wujud
malaikatnya. Nabi melihat Jibril dan ia merupakan tanda kebesaran Allah SWT
yang Allah SWT janjikan untuk diperlihatkan kepadanya:
Penglihatannya (Muhammad) tidak
berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya." (QS.
an-Najm: 17)
Pemandangan itu terjadi dengan hati
dan mata serta panca indera yang dikenal dan yang tidak dikenal. Pemandangan
itu benar-benar jelas. Di sana bukan mimpi, bukan khayalan, dan bukan gambaran.
Rasul saw melihat semua itu dengan jasadnya dan ruhaninya:
"Penglihatannya (Muhammad) tidak
berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya." (QS.
an-Najm: 17)
Kemudian Rasulullah saw menuju ke
tempat yang tinggi dan lebih tinggi lagi. Beliau semakin naik ke tingkat yang
makin tinggi sampai beliau berdiri di hadapan Tuhan Pencipta langit dan bumi
dan Penebar kasih sayang di dunia dan di akhirat. Orang Muslim yang paling
sempurna itu bersujud di hadapan Tuhan Sang Pencipta sambil berkata:
"Sungguh penghormatan dan keberkatan serta shalawat yang baik tertuju
hanya kepada Allah SWT." Allah SWT membalasnya: "Salam kepadamu wahai
Nabi dan rahmat Allah SWT serta berkat-Nya juga tercurah kepadamu." Para
malaikat pun ketika mendengar ucapan itu bertasbih dan mengatakan: "Salam
kepada kita dan kepada hamba-hamba Allah SWT yang saleh."
Ungkapan-ungkapan tersebut merupakan
permulaan tahiyat (penghormatan) yang diucapkan orang-orang Muslim saat mereka
melaksanakan salat pada setiap hari. Salat telah diwajibkan atas kaum Muslim
pada kesempatan yang besar ini. Hal populer di kalangan umumnya kaum Muslim
adalah, bahwa Allah SWT mewajibkan atas Nabi mula-mula lima puluh salat sehari.
Kemudian Nabi turun dari langit lalu beliau menemui Nabi Musa. Selanjutnya Nabi
Musa bertanya kepadanya tentang jumlah salat yang diwajibkan Allah SWT kepada
umatnya. Nabi menceritakan bahwa Allah SWT telah menentukan lima puluh kali
salat. Nabi Musa berkata sungguh umatmu tidak akan kuat untuk melakukan salat
itu, maka kembalilah kepada Tuhanmu dan mohonlah kepadanya agar Dia meringankan
bagi umatmu. Lalu Nabi kembali kepada Tuhan-Nya sehingga Allah SWT meringankan
salat hingga sepuluh kali. Setelah itu, Nabi kembali bertemu dengan Nabi Musa.
Lagi-lagi Nabi Musa memperingatkannya. Kemudian Nabi kembali lagi kepada Allah
SWT sehingga sampai diturunkan salat dari lima puluh kali menjadi lima kali
sehari. Namun salat yang lima kali itu pahalanya sama dengan salat yang lima
puluh kali.
Menurut hemat kami, kisah tersebut
tidak memiliki sandaran dalam kitab-kitab ulama yang benar-benar teliti. Kami
kira, kisah itu tersebut merupakan rekayasa orang-orang Yahudi di mana mereka
masuk Islam dan mereka memenuhi kitab-kitab dengan dongeng-dongeng khurafat dan
mereka menisbatkannya kepada Rasul. Prasangka tersebut didukung oleh pemilihan
Musa sebagai seorang Nabi yang mengusulkan kepada Rasul saw agar meminta
keringanan atas umatnya sehingga terkesan Nabi Musa menjadi seseorang yang
lebih mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh Nabi Muhammad. Kami sendiri
cenderung untuk menolak kisah tersebut dengan keyakinan bahwa pertemuan Nabi
dengan Allah SWT menimbulkan rasa kebesaran dan kewibawaan yang luar biasa
sehingga ketika Nabi telah pergi, maka sangat berat baginya untuk kembali lagi.
Nabi menyaksikan dan melihat hal-hal
yang tidak mampu diungkap oleh lisan dan tidak mampu ditulis dengan pena.
Beliau berada di suatu keadaan yang tidak dapat dipahami oleh manusia biasa.
Al-Qur'an al-Karim sengaja tidak mcnyebutkan apa saja yang dilihat oleh Nabi
karena itu mernpakan rahasia antara Nabi dan Tuhannya dan mukjizat yang khusus
yang diperuntukkan baginya sebagai bentuk penghormatan kcpadanya. Jadi
Al-Qur'an sengaja tidak menyebutkan itu semua untuk menegaskan bahwa beliau
melihat tanda dari tanda-tanda kebesaran Tuhannya.
Kami tidak mengetahui apa yang dilihat
oleh Nabi. Hal yang dapat kami bayangkan adalah, bahwa Nabi bersujud dengan
khusuk di hadapan Tuhannya dan beliau menangis karena gembira. Kesedihan
hatinya telah hilang selamanya. Setelah Nabi melihat rahasia dan setelah
penghormatan yang besar ini, beliau kembali menemani Buraq dan pergi bersama
Jibril untuk kembali ke bumi. Beliau kembali dan mendapati tempat tidurnya
masih dingin. Bagaimana beliau pergi dan kembali sementara tempat tidumya belum
dingin? Berapa lama waktu yang diperlukannya saat melakukan perjalanan
tersebut? Hanya Allah SWT semata yang mengetahui. Yang kita ketahui adalah,
bahwa Rasulullah saw kembali ke tempat tidurnya setelah Isra' dan Mi'raj dan
hatinya dipenuhi dengan kegembiraan serta dadanya dipenuhi dengan ketenangan
dan kepuasan serta kefanaan dalam cinta kepada Allah SWT.
Kemudian datanglah waktu pagi. Nabi
menceritakan perjalanan dan pengalaman tersebut kepada sahabat-sahabatnya dan
orang-orang Musyrik sehingga berimanlah orang-orang yang beriman padanya dan
mendustakan kepadanya orang-orang yang mendustakannya. Namun beliau tidak
peduli dengan semua itu. Nabi terus melangsungkan perjuangannya dengan penuh
kesabaran.
Akhirnya, datanglah suatu masa di mana
Nabi saw mengetahui bahwa dakwah Islam di Mekah telah mengalami penekanan yang
luar biasa sehingga keadaan sangat tidak mendukung bagi kaum Muslim. Rasulullah
saw bergerak dengan dakwahnya. Lalu Allah SWT mewahyukan kepadanya agar ia
berhijrah. Kemudian mulAllah Nabi berhijrah di jalan Allah SWT setelah tiga
belas tahun beliau di Mekah. Islam ingin membangun negaranya dan ingin
menghilangkan pengepungan dan serangan kaum musyrik. Mula-mula terjadilah
perubahan sedikit dalam keadaan kaum Muslim.
Rasulullah saw keluar dalam musim haji
untuk menunjukkan dirinya pada kabilah-kabilah Arab sebagaimana yang beliau
lakukan pada setiap musim. Beliau berada di tempat yang bernama 'Aqabah, lalu
beliau bertemu dengan jamaah dari Khazraj. Rasulullah saw berkata kepada mereka,
"siapa kalian?" Mereka menjawab: "Kami berasal dari kelompok
Khazraj." Beliau berkata. "apakah kalian termasuk pembantu kaum
Yahudi?" Mereka menjawab, "benar." Beliau berkata, "maukah
kalian duduk bersama aku karena aku ingin sedikit berbicara dengan
kalian." Mereka menjawab: "Boleh." Kemudian mereka duduk bersama
Nabi lalu beliau mengajak mereka untuk mengikuti agama Allah SWT.
Rasulullah saw sedikit menceritakan
Islam kepada mereka dan membacakan Al-Qur'an. Enam orang mendengarkan apa yang
disampaikan oleh Nabi saw. Setelah beliau selesai dari pembicaraannya, mereka
membenarkannya dan beriman kepadanya. Kemudian mereka menceritakan kepada Nabi
saw bahwa mereka meninggalkan kaumnya karena kaum mereka terlibat peperangan
dan kebencian. Mudah-mudahan Allah SWT mengumpulkan mereka dengan kedatangan
Nabi saw yang mulia ini. Mereka memberitahu Nabi saw bahwa mereka akan
menceritakan kepada kaumnya apa yang mereka dengar dari Nabi saw dan akan
mengajak mereka untuk memenuhi dakwah Nabi.
Keenam lelaki itu kembali ke kota
Madinah yang berubah namanya menjadi Madinah Munawarah yang sebelumnya ia
bernama Yatsrib di zaman jahiliah. Allah SWT berkehendak untuk meneranginya
dengan Islam. Para lelaki itu kembali ke Madinah dan mereka membawa Islam di
hati mereka sehingga banyak orang yang masuk Islam.
Kemudian datanglah musim haji dan
keluarlah dari Madinah dua belas orang lelaki dari orang-orang yang beriman
yang di antara mereka terdapat enam orang yang Rasulullah saw telah berdakwah
kepada mereka pada musim yang dulu dan Nabi saw menemui mereka di 'Aqabah.
Kemudian Nabi melakukan baiat pada mereka agar mereka mempertahankan keimanan
dan membela dakwah kebenaran serta kemanusiaan.
Kaum lelaki itu kembali ke Madinah
disertai salah seorang yang terpercaya dari tokoh Islam yaitu Mus'ab bin Umair
di mana ia menjadi utusan Rasulullah saw di Madinah dan ia mengajari manusia
tentang agama mereka dan membacakan kepada mereka Al-Qur'an dan menyerukan
kebenaran kepada manusia sehingga tersebarlah Islam di Madinah. Penduduk Madinah
mulai bertanya-tanya, mengapa saudara-saudara kita kaum Muslim Mekah ditindas?
Mengapa Rasul saw keluar untuk berdakwah dan menebarkan rahmat tetapi beliau
justru mendapatkan angin kebencian? Sampai kapan kita akan membiarkan
Rasulullah saw teraniaya dan terusir di Mekah?
Demikianlah, pergilah tujuh puluh
orang ke Mekah, tujuh puluh orang dari penduduk Madinah Munawarah. Mereka pergi
ke 'Aqabah dalam keadaan sendirian dan berkelompok-kelompok. Islam telah
menghasilkan buah pertamanya dalam hati mereka sehingga hati mereka dipenuhi
cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya serta kaum Muslim. Penderitaan yang
dialami kaum Muslim mempengaruhi jiwa mereka dan mencegah mereka dari
mendapatkan kenikmatan tidur dan nikmatnya memakan dan nikmatnya kehidupan.
Orang-orang yang baik itu datang dan berbaiat kepada Rasul saw untuk membela
beliau menolongnya dan melindunginya serta siap untuk mati di jalannya. Mereka
datang setelah hati mereka diliputi oleh Islam dan mereka memberikan segala
sesuatu untuk dakwah yang baru; mereka datang sebagai pecinta-pecinta
kebenaran.
Kitab-kitab hadis yang suci
meriwayatkan apa yang terjadi pada baiat 'Aqabah al-Kubra. Dalam kitab tersebut
dikatakan bahwa Abbas Ibnu Abdul Muthalib datang bersama Nabi dan saat itu ia
masih berada dalam agama kaumnya. Ia ingin menyelesaikan urusan anak pamannya.
Ketika ia duduk dan berbicara, ia mengatakan suatu pernyataan yang
mengisyaratkan bahwa Muhammad saw mendapatkan kemuliaan dari kaumnya dan
kekuatan di negerinya tetapi ia enggan dan memilih untuk bergabung bersama
kalian wahai penduduk Madinah. Jika kalian memenuhi janjinya dan melindunginya,
maka ambillah ia, namun jika kalian khawatir jika suatu saat nanti akan
mengkhianatinya, maka mulai dari sekarang biarkanlah ia di negerinya.
Kata-kata Abbas tersebut berasal dari
fanatisme kesukuan dan ikatan darah keluarga namun penduduk Madinah tidak
begitu peduli dengan kalimat Abbas itu karena ia bukan termasuk dari agama
mereka dan ia tidak mengetahui tingkat cinta kepada Rasul saw yang mereka
capai. Abbas bin Abdul Muthalib menunggu jawaban dari penduduk Madinah. Lalu
mereka berkata kepadanya, "Kami telah mendengar apa yang engkau katakan,
maka berbicaralah ya Rasulullah, ambilah untuk dirimu dan Tuhanmu apa saja yang
engkau sukai."
Kita ingin mengamati jawaban
sekelompok orang yang mukmin dari penduduk Madinah ini sehingga Rasulullah saw
berbicara. Jawaban yang dicari oleh Abbas bin Abu Muthalib tersembunyi dalam
pernyataan Nabi. Demikianlah setelah Rasulullah saw mengucapkan kalimatnya,
maka tidak keluar pemyataan apa pun. Cukup hanya Nabi yang berbicara dan mereka
hanya menaatinya. Mereka meminta kepada beliau agar mengambil pada dirinya dan
Tuhannya apa saja yang beliau sukai; mereka merasa tidak memiliki apa-apa dan
tidak memiliki keputusan. Nabi berbicara lalu beliau membaca Al-Qur'an dan
mengajak ke jalan Allah SWT. Kemudian beliau bebicara tentang Islam dan beliau
membaiat mereka agar membantu beliau sehingga mereka pun membaiat kepadanya.
Demikianlah terjadinya baiat 'Aqabah al-Kubra.
Orang-orang yang terpilih oleh Allah
SWT itu mengetahui bahwa sebentar lagi mereka akan diajak untuk mengangkat
senjata: mereka diajak untuk mendapatkan kematian di bawah naungan pedang.
Mereka menenangkan Rasulullah saw bahwa beliau akan mendapati orang-orang yang
sudah terlatih dalam peperangan karena mereka mewarisi dari kakek-kakek mereka.
Salah seorang dari tujuh puluh orang
itu menyebutkan masalah yang penting. Abul Haitsyam berkata: "sesungguhnya
di antara orang-orang Madinah dan Yahudi terdapat suatu tali ikatan, maka
mereka boleh jadi akan memutuskannya lalu, apakah sikap yang harus kita ambil
jika mereka lakukan hal itu dan memusuhi orang-orang Yahudi," kemudian
Allah SWT menolong Nabi dan memenangkan atas kaumnya, lalu ia kembali kepada
mereka dan meninggalkan mereka di bawah kasih sayang orang-orang Yahudi.
Perhatikanlah bahwa pertanyaan
tersebut berkisar pada kecintaan kepada Nabi dan keinginan agar Nabi tetap
bersama mereka selama perjalanan hari dan bulan. Masalah yang dituntut oleh
Abbas bin Abdul Muthalib secara jelas adalah masalah perlindungan mereka kepada
Nabi, di mana hal tersebut tidak lagi diperdebatkan oleh orang-orang yang
terpilih dari penduduk Madinah. Namun masalah yang mereka inginkan adalah
masalah perlindungan Nabi dan keberadaan Nabi bersama mereka di Madinah.
Nabi tersenyum dan beliau mengatakan
kalimat-kalimat yang justru menekankan bahwa ikatan akidah lebih kuat daripada
ikatan darah. Beliau berkata: "Tetapi darah adalah darah dan kehancuran
adalah kehancuran. Aku dari kalian dan kalian dariku aku akan memerangi
orang-orang yang kalian perangi dan aku akan berdamai dengan orang-orang yang
kalian berdamai dengan mereka."
Akhirnya, penduduk Madinah pergi dan
kembali ke negeri mereka. Kemudian berita tentang baiat ini sampai ketelinga
orang-orang Mekah dan para tokoh musyrik, lalu mereka justru menambah penekanan
kepada Rasulullah saw dan kaum Muslim.
Para preman Mekah berkumpul di Darul
Nadwah. Mereka menetapkan akan mengambil sesuatu keputusan penting berkaitan
dengan Nabi. Salah seorang dari mereka mengusulkan agar beliau dibelenggu
dengan besi lalu dibuang di penjara sehingga beliau mati kelaparan. Sebagian
lagi mengusulkan agar beliau dibuang dari Mekah dan diusir. Abu Jahal
mengusulkan agar mereka mengambil dari setiap keluarga dari keluarga-keluarga
Quraisy seorang pemuda yang kuat, kemudian setiap dari mereka diberi pedang
yang terhunus dan hendaklah mereka memukulkan pedang itu ke tubuh Nabi. Jika
mereka berhasil membunuhnya niscaya semua kabilah bertanggung jawab terhadap
darah sang Nabi dan Bani Hasyim tidak akan mampu menuntut dan memerangi orang
Arab semuanya dan mereka akan menerima diat sebagai tebusan dari pembunuhan
itu. Demikianlah persekongkolan itu digelar dan mereka sepakat untuk
melaksanakan hal itu. Namun Al-Qur'an al-Karim menyingkap persekongkolan yang
dilakukan orang-orang kafir itu dalam firman-Nya:
"Dan (ingatlah), ketika
orang-orang kafir memikirkan tipu daya terhadapmu untuk menangkap dan
memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya
itu. Dan Allah sebaik-baih Pembalas tipu daya." (QS. al-Anfal: 30)
Allah SWT mewahyukan kepada Nabi-Nya
agar ia berhijrah. Lalu Nabi mulai menyiapkan sarana-sarana untuk hijrahnya.
Beliau menyembunyikan urusan tersebut bahkan beliau tidak memberitahu sahabat yang
akan menemaninya. Rasulullah saw menyewa seorang penunjuk jalan yang pengalaman
yang mengenal padang gurun seperti mengenal garis-garis tangannya. Yang
mengherankan penunjuk jalan itu adalah seorang musyrik. Demikianlah Nabi memita
bantuan kepada orang yang ahli tanpa memperhatikan keyakinannya.
Kemudian datanglah malam pelaksanaan
kejahatan itu. Rasulullah saw memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk tidur di
tempat tidumya di malam tersebut. Datanglah pertengahan malam dan Rasulullah
saw pun keluar dari rumahnya. Para pemuda Mekah mengepung rumah. Mereka
menghunuskan pedangnya. Nabi menggenggam tanah lalu beliau melemparkannya ke
arah kaum sehingga mereka pun merasa kantuk sehingga Nabi saw dapat menembus
kepungan mereka. Beliau keluar dari Mekah dan berhijrah.
Dengan langkah yang diberkati ini,
kaum Muslim menanggali tahun-tahun mereka. Tahun dalam Islam adalah tahun
Hijiriah, sedangkan kaum Masehi menanggali tahun mereka dengan kelahiran Isa
dan ini disebut dengan tahun Masehi. Adapun tahun-tahun Islam, maka ia
ditanggali pertama kalinya saat Rasulullah saw keluar berhijrah di jalan Allah
SWT. Hijrah Rasul bukan hanya lari dari penindasan tetapi lari dari kebekuan;
hijrah tersebut bukan keluar dari keamanan tetapi keluar dari bahaya. Islam di
Mekah hanya dapat mempertahankan dirinya tetapi ketika ia keluar ke Madinah ia
mempertahankan dirinya ketika menyerang. Dan selama beberapa tahun masa yang
dihabiskan di Mekah, tak seorang dari kaum Muslim yang mengangkat senjata.
Ketika mereka keluar ke Madinah, mereka mulai membawa senjata dan mulai
menyalakan obor peperangan. Islam mulai membawa senjata sebagaimana luka akan
sembuh dengan syarat jika diobati. Nabi saw mengetahui bahwa Islam tidak akan
menghabiskan usianya hanya untuk melawan serangan pada dirinya; Islam ingin
tersebar; Islam ingin mendirikan negaranya yang pertama yaitu suatu negara yang
belum pernah dikenal di muka bumi negara seperti itu. Negara yang mencapai
keadilan, kasih sayang, dan idealisme yang begitu luar biasa di mana hukum
Allah SWT ditegakkan dan kehormatan manusia benar-benar dijaga.
Inilah kedalaman hijrah yang
mengesankan yaitu pendirian negara Islam setelah sebelumnya membangun individu
masyarakat Muslim. Setelah Rasul saw membangun masyarakat Muslim dan membangun
masjid, maka beliau membangun suatu negara Islam. Selanjutnya, sayap-sayap
dakwah mengepak.
Kami kira pembaca tidak akan bertanya,
apa gunanya pembangunan masjid ditingkatkan sementara Islam masih mengalami
penindasan di muka bumi. Kami kira pembaca lebih pintar daripada orang yang
tidak mengetahui bahwa masjid yang dibangun Rasulullah saw di Madinah bukan
tempat peristirahatan dari keletihan, tetapi masjid merupakan pusat dari
kepemimpinan pergerakan Islam dan kepemimpinan menuju peperangan Islam.
Manusia mandi di masjid dengan cahaya
Allah SWT setelah itu mereka mandi di kancah peperangan dengan darah mereka.
Pertanyaannya adalah, siapakah di antara mereka yang akan terbunuh di jalan
Allah SWT sebelum saudaranya? Demikianlah perlombaan dalam perbaikan terjadi di
antara mereka. Dengan cara demikianlah Islam tersebar.
Sementara itu, Nabi berlindung di
suatu gua; di gunung yang bernama Tsur. Beliau masuk ke gua itu bersama
sahabatnya Abu Bakar. Dan orang-orang musyrik pergi menyusul beliau dengan
membawa pedang mereka. Lalu mereka sampai ke gunung itu. Abu Bakar berkata
kepada Rasul saw dengan keadaan gelisah, "seandainya salah seorang mereka
melihat di bawah kakinya niscaya mereka akan melihat kita."
Dengan tenang, Rasulullah saw menepis
kegelisahan Abu Bakar dan berkata: "Wahai Abu Bakar apa yang kamu kira
dengan dua orang yang ada di tempat yang sepi sementara Allah SWT menjadi
ketiga di antara mereka?" Sebelum Rasulullah saw mengakhiri kalimatnya,
terdapat laba-laba yang selesai dari menenun rumahnya di atas pintu gua. Kitab-kitab
sejarah mengatakan bahwa kaum musyrik mengikuti jejak sang Nabi sehingga mereka
sampai di gunung Tsur lalu di situlah mereka mengalami kebingungan. Mereka
mendaki gunung dan mendaki gua itu. Lalu mereka melihat di atas pintu gua itu
terdapat tenunan laba-laba. Mereka mengatakan, seandainya seseorang masuk di
dalamnya niscaya tidak akan terdapat tenunan laba-laba di atas pintunya. Beliau
tinggal di gua itu selama tiga malam.
Demikianlah keimanan tenunan laba-laba
yang lembut dimenangkan atas ketajaman pedang kaum musyrik sehingga Nabi
bersama sahabatnya pun selamat. Kini, kedua orang itu menuju Madinah. Dan
Madinah pun menyambut mereka. Ketika Rasulullah saw dan sahabatnya memasuki
Madinah, mula-mula masyarakat tidak mengenal siapa di antara mereka yang menjadi
Rasul karena saking baiknya sikap Rasul terhadap sahabatnya. Akhirnya, Nabi
menerangi kota Madinah. Beliau membangun masjid dan mendirikan negaranya serta
memerangi musuh-musuhnya dan tersebarlah Islam dan Mekah pun ditaklukkan dan
Baitul Haram disucikan.
Beliau menanamkan dalam akal dan hati
suatu cahaya yang tidak akan pernah padam. Kemudian berlangsunglah sepuluh
tahun yang dilewatinya di Madinah di mana beliau tidak menggunakannya untuk
berleha-leha. Demikian juga selama masa tiga belas tahun yang beliau lalui di
Mekah, beliau pun tidak mendapatkan istirahat yang cukup. Semua kehidupan
beliau hanya untuk Allah SWT dan hanya untuk Islam. Beban berat yang dipikul
oleh punggung beliau yang mulia lebih berat dari beban yang dipikul oleh
gunung. Meskipun beliau seorang diri, tetapi beliau mampu memikul amanat yang
pernah Allah SWT tawarkan kepada langit dan bumi serta gunung namun mereka pun
enggan untuk memikulnya. karena mereka menyadari bahwa mereka tidak akan mampu
memikulnya. Lalu datanglah beliau dan beliau pun mampu memikul amanat itu dan
melaksanakannya secara sempurna. Yaitu amanat untuk menyampaikan agama Allah
SWT; amanat untuk menyucikan akal manusia dari polusi khayalisme dan
khurafatisme: amanat yang mewarnai kehidupan dengan hanya sujud kepada Allah
SWT.
Kemudian mengalirlah dalam memori Nabi
saw suatu arus dari gambar-gambar hidup: bagaimana saat beliau memasuki
Madinah. Lewatlah di hadapan akal beberapa memori dan nostalgia: bagaimana
wahyu yang turun kepadanya dengan membawa risalah di gua Hira, kemudian
berubahlah pandangan dan bertiuplah angin kebencian kepadanya, bahkan angin itu
membawa pasir-pasir tuduhan-tuduhan yang dilemparkan ke wajah suci beliau.
Beliau berdiri sambil tersenyum dan hatinya dipenuhi dengan kesedihan di
hadapan gelombang gurun dan kesendirian serta badai kesengsaraan. "Wahai
manusia, tiada Tuhan selain Allah SWT. Demikianlah kalimat yang beliau katakan.
Meskipun kalimat itu tampak sederhana namun ia mampu membangkitkan dunia. Dan
bergeraklah patung-patung yang begitu banyak yang memenuhi kehidupan dan mereka
membekali dirinya dengan kegelapan dan kebencian yang dialamatkan kepada sang
Nabi. Para pembesar. para penguasa, uang, emas, serta kebencian dan kedengkian
setan yang klasik dan banyaknya orang-orang munafik, semua ini menjadi musuh
nyata sang Nabi pada saat beliau mengatakan "tiada Tuhan selain Allah
SWT." Nabi mengingat kembali Waraqah bin Nofel ketika menceritakan
kepadanya apa yang terjadi dan apa yang dialami beliau di gua Hira. Tidakkah ia
mengatakan kepadanya bahwa kaumnya akan mengusirnya?
Hari-hari hijrah sangat panjang dan
berat. Matahari sangat dekat dengan kepala dan rasa panas sangat mencekik
tenggorokan dan rasa pusing-pusing pun semakin meningkat. Setelah hijrah, Nabi
memasuki Madinah. Beliau disambut oleh kaum Anshar dengan sambutan luar biasa.
Beliau datang sendirian lalu mereka menolongnya; beliau datang dalam keadaan
takut lalu mereka mengamankannya; beliau datang dalam keadaan lapar lalu mereka
memberinya makanan; beliau datang dalam keadaan terusir lalu mereka memberikan
perlindungan.
Bangunan Islam mulai ditancapkan di
Madinah. Beliau mulai membangun negaranya setelah beliau membangun sumber daya
manusia Islam yang tangguh. Yang pertama kali dibangunnya adalah sumber daya
Islam, setelah itu beliau baru membangun negara. Tidak ada nilai yang berarti
dari satu sistem yang hanya berdasarkan prinsip-prinsip besar yang tidak lebih
dari sekadar tinta di atas kertas. Penerapan prinsip-prinsip adalah tolok ukur
final dari nilai apa pun yang diberlakukan di dunia. Dan Islam telah berhasil
menerapkan pada masa-masa pertamanya suatu sistem yang belum pernah dikenal
dalam kehidupan manusia suatu sistem seperti itu. Yaitu sitem yang menunjukkan
keadilan, persaudaraan, dan kasih sayang yang mengagumkan. Hal yang pertama
kali dilakukan Rasulullah saw adalah membangun masjid di mana di situlah unta
yang ditungganinya berhenti. Mesjid itu tampak sederhana. Tikarnya terdiri dari
pasir-pasir dan batu-batu. Tiangnya terbuat dari batang-batang kurma.
Barangkali ketika turun hujan, maka tanahnya akan menjadi lumpur karena
mendapat siraman air hujan. Mungkin ketika angin bertiup dengan kecang, maka ia
akan mencabut sebagian dari atapnya.
Di bangunan yang sederhana ini,
Rasulullah saw mendidik generasi Islam yang tangguh yang dapat menghancurkan
orang-orang yang lalim dan para penguasa yang bejat dan mereka mampu
mengembalikan kebenaran ke singgasananya yang terusir dan terampas. Mereka
mampu menyebarkan Islam di muka bumi. Mesjid itu tampak kecil dan sederhana
sekali tetapi ia dipenuhi dengan kebesaran; masjid itu tidak menunjukkan
kemewahan sama sekali. Di dalamnya Al-Qur'an dibaca lalu orang-orang yang
mendengarnya menganggap bahwa mereka benar dan mendapatkan perintah harian
untuk menerapkan dan melaksanakan apa-apa yang mereka dengar.
Al-Qur'an dibaca di masjid bukan
seperti nyanyian yang orang-orang duduk akan merasa terpengaruh dengan
keindahan nyanyian dan suara pembaca. Dan masjid di dalam Islam bukanlah tempat
satu-satunya untuk ibadah. Menurut kaum Muslim semua burni adalah masjid namun
masjid adalah simbol peradaban yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir,
sebagaimana ia menyuarakan ilmu, kebebasan dan persaudaraan.
Semua Nabi berbicara tentang
persaudaraan dan mengajak kepadanya dengan ribuan kata-kata. Sedangkan
Rasulullah saw telah mewujudkan persaudaraan itu secara praktis, yakni ketika
karakter masyarakat saat itu mencerminkan Al-Qur'an. Nabi mulai
mempersaudarakan kaum muhajirin dan Anshar di mana sahabat Anshar Sa'ad bin
Rabi', seorang kaya dari Madinah dipersaudarakan dengan Abdul Rahman bin 'Auf,
seorang yang berhijrah dari Mekah. Sa'ad berkata kepada Abdul Rahman:
"Sesungguhnya, tanpa bermaksud sombong, aku memang memiliki harta yang
banyak daripada kamu. Aku telah membagi hartaku menjadi dua bagian dan
sebagiannya aku peruntukkan bagimu. Lalu aku mempunyai dua orang wanita, maka
lihatlah siapa di antara mereka yang mampu memikatmu sehingga aku
menceraikannya lalu engkau dapat menikahinya." Abdul Rahman bin 'Auf
menjawab: "Mudah-mudahan Allah SWT memberkatimu, keluargamu, dan hartamu.
Di manakah pasar yang engkau berdagang di dalamnya?"
Abdul Rahman bin 'Auf keluar menuju ke
pasar untuk berkerja. Ia kembali dan membawa sesuatu yang dapat dimakannya. Ia
menolak dengan lembut sikap baik Sa'ad dan kedermawanannya. Ia bersandar pada
keimanan kepada Allah SWT dan lebih memilih untuk bekerja dan membanting
tulang. Tidak berlalu hari demi hari kecuali ia tetap bekerja sehingga ia mampu
untuk membekali dirinya dan melaksanakan pernikahan.
Demikianlah masyarakat Islam terbentuk
dan menampakkan identitasnya berdasarkan cinta, kebebasan, musyawarah, dan
jihad. Pekerjaan menurut Islam bukan suatu penderitaan untuk mendapatkan roti
atau potongan daging sebagaimana dikatakan peradaban kita masa kini, tetapi
pekerjaan dalam Islam melebihi ruang lingkup materi ini dan menuju puncak yang
lebih tinggi:
"Dan katakanlah: 'Bekerjalah
kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang muhmin akan melihat
pekerjaanmu itu. " (QS. at-Taubah: 105)
Kesadaran bahwa apa yang kita kerjakan
akan dilihat oleh Allah SWT menjadikan perkerjaan itu mendapat cita rasa yang
lain. Yaitu suatu rasa yang melampaui nikmatnya memakan roti dan daging.
Setelah bekerja, datanglah cinta. Cinta dalam Islam bukan hanya perasaan yang
menetap dalam hati dan tidak diwujudkan oleh suatu perbuatan; cinta dalam Islam
merupakan langkah harian yang akan mengubah bentuk kehidupan di sekitar manusia
menuju yang lebih tinggi dan mulia.
Seorang Muslim mencintai Tuhannya
Pencipta alam semesta dan mencintai Rasulullah saw dan mencintai kaum Muslim
dan orang-orang yang berdamai dengan orang-orang Muslim, meskipun keyakinan
mereka berbeda dengannya. Bahkan seorang Muslim mencintai makhluk secara
keseluruhan: ia mencintai anak-anak, hewan, bunga, pasir dan gunung bahkan
benda-benda mati pun mendapat cinta dari seorang Muslim. Seorang Muslim jika
dia benar-benar seorang Muslim akan merasakan dnta yang dialami oleh Nabi Daud
terhadap alam dan lingkungan di sekitarnya. Ini adalah perasaan sufi yang
tinggi. Seorang Muslim akan mewarisi cinta yang sebenarnya seperti yang
diwarisi Nabi Isa terhadap lingkungan yang baik yang ada di sekitarnya di mana
ketika Nabi Isa melihat tubuh anjing yang mati, maka Nabi Isa tidak melihat
selain keputihan giginya.
Demikianlah cinta yang tersebar dalam
kehidupan kaum Muslim di mana cinta itu pun tertuju kepada binatang dan
benda-benda mati. Cinta demikian ini tidak akan terwujud dengan suatu keputusan
dan tidak ditetapkan dengan suatu undang-undang, tetapi cinta itu datang
biasanya akibat dari kepuasaan akal dan hati dengan adanya kepemimpinan besar
yang hati cenderung kepadanya dan akal mengambil darinya. Dan yang dimaksud
dengan kepemimpinan besar tersebut adalah keberadaan sang Nabi. Beliau adalah
cermin terbesar dari tingkat cinta yang tertinggi. Beliau adalah seorang yang
paling banyak berbuat demi Islam dan paling banyak sedikit mengharapkan balasan
darinya. Meskipun beliau seorang pemimpin namun beliau hidup dalam
kesederhanaan. Beliau adalah seorang tentara yang paling sederhana. Tempat
tidurnya bersih tetapi kasar, dan rumahnya tidak menampakkan kesibukan yang di
dalamnya memasak berbagai macam hidangan. Beliau justru menyiapkan hidangan
yang sangat sederhana. Makanan utama beliau adalah roti kering yang dicampur
dengan minyak. Keinginan besar beliau adalah tersebarnya dakwah Islam.
Kaum Muslim menyadari bahwa
kesempurnaan Islam tidak akan terwujud kecuali ketika cinta Allah SWT dan
Rasul- Nya lebih didahulukan daripada cinta diri sendiri, cinta kepada wanita,
cinta kepada anak, kepentingan, kekuasaan, kehidupan, dan apa saja yang tidak
ada hubungannya dengan Allah SWT dan Rasul-Nya. Demikianlah kaum Muslim sangat
mencintai pemimpin mereka lebih dari kehidupan pribadi mereka. Di samping
pekerjaan dan cinta tersebut, didirikanlah pemerintahan Islam yang berdasarkan
kaidah-kaidah kebebasan, musyawarah dan jihad.
Kebebasan dalam Islam bukan sekadar
perhiasan yang dilekatkan kepada tubuh Islam tetapi ia merupakan tenunan dari
sel-sel yang hidup itu. Allah SWT telah membebaskan kaum Muslim dari
penyembahan selain dari-Nya. Dengan demikian, runtuhlah semua belenggu yang
hinggap di atas akal, hati, dan masyarakat. Seorang Muslim memiliki—dalam
Islam—suatu kebebasan yang diberikan kepadanya agar ia melihat sesuatu dengan
akalnya dan mendebat segala sesuatu dengan akalnya. Dan hendaklah ia merasa
puas dengan sesuatu yang dapat menenteramkan hatinya. Kebebasan dalam Islam
bukan kebebasan mutlak yang menjurus kepada anarkisme dan diskriminasi tetapi
kebebasan dalam Islam adalah kebebasan yang bertanggung jawab.
Dalam ruang lingkup nas-nas yang pasti
yang terdapat dalam Al-Qur'an atau sunah tidak ada kebebasan di hadapan orang
Muslim selain kebebasan untuk berlomba-lomba untuk menerapkan apa yang mereka
pahami. Selain itu, seorang bebas sampai tidak terbatas, dan pintu ijtihad
tetap terbuka sampai tidak ada batasnya, karena pintu ijtihad adalah akal dan
menutup pintu ijtihad yakni menutup akal dan itu berarti akan membawa kematian
baginya. Islam tidak menerima orang-orang yang mati akalnya atau menga-lami
kemunduran; Islam pada hakikatnya memperlakukan manusia dari sisi akal dan
hati.
"Adalah untukmu, sedang kamu
menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah yang untukmu, dan
Allah meng-hendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan
memusnahkan orang-orang kafir." (QS. al-Anfal: 7)
Orang-orang Islam karena kekafiran
mereka dan kebutuhan mereka serta situasi ekonomi yang memburuk, mereka ingin
bertemu dengan pasukan yang tidak bersenjata; mereka ingin bertemu dengan
kafilah yang kaya, bukan pasukan yang bersenjata; mereka membutuhkan harta
untuk menyebarkan dakwah. Namun Allah SWT menginginkan mereka dengan keadaan
seperti itu agar mereka berhadapan dengan pasukan kafir dan agar mereka mampu
memutus tali kekuatan orang-orang kafir sehingga kebenaran akan menang.
Keluarlah orang-orang Muslim dalam
peperangan Badar dengan membayangkan bahwa mereka akan mendapatkan keuntungan
dan kesenangan dengan banyak mengambil ganimah. Namun Allah SWT menginginkan
terjadinya peperangan yang berat, di mana itu berakibat pada jatuhnya
tokoh-tokoh kaum kafir Mekah sebagai korban darinya dan agar Madinah dapat
menahan penderitaan dan kefakiran yang dialaminya. Seharusnya pengikut Islam
tidak membayangkan untuk mengambil keuntungan tetapi ia justru harus memberi
kepadanya.
Nabi mengetahui sebagai pemimpin
pasukan ia harus mengingatkan pasukannya bahwa mereka akan menemui kesulitan
dan penderitaan, dan bukan masalah sepele seperti yang mereka bayangkan. Nabi
bermusyawarah dengan sahabat-sahabat. Beliau berbincang-bincang dengan Abu
Bakar Shidiq, Umar bin Khattab, dan Miqdad bin Amr. Lalu mereka semua sepakat
untuk terus melakukan peperangan apa pun hasilnya dan apa pun pengorbanan yang
harus dilakukan.
Kemudian Rasulullah saw berkata:
"Wahai para sahabat, tunjukkanlah diri kalian." Rasulullah saw
mengisyaratkan kepada kaum Anshar. Rasulullah saw khawatir jika mereka memahami
bahwa baiat yang terjadi di antara mereka yang berisi agar mereka melindungi
beliau jika beliau diserang di Madinah saja, dan memang pasal-pasal dari baiat
itu mendukung hal itu. Tidakkah mereka mengatakan kepada beliau: "Ya
Rasulullah, kami tidak akan bertanggung jawab kepadamu sehingga engkau sampai
di negeri kami. Jika engkau sampai di negeri kami, maka kami akan bertanggung
jawab untuk melindungimu."
Mayoritas pasukan terdiri dari
orang-prang Anshar, maka Rasulullah saw ingin mengetahui keputusan mayoritas
tentara sebelum dimulainya peperangan. Kaum Anshar mengetahui bahwa Rasul saw
ingin mengetahui pendapat kaum Anshar. Oleh karena itu, Sa'ad bin 'Auf berkata:
"Demi Allah, seakan-akan engkau menginginkan kami ya Rasulullah."
Nabi menjawab, "benar." Kemudian kaum Anshar menyatakan apa yang
mereka rasakan.
Mendengar pernyataan kaum Anshar itu
hilanglah kekhawatiran dan ketakutan Nabi, bahkan beliau bergembira dan
wajahnya berseri-seri. Rasulullah saw telah mendidik mereka berdasarkan Islam
dan Islam tidak mengenal pasal-pasal perjanjian namun ia justru tenggelam dalam
esensinya dan kedalamannya yang jauh. Kaum Anshar meyakinkan Nabi bahwa mereka
benar-benar beriman kepadanya, mencintainya dan akan mendengarkan apa saja yang
beliau katakan serta akan benar-benar menaati beliau.
Sa'ad bin Mu'ad berkata: "Ya
Rasulullah, lakukanlah apa yang engkau inginkan dan kami akan bersamamu. Demi
Zat yang mengutusmu dengan kebenaran, seandainya engkau membelah lautan lalu
engkau menyelam di dalamnya niscaya kami akan menyelam bersamamu dan tidak ada
seseorang pun di antara kami yang akan meninggalkanmu." Demikianlah keteguhan
kaum Anshar. Kalimat tersebut menetapkan peperangan paling penting dan paling
berbahaya dalam sejarah Islam.
Perasaan kaum Anshar dan Muhajirin
dalam pasukan Rasul saw sangat berbeda dengan perasaan Nabi Musa ketika mereka
mengatakan kepadanya, "pergilah engkau wahai Musa bersama Tuhanmu dan
berperanglah, sesungguhnya kami di sini hanya duduk-duduk saja." Namun
kaum Muslim menyatakan bahwa seandainya Rasul saw memerintahkan mereka untuk
melalui lautan dengan berjalan kaki di atas ombaknya niscaya mereka akan melakukan
hal itu walaupun berakibat pada tenggelamnya mereka dan kematian mereka dan tak
seorang pun yang akan menentang perintah Rasul saw tersebut.
Akhirnya, kaum Muslim bersiap-siap
untuk memasuki kancah peperangan lalu mereka membuat kemah-kemah yang di situ
ditentukan tempat peristirahatan dan pergerakan tentara Islam. Tempat itu
ditentukan oleh Rasul saw. Allah SWT membiarkan Rasul-Nya melakukan kesalahan
dalam memilih tempat sehingga itu akan dapat menjadi pelajaran bagi kaum Muslim
dalam kaidah umum dari kaidah-kaidah peperangan yaitu sikap pemimpin pasukan
untuk mengambil suatu kebijakan yang penting yang berdasarkan pengalaman.
Kemudian datanglah Habab bin Mundzir kepada Rasulullah saw dan bertanya
kepadanya, "apakah tempat yang kita jadikan sebagai pusat pergerakan
tentara kita merupakan pilihan dari Allah SWT dan Rasul-Nya hingga kita tidak
dapat mendahuluinya dan mengakhirinya yakni kita tidak dapat memberikan
pendapat kita ataukah itu hanya masalah yang bersifat tehnik yakni itu terserah
pada pendapat kita dan sesuai kebijakan saat perang dan ia merupakan tipu daya
semata?"
Rasulullah saw berkata: "Tetapi
itu adalah pendapat pribadi, peperangan, dan tipu daya." Habab berkata:
"Ya Rasulullah ini adalah tempat yang tidak tepat." Sahabat yang
sarat pengalaman ini memilih tempat di mana pasukan Madinah dapat minum darinya
sedangkan pasukan Mekah tidak dapat mengambil darinya. Kemudian berpindahlah
pasukan Muslim menuju tempat yang telah ditentukan oleh pengalaman militer.
Sampailah pasukan Mekah di mana jumlah
mereka mendekati seribu tentara dan mereka akan berhadapan dengan tiga ratus
tujuh belas pasukan Muslim. Pasukan Quraisy berada di tempat yang jauh dari
lembah.
Pasukan kafir terdiri dalam perang
Badar dari pemuka-pemuka Quraisy dan pahlawan-pahlawan mereka, sedangkan
pasukan Muslim terdiri dari keluarga-keluarga, ipar-ipar dan keluarga dekat
dari pasukan kafir. Allah SWT telah menentukan agar seorang anak bertemu dengan
ayahnya, saudara bertemu dengan sesama saudara dan sesama ipar bertemu di medan
peperangan. Mereka semua dipisahkan dengan suatu prinsip di mana mereka
ditentukan oleh pedang. Akhirnya, peperangan Badar pun terjadi dan kaidah utama
adalah kaidah persaudaraan sesama Muslim. Dan ketika pasukan Muslim berpegang
teguh di atas dasar Islam, maka pasukan kafir mulai terpecah belah namun
keadaan tersebut mereka sembunyikan.
Lalu 'Utbah bin Rabi'ah berbicara di
tengah-tengah pasukan Mekah dan mengajak mereka untuk menarik kembali dari
peperangan. 'Utbah memberikan pernyataan sesuai dengan tuntutan akal sehat,
"wahai orang-orang Quraisy demi Allah, jika kalian harus memerangi
Muhammad, maka kalian akan menyesal karena kita berhadapan dengan
saudara-saudara kita sendiri. Boleh jadi kita akan membunuh anak paman kita,
atau salah seorang dari kerabat kita. Mengapa kalian tidak membiarkannya
saja?"
Kalimat yang rasional tersebut cukup
menggoncangkan pasukan Mekah. Sebagian tentara merasa puas dengan pernyataan
tersebut karena mereka melihat bahwa tidak ada gunanya peperangan itu. Namun
kebohohan justru memadamkan kalimat yang rasional itu. Abu Jahal menuduh bahwa
yang mengucapkan kata-kata adalah orang yang penakut. Kemudian Abu Jahal lebih
memilih pendapatnya untuk menetapkan terus memerangi kaum Muslim.
Pemimpin pasukan kafir yaitu Abu Jahal
mengetahui bahwa Muhammad tidak pernah berbohong. Kitab-kitab sejarah
menceritakan bahwa Akhnas bin Syuraif menyendiri dalam perang Badar bersama Abu
Jahal sebelum terjadinya peperangan tersebut dan bertanya kepadanya,
"wahai Abul Hakam, tidakkah engkau melihat bahwa Muhammad pernah
berbohong? Abul Hakam menjawab: "Bagaimana mungkin ia berbohong atas
Allah, sedangkan kami telah menamainya al-Amin (orang yang dapat
dipercaya)." Peperangan tersebut bukan sebagai usaha untuk mendustakan
Rasul saw tetapi itu hanya semata-mata untuk menjaga kepentingan-kepentingan
sesaat dan keadaan ekonomi. Demikianlah orang-orang kafir mempertahankan nilai
yang paling rendah yang ada di muka bumi yang juga dipertahankan oleh binatang,
sementara kaum Muslim justru mempertahankan nilai yang paling tinggi di bumi
dan di langit yang ikut serta di dalamnya para malaikat.
Kemudian datanglah waktu malam
menyelimuti dua kubu. Tiga ratus tentara yang mukmin sudah bersiap-siap dan
mendekati seribu tentara musyrik. Orang-orang musyrik datang dengan menunggangi
tunggangan mereka dan tampak mereka memiliki persenjataan yang lengkap,
sedangkan setiap orang Muslim datang di atas satu kendaraan. Pakaian yang
dipakai orang-orang musyrik tampak masih baru dan pedang-pedang mereka tampak
mengkilat serta baju besi yang mereka gunakan sangat unggul dan kuat. Alhasil,
mereka memiliki persiapan yang sangat mengagumkan sedangkan pakaian yang
dipakai orang-orang Muslim tampak sudah usang dan pedang-pedang kuno pun mereka
gunakan dan baju besi yang mereka gunakan tampak tidak sempurna. Nabi melihat
keadaan pasukannya lalu hati beliau tampak sedih melihat pasukan tersebut.
Beliau berdoa kepada Tuhannya: "Ya Allah, Sesungguhnya mereka adalah
orang-orang yang lapar, maka kenyangkanlah mereka. Ya Allah, sesungguhnya
mereka adalah orang-orang yang tanpa alas kaki, maka tolonglah mereka. Ya
Allah, Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tidak berpakaian, maka
berilah mereka pakaian."
Kemudian rasa kantuk menghinggapi mata
kedua pasukan lalu mereka beristirahat di tengah-tengah malam. Jatuhlah hujan
kecil yang membuat tempat itu basah sehingga kelembaban mengitari kaum Muslim.
Hujan tersebut membasuh tanah perjalanan dan menghilangkan debu-debu kepayahan
serta menyucikan hati dan membangkitkan kepercayaan atas kemenangan dari Allah
SWT.
Allah SWT berfirman:
"(Ingatlah), ketika Allah
menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteram dari-Nya, dan Allah
menurunkan hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu dan
menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan setan dan untuk menguatkan hatimu dan
memperteguh dengannya telapak kaki(mu)." (QS. al-Anfal: 11)
Datanglah waktu pagi di Badar lalu
kaum Quraisy mulai menyerang, lalu Nabi memerintahkan pasukan Muslim untuk
bertahan. Rasulullah saw bersabda: "Jika musuh mengepung kalian, maka
usirlah mereka dengan panah dan janganlah kalian menyerang mereka sehingga
kalian diperintahkan."
Demikianlah ketetapan militer yang
sangat jitu yang berarti hendaklah kaum Muslim membentengi mereka di
tempat-tempat mereka agar orang-orang musyrik mendapatkan kerugian dari
serangan yang mereka lakukan. Kita mengetahui dari ilmu militer saat ini bahwa
seorang yang menyerang memerlukan tiga atau tiga kali lipat dari jumlah yang
biasa dilakukan sehingga serangannya betul-betul efektif; kita mengetahui bahwa
jumlah pasukan musyrik tiga kali lipat dibandingkan dengan tentara Muslim. Kaum
musyrik dilihat dari segi jumlah sangat memadai untuk memenangkan peperangan,
dan persenjataan mereka lebih lengkap dari persenjataan kaum Muslim. Jumlah hewan
yang mereka miliki pun sama dengan jumlah mereka, sedangkan tiap tiga orang
Muslim berperang di atas satu tunggangan.
Keadaan saat itu sangat menguntungkan
kaum musyrik. Tanda-tanda kemenangan tampak menyertai bendera kaum musyrik,
tetapi kemenangan peperangan bukan karena kebesaran jumlah pasukan dan
persenjataan yang lengkap. Terkadang peperangan justru dimenangkan oleh unsur
spiritual yang tidak kelihatan. Spiritualitas tentara dan keimanannya tentang
persoalan yang dipertahankannya serta keinginannya untuk mendapatkan dua
kebaikan: kemenangan atau kematian dan hasratnya yang tinggi untuk meneguk madu
syahadah, semua itu dapat mengubah seorang tentara menjadi makhluk yang tidak
terkalahkan. Boleh jadi ia akan merasakan kematian tetapi jauh dari kekalahan.
Demikianlah keadaan pasukan Muslim.
Sementara itu debu-debu berterbangan
di atas kepala pasukan yang bertempur dan kaum Muslim mencurahkan tenaga yang
keras dalam peperangan itu. Ketika dua pasukan saling bertemu dan bertempur,
Nabi saw melihat mereka, lalu Nabi saw menyaksikan pasukannya terjepit. Pasukan
yang berjumlah sedikit dengan persenjataan yang tidak lengkap itu kini ditekan
oleh orang kafir. Dalam keadaan demikian, Nabi saw meminta pertolongan kepada
Tuhannya: 'Ya Allah, kirimkanlah bantuan dan pertolongan-Mu. Ya Allah,
wujudkanlah janji-Mu kepadaku. Ya Allah, jika kelompok ini dihancurkan, maka
Engkau tidak akan disembah setelahnya di muka bumi." Renungkanlah,
bagaimana kesedihan Nabi saat terjadi peperangan itu. Oleh karena itu, kita dapat
memahami mengapa Nabi saw meminta agar pasukannya dimenangkan.
Pemimpin pasukan tertinggi Muhammad
bin Abdillah keluar berperang di jalan Allah SWT dan saat ini kematian sedang
mengitari kaum Muslim, lalu apa yang dipikirkan oleh Nabi saw pada keadaan yang
sulit tersebut? Pemikiran Nabi saw melebihi hal yang sekarang dan menuju pada
hal yang akan datang, dan yang menjadi fokus Nabi adalah penyembahan Allah SWT
di muka bumi: "Ya Allah, jika kelompok ini dihancurkan, maka Engkau tidak
akan disembah setelahnya di muka bumi."
Nabi tidak terlalu mengkhawatirkan
kehancuran kaum Muslim karena Nabi justru mengkhawatirkan sesuatu yang lebih
besar dari itu. Yang beliau khawatirkan adalah penyembahan kepada Allah SWT
akan berhenti di muka bumi. Oleh karena itu, Nabi meminta tolong kepada
Tuhannya dan mengingatkan kembali kepada Tuhannya dan Allah SWT lebih tahu dari
hal itu. Kemudian turunlah bala tentara malaikat yang dipimpin oleh Jibril.
Allah SWT berfirman:
"(Ingatlah), ketika kamu memohon
pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankankan-Nya bagimu: 'Sesungguhnya Aku
akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang
berturut-turut.' Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bantuan itu),
melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan
kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana." (QS. al-Anfal: 9-10)
Setelah itu Nabi saw menghampiri
sahabat Abu Bakar dan berkata: "Sampaikan berita gembira wahai Abu Bakar,
sesungguhnya telah datang kepadamu bantuan dari Allah SWT."
Turunnya para malaikat merupakan cara
untuk meneguhkan kaum Muslim dan berita gembira kepada mereka. Mukjizat itu
bukan terletak pada penyertaan para malaikat dalam peperangan, namun melalui
nas-nas ditegaskan bahwa peranan malaikat tidak lebih dari sekadar membawa
berita gembira dan memberikan dukungan moril serta memenuhi hati dengan
ketenangan. Kami kira bahwa Allah SWT ingin agar para malaikat menyaksikan
manusia-manusia malaikat yang mempertahankan akidah tauhid.
Demikianlah Allah SWT mewahyukan
kepada malaikat bahwa Dia bersama mereka. Oleh karena itu, hendaklah
orang-orang yang beriman merasa tenang dan kebenaran akan tertancap pada hati
mereka sedangkan orang-orang kafir pasti akan merasakan ketakutan.
Allah SWT berfirman:
"(Ingatlah), ketika Tuhanmu
mewahyukan kepada para malaikat: 'Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka
teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman.' Kelak akan Aku
jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala
mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka. (Ketentuan) yang demikian
itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya; dan
barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah amat keras
siksaan-Nya. Itulah (hukum dunia yang ditimpakan atasmu), maka rasakanlah
hukuman itu. Sesungguhnya bagi orang-orang yang kafir itu ada (lagi) azab
neraka." (QS. al-Anfal: 12-14)
Lalu orang-orang kafir pun mengalami
kekalahan. Setelah peperangan itu, terbunuhlah tujuh puluh kafir dan tujuh
puluh tawanan dari mereka dan sebagian pasukan melarikan diri. Runtuhlah
tokoh-tokoh kebencian dan kelaliman di peperangan tersebut. Hancurlahlah Abu
Jahal, pemimpin pasukan, dan pahlawan-pahlawan Mekah kini terkapar.
Rasulullah saw berdiri di depan
bangkai-bangkai orang-orang kafir dan berkata: "Wahai Utbah bin Rabi'ah,
wahai Syaibah bin Rabi'ah, wahai Umayah bin Khalf, wahai Abu Jahal bin Hisam,
apakah kalian menemukan apa yang dijanjikan oleh tuhan kalian kepada kalian. Sungguh
aku telah menemukan apa yang dijanjikan Tuhanku." Orang-orang Muslim
berkata: "Ya Rasulullah, apakah engkau memanggil kaum yang sudah
mati?" Rasulullah berkata: "Kalian tidak mengetahui apa yang aku
katakan kepada mereka, tetapi mereka tidak mampu menjawab perkataanku."
Rasulullah saw tinggal tiga malam di Badar kemudian beliau kembali ke Madinah.
Di depan beliau terdapat tawanan-tawanan perang dan ganimah.
Kaum Muslim sangat menanggung beban
berat dengan banyaknya tawanan perang. Mula-mula Rasulullah saw bermusyawarah
dengan sahabat Abu Bakar dan Umar. Abu Bakar berkata: "Ya Rasulullah,
mereka adalah keturunan dari saudara-saudara dan keluarga, dan aku melihat
lebih baik engkau mengambil fidyah (tebusan) dari mereka sehingga apa yang
engkau ambil tersebut merupakan kekuatan bagi kita terhadap orang-orang kafir,
dan mudah-mudahan Allah SWT memberi petunjuk kepada mereka sehingga mereka
menjadi tulang punggung kita."
Kemudian Rasulullah saw menoleh kepada
Umar bin Khattab sambil berkata, "bagaimana pendapatmu wahai Ibnul
Khattab?" Lelaki itu berkata: "Demi Allah, aku tidak sependapat
dengan apa yang dikatakan Abu Bakar tetapi aku berpendapat, seandainya aku
mampu untuk bertemu dengan salah seorang kerabatku, maka aku akan memukul
lehernya, dan seandainya Ali mampu bertemu dengan keluarganya, maka ia pun akan
memukul lehernya begitu Hamzah sehingga Allah SWT mengetahui bahwa tidak ada di
hati kita kelembutan kepada kaum musyrik."
Pasukan Madinah dan pasukan Mekah
terdiri dari keluarga-keluarga yang terikat hubungan kekerabatan, namun
kehendak Allah SWT menetapkan terjadinya peperangan sesama keluarga: antara
anak dan orang tuanya. Umar menginginkan agar keadaan demikian terus berlanjut
sehingga orang-orang musyrik mengetahui bahwa Islam tidak ingin berdamai. Kemudian
Selesailah urusan itu dan terjadi peperangan di jalan Allah SWT dan mengangkat
senjata dan berperang adalah suatu kewajiban yang tiada keraguan di dalamnya.
Nabi saw menoleh kepada kaum Muslim dan mendapati sebagian besar mereka
cenderung kepada pendapat Abu Bakar. Nabi saw mengikuti pendapat mayoritas saat
itu. Pendapat mayoritas salah dan hanya Umar yang benar.
Ini adalah peperangan pertama yang
dilalui oleh Islam. Hendaklah kaum Muslim harus meninggalkan dorongan
kemanusiaan mereka, yakni orang-orang kafir harus dibunuh agar musuh-musuh
Allah SWT mengetahui bahwa Islam telah memilih darah. Allah SWT telah mendukung
Umar bin Khattab dalam Al-Qur'an sehingga Nabi saw dan Abu Bakar menangis
ketika keduanya menyadari kesalahan mereka pada hari berikutnya, lalu Umar
memergoki mereka dalam keadaan menangis dan ia bertanya, "apa yang
menyebabkan Rasulullah saw dan temannya di gua menangis?" Kemudian
Rasulullah saw membaca Al-Qur'an:
"Tidak patut bagi seorang Nabi
mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu
menghendaki harta benda duniawi sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat
(untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak
ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan
yang besar karena tebusan yang hamu ambil." (QS. al-Anfal: 67-68)
Kedua ayat itu mengatakan bahwa ini
bukan saatnya melindungi para tawanan dan berusaha untuk menebus mereka. Waktu
Demikian belum saatnya. Nabi tidak berhak memiliki tawanan kecuali jika ia
telah melakukan banyak peperangan dan banyak berjihad dan telah banyak membunuh
dan dakwahnya telah mapan.
Kedua ayat tersebut menyingkap tujuan
di balik penebusan tawanan: "Kamu menghendaki harta benda duniawi
sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu)."
Demikianlah pemikiran yang
mempertimbangkan keadaan-keadaan aktual yang sulit. Itu adalah pemikiran yang
bersifat taktik sebagaimana yang kita ungkapkan dalam istilah modern dan bukan
pemikiran yang bersifat strategis. Kemudian para tawanan tersebut bukan tawanan
biasa tetapi menurut istilah modern mereka adalah penjahat-penjahat perang.
Oleh karena itu, nyawa mereka harus ditumpahkan saat mereka dapat ditangkap,
meskipun mereka memiliki kekayaan yang banyak atau kedudukan yang tinggi. Islam
tidak mengakui kekayaan atau kedudukan, yang diakuinya adalah keimanan,
sedangkan pertimbangan-pertimbangan duniawi lainnya tidak dihiraukan oleh
Islam.
Nas Al-Qur'an memperingatkan
orang-orang yang menang bahwa kesalahan mereka bisa berakibat pada datangnya
siksaan yang bakal mereka terima tetapi Allah SWT mengampuni mereka dan
menurunkan rahmat-Nya: "Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah
terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan
yang kamu ambil."
Siksaan tersebut memang lebih dekat
daripada pohon yang dekat ini, kemudian Allah SWT mengampuni mereka dan Allah
SWT mengampuni sahabat-sahabat yang terjun di perang Badar, baik dosa yang lalu
maupun dosa mereka yang akan datang. Demikianlah Al-Qur'an ingin mendidik kaum
Muslim agar mereka tidak banyak mempertimbangkan urusan manusiawi saat
berperang. Jadi, Islam memulai peperangannya yaitu peperangan yang hanya
ditujukan kepada Allah SWT dan hendaklah peperangan tersebut dihilangkan dari
pertimbangan-pertimbangan yang sulit sehingga sahabat-sahabat Nabi mengetahui
bahwa kecenderungan kepada kesenangan duniawi akan berakibat pada kekalahan
mereka.
Dalam peperangan Uhud jumlah kaum
musyrik tiga ribu sedangkan jumlah kaum Muslim tiga ratus pasukan setelah
pemimpin orang-orang munafik Abdullah bin Saba' mengundurkan diri pasukan. Kaum
Muslim diletakkan di gunung dan Rasulullah saw membuat rencana yang jitu untuk
memenangkan pertempuran di mana beliau membagi pasukan pemanah di puncak gunung
untuk melindungi punggung kaum Muslim dan melinduingi mereka dari serangan dari
arah belakang. Rasulullah saw memberi pengertian kepada pasukan panah itu agar
mereka tetap di tempatnya baik kaum Muslim menang maupun kalah. Yakni bahwa
pasukan pemanah tidak boleh turun dari gunung dan meski berusaha untuk
melindungi kaum Muslim. Rasulullah saw berkata kepada mereka. "lindungilah
punggung-punggung kami. Jika kalian melihat kami sedang bertempur, maka kalian
tidak usah turun darinya dan tidak usah menolong kami, dan jika kalian melihat
kami memperoleh kemenangan dan mengambil ganimah, maka kalian tidak boleh ikut
serta bersama kami."
Setelah membuat keputusan tersebut,
Rasulullah saw kembali ke pasukan yang lain, lalu beliau membikin suatu rencana
untuk menyerang. Dan Dimulailah peperangan kemudian pasukan Islam mendorong
pasukan musyrik laksana angin yang kencang yang memporak-porandakan ribuan kaum
musyrik. Pada tahapan pertama pasukan Islam tampak menguasai medan dan berhasil
menyapu kaum musyrik sehingga pasukan Mekah tampak berputus asa meskipun mereka
unggul secara bilangan dan meskipun mereka memiliki kuatan persenjataan yang
lengkap, pasukan Mekah justru dikagetkan dengan ketangguhan pasukan Muslim yang
dapat memukul mundur mereka hingga mereka membayangkan balwa mereka tidak dapat
memenangkan peperangan atau dapat bertahan di hadapan pasukan Muslim.
Debu-debu peperangan mulai
berterbangan yang menyertai tanda-tanda kekalahan pasukan Mekah. Sementara itu,
para pemanah yang diletakkan Rasulullah saw di suatu tempat yang strategis
berpikir untuk memperoleh ganimah. Pasukan Mekah telah kalah dan mereka telah
melarikan diri dari pasukan Muslim, maka bagaimana seandainya para pemanah
turun dari tempat mereka untuk mengumpulkan harta rampasan dan ganimah.
Rasulullah saw telah mengingatkan mereka agar jangan meninggalkan tempat
mereka, apa pun yang terjadi tetapi pasukan pemanah itu justru berkhianat dan
menentang perintah Nabi saw setelah mereka membayangkan bahwa peperangan telah
selesai dan keuntungan akan diperoleh pasukan Madinah yang beriman.
Pasukan pemanah mengira bahwa Allah
SWT akan menutupi kesalahan mereka dan akan melindungi mereka sehingga mereka
berhasil mengambil harta rampasan dan ganimah. Sungguh keikhlasan telah
tercabut dari hati sebagian pasukan. Belum lama hal tersebut berlangsung
sehingga terjadilah perubahan yang drastis pada peperangan. Pemimpin pasukan
berkuda musyirik dalam peperangan Uhud yaitu Khalid bin Walid yang kemudian ia
menjadi tokoh Muslim adalah orang yang sangat jenius dalam peperangan. Begitu ia
melihat pasukan pemanah lari dari tempat mereka, maka ia melihat celah yang
terbuka di tengah-tengah kaum Muslim, sehingga ia segera memutarkan kudanya dan
disertai pasukan yang mengikutinya. Kemudian ia menyerang kaum Muslim dari
belakang. Serangan yang dilakukan Khalid itu sangat cepat dan sangat
mengejutkan. Orang-orang musyrik mengambil kesempatan emas. Mereka yang tadinya
lari, kini mereka menarik diri dan justru menyerang kembali.
Pasukan Muslim dikepung dari dua arah
oleh pasukan berkuda: satu dari belakang dan yang lain dari depan. Kemudian
berjatuhanlah korban-korban dari pasukan Muhammad bin Abdillah. Banyak di
antara mereka yang mati sebagai syahid saat mempertahankan dan melindungi Rasulullah
saw, bahkan sang Nabi pun hidungnya terluka dan giginya pun runtuh dan kepala
beliau yang mulia terluka sehingga beliau mengucurkan darah.
Kemudian tersebarlah isu bahwa
Muhammad saw telah meninggal. Ketika mendengar itu, kaum Muslim sangat terpukul
dan sangat sedih sehingga kaum Muslim pun terpecah-pecah. Sebagian mereka
kembali ke Mekah dan sekelompok yang lain ke atas gunung dan mereka tetap
menjaga Nabi saw yang mulia. Ketika mendengar kematian Nabi, Anas bin Nadhir
berkata kepada kaumnya: "Bangkitlah kalian dan matilah seperti
kematiannya. Apa yang kalian lakukan setelah kalian hidup sesudahnya."
Pasukan Muslim tetap bertahan dan
melakukan peperangan, lalu tekanan kaum musyrik semakin berat kepada Nabi saw
dan para sahabatnya. Kemudian terjadilah kejadian yang paling sulit dalam
sejarah umat Islam. Nabi saw berteriak saat melihat kaum musyrik menekannya dan
berusaha membunuhnya: "Barangsiapa yang dapat mengusir mereka dariku, maka
baginya surga."
Mendengar perkataan itu, kaum Muslim
segera mengitari Nabi saw dan melindungi beliau sehingga banyak dari mereka
berguguran sebagai syahid. Bahkan sahabat-sahabat Abu Juanah melindungi Nabi
saw sampai-sampai punggungnya dipenuhi dengan anak-anak panah. Ia bagaikan baju
besi yang dipakai kepada Nabi saw dan ia tetap kokoh melindungi sang Nabi saw.
Kemudian berubahlah keadaan karena keteguhan dan keberanian yang diperlihatkan
oleh kaum Muslim. Pasukan Mekah merasa puas dan mereka memilih untuk menarik
diri. Saat itu orang-orang Quraisy tidak lebih sedikit penderitaannya daripada
orang-orang Muslim.
Setelah peperangan yang dahsyat itu,
kaum musyrik menarik diri setelah mereka berhasil membunuh beberapa orang
Muslim, bahkan mereka berhasil melukai pemimpin pasukan yaitu sang Nabi saw.
Semua itu terjadi karena satu kesalahan yaitu kesalahan terletak pada
penentangan dan pembangkangan para pemanah terhadap perintah sang Rasul saw dan
usaha mereka untuk meninggalkan tempat mereka.
Ketika sebagian kelompok dari sahabat
kehilangan pengorbanan dan kehilangan sikap ikhlas dalam hati mereka, maka
kesalahan tersebut harus dibayar oleh tentara yang paling berani dan mulia di
antara mereka yaitu sang Nabi saw. Langit tidak ikut campur untuk menyelamatkan
pasukan Islam itu. Kesalahan kaum Muslim itu harus dibayar oleh Rasul saw di
mana wajah beliau pun terluka bahkan keluar darah yang cukup deras dari luka
beliau sehingga setiap kali dituangkan air di atas luka itu, maka darah pun
semakin deras mengucur. Darah itu tidak berhenti kecuali setelah dibakarkan
potongan tembikar lalu dilekatkan di atasnya.
Luka beliau bukan hanya bersifat
materi tetapi luka spiritual beliau dan ruhani beliau pun semakin bertambah.
Ini beliau rasakan ketika mendengar bahwa pamannya Hamzah gugur sebagai syahid
dan tidak cukup dengan itu, bahkan istri Abu Sofyan yaitu Hindun membelah
perutnya dan mengeluarkan jantungnya serta mengunyahnya dengan mulutnya. Semua
itu semakin menambah kesedihan sang Nabi.
Kaum Quraisy menguasi pasukan Muslim
dan mereka memberlakukan dan menekan kaum Muslim secara aniaya. Seandainya
bukan karena rahmat Allah SWT niscaya kaum Muslim akan mengalami kekalahan yang
telak. Kemudian turunlah dalam Al-Qur'an al-Karim ayat-ayat yang mendidik kaum
Muslim agar mereka benar-benar ikhlas dan memahamkan mereka bahwa kekalahan
mereka sebagai akibat dari adanya pasukan di antara mereka yang menginginkan
dunia meskipun di antara mereka ada sebagian yang menginginkan akhirat. Jika
terjadi demikian, maka tidak adajalan untuk memperoleh kemenangan. Ini bukanlah
hal yang diinginkan oleh pasukan Muslim, yang diharapkan adalah hendaklah semua
pasukan tertuju untuk mencapai ridha Allah SWT dan hanya mengharapkan akhirat.
Jika demikian halnya, maka Allah SWT akan memberi mereka dunia dan akhirat.
Allah SWT berfirman dan menceritakan
peperangan Uhud dalam surah Ali 'Imran:
"Di antaramu ada orang yang
menghendahi dunia dan di antara kamu ada orangyang menghendaki akhirat.
Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu; dan
sesungguhnya Allah telah memaafkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia (yang
dilimpahkan) atas orang-orang yang beriman." (QS. Ali 'Imran:: 152)
Allah SWT memaafkan hal itu.
Orang-orang Muslim kini menghitung jumlah korban mereka dan mengobati
orang-orang yang terluka. Rasulullah saw bertanya tentang pamannya Hamzah, dan
ketika beliau mendapatinya di tengah-tengah sahabat yang gugur, dan orang-orang
kafir telah merusak jasadnya, maka beliau berkata dalam keadaan menangis:
"Tidak akan ada orang yang akan tertimpa sepertimu selama-lamanya."
Kemudian Nabi saw berdiri dan memuji
Allah SWT lalu beliau memerintahkan untuk mengembalikan orang-orang yang
terbunuh dari kaum Muslim ke tempat asal mereka di mana mereka terbunuh. Saat
itu keluarga mereka telah membawanya ke kuburan kemudian Nabi saw mengumpulkan
kedua orang laki-laki dari pahlawan-pahlawan Uhud dalam satu pakaian dan beliau
bertanya siapa di antara keduanya yang paling banyak mengambil manfaat dari
Al-Qur'an. Jika diisyaratkan kepada salah satunya, maka beliau akan
mendahulukannya untuk dimasukan dalam liang lahad.
Rasulullah saw juga memerintahkan agar
mereka dikebumikan dengan darah mereka dan beliau pun tidak mensalati mereka,
serta tidak memandikan mereka. Allah SWT ingin memperlihatkan bagaimana mereka
dibangkitkan pada hari kiamat lalu beliau bersabda: "Tiada seorang pun
yang terluka di jalan Allah SWT kecuali Allah SWT membangkitkannya di hari
kiamat dalam keadaan di mana Iukanya akan mengucur darah. Warna itu adalah
warna darah dan baunya seperti minyak misik."
Bukanlah penderitaan yang dalam yang
merupakan pelajaran yang harus dimengerti kaum Muslim dari peperangan Uhud
sebagai akibat dari pembangkangan mereka dari perintah Rasul saw dan
ketidaktaatan mereka kepadanya, tetapi wahyu juga menurunkan berbagai pelajaran
yang lain yang dapat dimanfaatkan. Pelajaran yang terpenting setelah pelajaran
kesetiaan adalah penjelasan tentang central utama yang di situ kaum Muslim
berkumpul. Pribadi Rasulullah saw bukanlah markas yang di situ kaum Muslim
berkumpul yang ketika pribadi Rasulullah saw yang mulia pergi karena satu dan
lain hal, maka orang-orang Muslim akan pergi dan meninggalkan beliau. Tidak
seharusnya pribadi Rasul saw menjadi markas atau central tetapi yang menjadi
central dari semuanya adalah pemikiran beliau. Itulah yang paling penting.
Demikianlah bahwa Al-Qur'an al-Karim
mencela orang-orang yang meletakkan senjatanya ketika tersebar isu terbunuhnya
Nabi saw. Islam tidak akan mencapai puncaknya ketika kaum Muslim berkumpul di
sisi Rasulullah saw saat beliau masih hidup namun ketika beliau terbunuh atau
mati, maka mereka murtad di mana mereka membuang senjatanya dan pergi mengurusi
diri mereka sendiri. Orang-orang Islam adalah orang-orang yang mengikuti
prinsip bukan mengikuti pribadi. Muhammad bin Abdillah memang seorang pemimpin
manusia dan Imam para rasul dan penutup para nabi, dan sebagai makhluk Allah
SWT yang paling mulia, namun ini semua tidak membenarkan bahwa seorang Muslim
diperbolehkan untuk meletakkan senjatanya ketika Rasul saw wahfat atau
terbunuh. Hendaklah seorang Muslim memanggul senjatanya dan tidak membuang dari
tangannya kecuali dalam dua keadaan: pertama ketika ia telah memperoleh
kemenangan dan kedua ketika ia telah mati.
Nas Al-Qur'an menjelaskan secara
gamblang hubungan kaum Muslim dengan akidah Islam, bukan dengan pribadi sang
Rasul saw. Allah SWT berfirman:
"Muhammad itu tidak lain hanyalah
seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.
Apakahjika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (tnurtad)?
Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maha ia tidak dapat mendatangkan mudarat
kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orangyang
bersyukur." (QS. Ali 'Imran: 144)
Demikianlah bahwa peperangan Uhud
telah membawa dampak yang luar biasa terhadap kaum Muslim, utamanya terhadap
Nabi saw. Orang-orang yang terbunuh di perang Uhud adalah sahabat-sahabat yang
paling mulia dan paling banyak imannya. Mereka adalah pilihan dari orang-orang
Muslim yang pertama; mereka memikul beban dakwah di saat-saat yang sulit bahkan
mereka harus berhadapan dan memusuhi kerabat mereka dan teman-teman mereka;
mereka menjadi terasing saat menyatakan keislaman mereka sebelum hijrah dan
sesudahnya; mereka telah menginfakkan harta; mereka berjuang di jalan Allah
SWT; mereka telah bersabar dalam menanggung berbagai macam penderitaan, dan
ketika datang saat yang paling berbahaya dan pasukan Islam telah terkepung di
mana jiwa Rasul saw telah terancam, mereka justru mencurahkan darah mereka
bagaikan lautan yang menenggelamkan orang-orang kafir dan mereka mampu
melindungi sang Rasul saw dan mengubah jalan peperangan serta menyelamatkan
akidah tauhid.
Peperangan Uhud bukanlah pengorbanan
pertama yang dilakukan oleh kaum Muslim dan bukanlah merupakan peperangan yang
terakhir. Ia adalah satu peperangan di antara cukup banyak peperangan yang
dilalui oleh Islam untuk menyebarkan kalimat Allah SWT di muka bumi dan
membimbing hamba-hamba-Nya. Begitu juga pengorbanan Rasul saw, dan peperangan
Uhud bukanlah pengorbanan yang pertama terhadap Islam dan bukan juga yang
terakhir. Rasulullah saw telah hidup setelah diutusnya kepada manusia di mana
beliau telah memberikan semuanya untuk kehidupan dan untuk dakwah; beliau tidak
memiliki dirinya sendiri; beliau tidak memboroskan waktunya dengan sia-sia
bahkan beliau beristirahat sedikit saja. Semua kehidupan beliau diberikan
kepada dakwah dan untuk Islam. Beliau menjalani berbagai macam peperangan dan
beliau memikul berbagai macam penderitaan dan belum lama beliau lari dari suatu
problem kecuali beliau berhadapan dengan problem yang baru dan lain; belum lama
beliau menyelesaikan suatu krisis kecuali beliau menghadapi krisis yang lain.
Demikianlah kehidupan sang Nabi saw di mana beliau selalu memberikan kontribusi
dan sumbangannya demi kepentingan agama Allah SWT.
Silakan Anda mengamati kehidupan sang
Rasul saw dari sudut manapun yang Anda inginkan niscaya Anda tidak akan
menemukan sudut dari sudut-suduut kehidupan beliau kecuali dimulai dan dipenuhi
dengan pergulatan yang hebat.
Rasulullah saw telah melalui
pergulatan militer dalam berbagai macam pertempuran yang silih berganti yang
beliau lakukan. Beliau memulai pergulatan politiknya yang terwujud dalam
perundingan-perundingan dan surat-surat yang beliau kirimkan kepada penguasa
dan para raja di berbagai negara agar mereka memeluk Islam, bahkan beliau
melakukan pergulatannya dalam masalah pribadi di rumah tangga. Rumah tangga
beliau pun tidak kosong dari pergulatan. Beliau adalah pejuang sejati dalam
setiap waktu. Kalau kita mengenal Nabi Ibrahim sebagai seorang musafir di jalan
Allah SWT, maka Muhammad bin Abdillah adalah seorang pejuang di jalan Allah
SWT. Belum lama peperangan Uhud berakhir sehingga pengaruh-pengaruh buruknya
berbekas pada kaum Muslim. Orang-orang Arab Badui mulai berani bersikap kurang
ajar kepada mereka, demikianjuga orang-orang Yahudi, apalagi orang-orang
munafik dan tidak ketinggalan orang-orang Quraisy pun mulai menyudutkan kaum
Muslim.
Kemudian datanglah utusan dari kabilah
Arab kepada Rasul saw dan mereka mengatakan kepada beliau bahwa mereka
mendengar tentang Islam dan mereka ingin memeluknya, maka hendaklah beliau
mengutus kepada mereka beberapa dai dan mubalig untuk mengajari mereka tentang
dasar-dasar agama. Nabi saw mengutus bersama mereka sekelompok para dai yang
dipimpin oleh 'Ashim bin Tsabit. Temyata orang-orang itu berkhianat atas para
sahabat-sahabat yang berdakwah itu dan mereka pun dibunuh. Bahkan tiga di
antara mereka ditawan dan dijual di Mekah. Dijualnya mereka di Mekah berarti
mereka diserahkan pada kelompok orang-orang Quraisy yang telah lama menunggu
untuk menangkap kaum Muslim. Kaum Quraisy Mekah membunuh tiga tawanan kaum
Muslim itu. Orang-orang Muslim sangat sedih mendengar dai-dai Allah SWT itu
terbunuh dengan cara yang begitu tragis.
Ketika datang kepada Nabi saw
orang-orang yang minta pada beliau agar dikirim utusan dari kalangan mubaligh
untuk menyebarkan Islam untuk para kabilah kaum Najd, maka Nabi kali ini
betul-betul mempertimbangkan antara kepentingan menyebarkan Islam dan
perlindungan terhadap kehormatan manusia. Lalu beliau memilih untuk kepentingan
dakwah Islam. Beliau menyadari bahwa beliau mengutus para sahabatnya dalam
bahaya; beliau memberitahu mereka bahwa mereka akan menghadapi suatu keadaan
yang misterius yang tiada mengetahuinya kecuali Allah SWT. Namun bahaya
tersebut sudah menjadi bagian dari cita rasa kehidupan yang selalu meliputi
dakwah Islam.
Ketika Nabi saw mengutarakan
kekhawatirannya terhadap para sahabatnya yang bakal diutusnya di tengah kabilah
itu, orang-orang yang meminta beliau untuk mengutus para sahabatnya menyakinkan
beliau bahwa mereka akan melindungi sahabat beliau. Kemudian Nabi saw
memerintahkan tujuh puluh orang pilihan dari sahabatnya untuk pergi dan
berjihad di jalan Allah SWT serta mengajak manusia untuk mengikuti Islam. Lalu
pergilah para sahabat yang kemudian dikenal dengan sebutan al-Qurra' (yaitu
orang-orang yang pandai membaca Al-Qur'an dan menghapalnya). Mereka adalah para
dai yang terbaik yang diutus Nabi di mana pada siang hari mereka memikul kayu
bakar dan pada malam hari mereka sibuk dalam keadaan salat. Ketika datang
perintah Rasulullah saw kepada mereka untuk pergi dan berdakwah mereka pun
pergi dalam keadaan gembira karena mereka diajak untuk berjihad di jalan Allah
SWT. Mereka melangkahkan kaki dengan mantap di tanah orang-orang munafik dan
para penghianat sehingga mereka sampai di suatu sumur yang bemama sumur
Ma'unah. Kemudian mereka mengutus salah seorang di antara mereka untuk menemui
pemimpin orang-orang kafir di negeri itu. Mubalig dari sahabat Rasulullah saw
itu menyampaikan surat Nabi yang dibawanya di mana beliau mengharapkan agar
masyarakat di situ masuk Islam, tetapi ia dikagetkan dengan adanya pisau yang
menembus punggungnya. Mubaligh itu berteriak saat ia tersungkur: "sungguh
aku beruntung demi Tuhan pemelihara Ka'bah."
Kemudian pemimpin orang-orang kafir
itu mengangkat senjata dan mengumpulkan para kabilah untuk memerangi para
mubaligh di jalan Allah SWT itu sehingga sahabat-sahabat terbaik yang berdakwah
di jalan Allah SWT itu pun gugur di sumur Ma'unah. Jasad-jasad mereka menjadi
makanan dari burung nasar dan burung-burung yang lain. Dari tujuh puluh orang
yang dikirim itu hanya seorang yang selamat yang kembali kepada Nabi saw. Ia
menceritakan apa yang dialami oleh fuqaha-fuqaha Muslimin di mana mereka
dikhianati. Ketika mendengar berita tentang tragedi itu, Nabi sangat terpukul
dan sedih. Kemudian beliau mengangkat kepalanya dan berkata kepada
sahabat-sahabatnya: "Sungguh sahabat-sahabat kalian telah terbunuh dan
mereka telah meminta kepada Tuhan mereka. Mereka mengatakan, Tuhan kami, berikanlah
kami ujian sesuai dengan kehendak-Mu dan ridha-Mu. Apa saja yang menjadi
kepuasan-Mu kami pun akan merasakan kepuasan."
Sungguh penderitaan yang dialami oleh
Islam sangat berat, terutama yang menimpa para sahabat yang gugur sebagai
syahid di sumur Ma'unah. Nabi saw sangat sedih mendengar sikap orang-orang Arab
dan orang-orang kafir terhadap Islam. Mereka telah mengejek dan merendahkan
kaum mukmin sampai pada batas ini. Kemudian beliau menetapkan akan kembali
mengangkat kewibawaan Islam dengan tindak kekerasan.
Dalam keadaan seperti ini, bergeraklah
orang-orang Yahudi untuk membunuh Rasulullah saw. Pada suatu hari beliau pergi
ke Bani Nadhir untuk menyelesaikan suatu urusan. Kemudian mula-mula mereka
menampakkan persetujuan atas apa yang diucapkan beliau. Mereka mendudukkan Nabi
di bawah naungan benteng-benteng mereka, lalu mereka bersekongkol untuk
melenyapkan beliau; mereka menetapkan untuk melemparkan batu yang berat dari
atas benteng itu saat beliau duduk dan tidak membayangkan akan terjadinya
kejahatan yang direncanakan padanya. Namun Allah SWT mengilhami Rasul-Nya akan
datangnya bahaya kepada beliau, lalu beliau bangun sebelum pelaksanaan tipu
daya itu. Lalu beliau segera pergi menuju rumahnya. Beliau berpikir saat beliau
kembali ke rumahnya dengan membawa penderitaan yang baru. Pembangkangan dan
pengkhianatan tersebut tidak akan dapat berhenti kecuali setelah Islam
menunjukkan taringnya. Islam ingin mengembalikan kewibawaannya dengan cara
mengangkat senjata.
Rasul saw mengutus utusan ke Bani
Nadhir dan memerintahkan mereka untuk keluar dari Madinah, bahkan Rasul saw
memberi waktu kepada mereka hanya sepuluh hari. Kemudian orang-orang munafik
yang ada di Madinah bersatu bersama orang-orang Yahudi dan mereka sepakat untuk
memerangi Islam. Namun ketika berhadapan dengan Islam, orang-orang Yahudi
menelan kekalahan. Kemudian turunlah surah al-Hasyr yang menyebutkan pengusiran
orang-orang Yahudi dan menyingkap kedok orang-orang munafik. Setelah kemenangan
yang meyakinkan ini, Rasul saw keluar bersama sahabatnya untuk membalas
kejadian yang menimpa sahabat-sahabatnya yang dikenal dengan al-Qurra' itu.
Rasul saw ingin mengembalikan kewibawaan Islam. Kemudian pasukan Rasul saw itu
mampu membuat para pengkhianat dari orang-orang Arab ketakutan. Hanya sekadar
mendengar nama pasukan Muslim, maka serigala-serigala gurun yang dulu bengis
itu pun ketakutan laksana tikus-tikus yang panik yang bersembunyi di bawah
lobang-lobang gunung. Orang-orang Quraisy mendengar kegiatan pasukan Islam.
Pasukan Quraisy menarik diri saat mereka mendekati Dahran, sementara pasukan
Muslim berada di Badar. Mereka menunggu pertemuan yang disepakati di Uhud.
Orang-orang Muslim menyala-kan api selama delapan hari sebagai bentuk tantangan
dan menunggu kedatangan kaum kafir sehingga ketika mereka (kaum kafir) telah
pergi, maka citra kaum Muslim pun terangkat setelah mereka menerima kepahitan
dalam peperangan Uhud.
Kaum Muslim menoleh ke arah utara
jazirah Arab setelah menetapkan kewibawaan mereka di selatan. Kabilah di
sekitar Daumatul Jandal dekat dengan Syam merampok di tengah jalan dan merampas
kafilah yang berlalu di situ, bahkan kenekatan mereka sampai pada batas di mana
mereka berpikir untuk menyerbu Madinah. Oleh karena itu, Rasulullah saw keluar bersama
seribu orang Muslim yang mereka bersembunyi di waktu siang dan berjalan di
waktu malam, sehingga setelah lima belas malam beliau sampai ke tempat yang
dekat dengan tempat tinggal musuh-musuh mereka lalu mereka menggerebek tempat
itu. Pasukan kafir itu dikagetkan dengan kedatangan kaum Muslim yang begitu
cepat.
Kita akan mengetahui bahwa alat
komunikasi yang dimiliki oleh Rasulullah saw sangat unggul sebagaimana alat
pertahanan beliau pun sangat unggul. Serangan mendadak yang dilakukan oleh
pasukan Rasulullah saw menunjukkan bahwa mereka memiliki pertahanan yang luar
biasa. Sistem pertahanan yang luar biasa sebagaimana kedatangan pasukan yang
secara tiba-tiba itu menunjukkan kemampuan pasukan Islam untuk menyusup.
Demikianlah, terjadilah hari-hari
pertempuran militer. Belum lama Nabi saw meletakkan baju besinya, dan beliau
kembali membangun pribadi kaum Muslim sehingga beliau terpaksa kembali memakai
baju besinya dan kembali berperang. Ketika musuh-musuh Islam yang berada di
sekelilingnya melihat bahwa kemampuan militer mereka tidak dapat menandingi
kemampuan kaum Muslim, maka mereka sengaja melakukan cara-cara baru untuk
memerangi Islam. Yaitu peperangan psikologis atau peperangan urat syaraf dengan
cara menyebarkan berbagai macam isu atau apa yang dinamakan Al-Qur'an al-Karim
dengan peristiwa al-Ifik (kebohongan). Setelah peperangan Bani Musthaliq yaitu
peperangan yang membawa kemenangan yang cepat bagi kaum Muslim, terjadilah
kesalahpahaman dan pertengkaran di antara sahabat-sahabat yang biasa mengambil
air di mana salah seorang mereka berteriak: "wahai kaum Muhajirin,"
dan yang lain berteriak: "Wahai kaum Anshar."
Peristiwa yang sangat sepele itu
dimanfaatkan oleh pemimpin kaum munafik yaitu Abdullah bin Ubai. Abdullah bin
Ubai memprovokasi orang-orang Anshar untuk menyerang kaum Muhajirin. Ia ingin
membangkitkan luka-luka jahiliah yang lama yang telah dibuang dan telah dikubur
oleh Islam, Salah satu yang dikatakan oleh Ibnu Ubai adalah, "sungguh
mereka telah menyaingi kita dan mengambil kebaikan dari dan seandainya kita
telah kembali ke Madinah niscaya orang-orang yang mulai akan dapat mengusir
orang-orang yang hina di dalamnya."
Zaid bin Arqam menyampaikan kalimat si
munafik itu kepada Nabi saw, di mana kalimat itu berisi provokasi terhadap
orang-orang Anshar untuk menyerang kaum Muhajirin. Ubai menginginkan agar
mereka berpecah belah dan agar kesatuan mereka runtuh. Si Munafik itu segera
datang kepada Rasul saw dan menafikan apa yang dikatakannya. Orang-orang Muslim
secara lahiriah membenarkan perkataan si munafik itu dan mereka justru menuduh
Zaid bin Arqam salah mendengar. Tetapi hakikat peristiwa itu tidak tersembunyi
dari Nabi saw sehingga peristiwa itu sangat menyedihkan beliau. Lalu beliau
mengeluarkan perintah agar para sahabat pergi ke suatu tempat yang tidak
biasanya mereka lalui. Kemudian beliau pergi bersama sahabat di hari itu sampai
waktu malam menyelimuti mereka. Dan kini, mereka memasuki waktu pagi. Kepergian
yang singkat dan tiba-tiba itu mampu menepis kebohongan yang dirancang oleh si
Munafik, Abdullah bin Ubai. Yaitu kebohongan yang bertujuan untuk membakar
persatuan kaum Muslim ketika ia berusaha untuk menyalakan api di tengah-tengah
rumah sang Nabi saw.
Ketika Nabi masih memiliki kekuatan
yang menakutkan bagi yang mencoba melawannya, maka mereka pun melakukan
berbagai penipuan dan, makar. Dan salah satu yang menjadi obyek tipu daya itu
adalah istri beliau, yaitu Aisyah. Alkisah, Aisyah pada suatu hari pergi untuk
memenuhi hajatnya lalu dilehernya terdapat anting-anting. Setelah ia memenuhi
hajatnya, anting-anting itu terjatuh dari lehernya dan ia tidak mengetahui.
Ketika Aisyah kembali dari kafilah yang telah siap-siap untuk pergi, ia kembali
mencari kalungnya sampai ia menemukannya. Sementara itu orang-orang yang
membawanya dalam tandu (haudaj) mengira Aisyah sudah berada di dalamnya. Mereka
tidak ragu dalam hal itu karena memang berat badan Aisyah sangat ringan.
Pasukan Nabi berjalan dan membawa
tandu, sedangkan Aisyah tidak ada di dalamnya. Aisyah kembali dan tidak
mendapati pasukan di mana mereka telah pergi. Aisyah merasa heran atas
kepergian pasukan yang begitu cepat. Aisyah merasa takut saat ia berdiri
sendirian di padang gurun. Aisyah berusaha bersikap baik, ia duduk di tempatnya
di mana di situlah untanya duduk juga. Aisyah melipat-lipat pakaiannya sambil
berkata dalam dirinya: Mereka akan mengetahui bahwa aku tidak ada dan karena
itu mereka akan kembali mencariku dan akan menemukan aku.
Sementara itu, Sofwan bin Mu'athal
juga tertinggal karena ia melakukan keperluannya. Ia berjalan dari arah yang
jauh lalu ia melihat bayangan orang yang tidak begitu jelas. Sofwan mendekat
dan tiba-tiba ia mengetahui bahwa ia sedang berdiri di hadapan Aisyah. Ia
melihat Aisyah sebelum diwajibkannya perintah memakai hijab (jilbab) atas
istri-istri Nabi. Ketika melihatnya, Sofwan berkata: "Sesungguhnya kita
milik Allah SWT dan kepadanya kita akan kembali,... istri Rasulullah Aisyah
tidak menjawab.
Sofwan mundur dan mendekatkan untanya
kepadanya sambil berkata: "Silakan Anda menaikinya." Aisyah pun menaikinya.
Kemudian Sofwan membawanya pergi dan mencari pasukan yang telah
meninggalkannya. Sementara itu, pasukan Nabi sedang beristirahat. Para sahabat
mengira bahwa Aisyah masih berada dalam tandu. Tiba-tiba mereka terkejut ketika
Aisyah datang kepada mereka bersama Sofwan yang menuntun untanya.
Tokoh munafik Abdullah bin Ubai segera
memanfaatkan kesempatan emas ini. Ia membuat kisah bohong yang terkesan menuduh
istri Nabi melakukan pengkhianatan. Abdullah bin Ubai pandai memilih beberapa
sahabat yang dikenalinya sebagai orang-orang yang mudah percaya dan cenderung
membenarkan hal-hal yang bersifat lahiriah, atau ia mengetahui bahwa di antara
mereka dan Aisyah terdapat kedengkian sehingga mereka suka jika tersebar
kebohongan yang berkenaan dengan Aisyah.
Demikianlah pemimpin munafik itu
berhasil menjerat beberapa sahabat dalam tali kebohongannya, di antaranya Hasan
bin Sabit. Musthah, dan seorang wanita yang dipanggil Hamnah binti Jahasv.
yaitu saudara perempuan Zainab binti Jahasy istri Rasulullah saw. Ketiga orang
itu tertipu dengan kebohongan tersebut lalu mereka menyebarkannya sehingga
orang-orang yang terjerat dalam kebo hongan itu mengatakan apa saja yang mereka
inginkan. Akhirnya. pasukan pun berguncang dengan isu itu. Sementara itu,
Aisvah tidak mengetahui sedikit pun tentang hal tersebut. Isu tersebut
bertujuan untuk menjatuhkan Islam dan melukai perasaan RasuhiHah saw dan itu
termasuk peperangan menentang Rasulullah saw dan ajaran yang dibawanya. Begitu
juga ia bertujuan menunjukkan bahwa kaum Muslim tidak konsekuen dengan akidah
yang mereka yakini dan secara tidak langsung ia juga menyerang kesucian rumah
tangga Aisyah.
Pasukan kembali ke Mekah dan Aisyah
jatuh sakit, namun ia tidak mengetahui isu-isu yang dikatakan tentang dirinya.
Kemudian Rasulullah saw mendengar hal itu sebagaimana ayahnya Abu Bakar dan
ibunya pun mendengarnya, namun tak seorang pun di antara. mereka yang
memberitahu Aisyah. Begitu juga Rasul saw tidak menceritakan peristiwa itu di
hadapan Aisyah. Namun sikap beliau berubah di mana beliau tidak lagi
menunjukkan perhatiannya seperti biasanya saat Aisyah sakit. Ketika beliau
menemui Aisyah dan saat itu ibunya ada di situ, beliau berkata: "Bagaimana
keadaanmu?" Beliau tidak lebih dari mengucapkan kata-kata itu. Ketika
Aisyah melihat perubahan sikap Rasul saw, ia mulai marah. Pada suatu hari ia
berkata pada Nabi: "Seandainya engkau mengizinkan aku, niscaya aku akan
pindah ke tempat ibuku." Beliau menjawab: "Itu tidak ada
masalah."
Aisyah pun pindah ke tempat ibunya dan
ia tidak mengetahui sama sekali apa yang sebenarnya terjadi padanya. Setelah
melalui lebih dari dua puluh malam, Aisyah sembuh dari sakitnya dan ia pun
belum mengetahui hal-hal yang dikatakan tentang dirinya. Umul mu'minin Aisyah
menceritakan bagaimana ia mengetahui isu bohong tersebut dan bagaimana Allah
SWT membebaskannya dari isu itu, ia berkata:
"Kami adalah kaum Arab di mana
kami tidak mengambil di rumah kami tanggung jawab ini yang biasa di ambil oleh
orang-orang Ajam. Kami membencinya. Kami keluar untuk menikmati keluasan kota.
Sementara itu para wanita keluar pada setiap malam untuk memenuhi hajat mereka.
Pada suatu malam, aku keluar bersama Ummu Musthah untuk memenuhi sebagian
keperluanku. Lalu ia berkata: "Tidakkah kau sudah mendengar suatu berita
wahai putri Abu Bakar?" Aku bertanya, "berita apa itu?" Lalu ia
memberitahukan padaku apa-apa yang dikatakan oleh para penyebar kebohongan. Aku
berkata: "Apa ini memang benar?" Ia menjawab: "Demi Allah, ini
benar-benar terjadi." Aisyah berkata: "Demi Allah, aku tidak mampu memenuhi
hajatku." lalu aku pulang. Demi Allah, aku tetap menangis sampai-sampai
aku mengira bahwa tangisanku akan merusak jantungku dan aku berkata kepada
ibuku, mudah-mudahan Allah SWT mengampunimu, banyak orang berbicara tentangku
namun engkau tidak menceritakan sedikit pun kepadaku. Ia berkata: "Wahai
anakku, sabarlah demi Allah jarang sekali wanita yang baik yang dicintai oleh
seorang lelaki yang jika ia memiliki istri-istri yang lain (madunya) kecuali
wanita itu akan diterpa oleh berbagai isu."
Aisyah berkata: "Rasulullah saw
berdiri dan menyampaikan pembicaraannya pada mereka dan aku tidak mengetahui
hal itu." Beliau memuji Allah SWT kemudian berkata: "Wahai manusia,
bagaimana keadaan kaum lelaki yang menyakiti aku melalui keluar gaku dan mereka
mengatakan sesuatu yang tidak benar. Demi Allah, aku tidak mengenal mereka
kecuali dalam kebaikan. Lalu mereka mengatakan hal itu pada seorang lelaki yang
aku tidak mengenalnya kecuali dalam kebaikan di mana ia tidak memasuki suatu
rumah dari rumah-rumahku kecuali ia bersamaku."
Kemudian Rasulullah saw memanggil Ali
bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid dan bermusyawarah dengan keduanya. Usamah
hanya melontarkan pujian dan berkata: "Ya Rasulullah aku tidak mengenal
istrimu kecuali dalam kebaikan dan berita ini hanya kebohongan dan
kebatilan," sedangkan Ali berkata: 'Ya Rasulullah masih banyak wanita yang
lain yang dapat kau percaya." Kemudian Rasulullah saw memanggil Burairah
dan bertanya kepadanya, lalu Ali berdiri kepadanya dan memukulnya dengan keras
sambil berkata: "Jujurlah kepada Rasulullah saw," lalu wanita itu
berkata: "Demi Allah, aku tidak mengetahui kecuali kebaikan. Aku tidak
pemah mencela Aisyah kecuali pada suatu waktu aku sedang membikin adonan roti
lalu aku memerintahkannya untuk menjaganya namun Aisyah tertidur dan datanglah
kambing lalu adonan itu dimakan olehnya."
Aisyah berkata: "Kemudian
datanglah kepadaku Rasulullah saw dan saat tu aku bersama kedua orang tuaku dan
seorang wanita dari kaum Anshar. Aku menangis dan wanita itu pun turut
menangis. Rasulullah saw duduk lalu memuji Allah SWT dan berkata: "Wahai
Aisyah, sungguh kamu telah mendengar sendiri apa yang dikatakan orang-orang
tentang dirimu, maka bertakwalah kepada Allah SWT dan jika engkau telah
melakukan keburukan seperti yang diucapkan orang-orang itu, maka bertaubatlah
kepada Allah SWT karena sesungguhnya Allah SWT menerima taubat dari
hamba-hamba-Nya." Aisyah berkata, "demi Allah, itu tidak lain hanya
kebohongan yang dialamatkan kepadaku sehingga membuat air mataku kering. Aku sama
sekali tidak seperti yang mereka katakan," lalu aku menunggu kedua orang
tuaku untuk mengatakan tentang diriku namun mereka justru terdiam. Aisyah
berkata, "demi Allah aku merasa sebagai seorang yang hina yang tidak layak
diturunkan Al-Qur'an dari Allah SWT berkenaan denganku, tetapi aku hanya
berharap agar Nabi saw melihat kebohongan yang dialamatkan kepadaku itu
sehingga ia memastikan terbebasnya aku darinya."
Aisyah berkata: "Ketika aku tidak
melihat kedua orang tuaku berbicara aku berkata kepada mereka tidakkah kalian
menjawab apa yang dikatakan Rasuullah saw?" Mereka berkata: "Demi
Allah kami tidak mengetahui apa yang harus kami jawab." Aku mengetahui
bahwa aku bebas dari tuduhan itu. Tiba-tiba Rasulullah saw mengusap keringat
dari wajahnya sambil berkata: "Bergembiralah wahai Aisyah karena
sesungguhnya Allah SWT telah menurunkan ayat yang membebaskan kamu dari tuduhan
itu," lalu aku berkata: "Segala puji bagi Allah SWT." Kemudian
beliau keluar menemui para sahabat dan membacakan kepada mereka ayat berikut
ini:
"Sesungguhnya orang-orang yang
membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira
bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka
mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang
mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, maka baginya
azab yang besar. " (QS. an-Nur: 11)
Jibril turun kepada Nabi saw untuk
menyampaikan terbebasnya Aisyah dari segala tuduhan yang ditujukan kepadanya.
Dan gagallah peperangan psikologis menentang kaum Muslim dan rumah tangga
Rasulullah saw, dan kelompok-kelompok kafir meyakini bahwa mereka harus
menggunakan cara baru lagi untuk menentang Islam. Kemudian Rasulullah saw
kembali memasuki pergulatan menentang peperangan fisik. Peperang Khandaq
termasuk contoh peperangan fisik yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
Orang-orang Yahudi menyerahkan urasan mereka kepada kaum musyrik, dan
Dimulailah rangkaian persekongkolan dan sumpah di antara tokoh-tokoh Yahudi dan
pemimpin-pemimpin kaum musyrik, bahkan pendeta-pendeta Yahudi berfatwa bahwa
agama Quraisy yang disimbolkan dengan penyembahan berhala lebih baik daripada
agama Muhammad yang penyembahan hanya layak ditujukan kepada Tuhan Yang Esa
sebagaimana tradisi jahiliah lebih baik daripada ajaran Al-Qur'an.
Politik kaum Yahudi berhasil
menyatukan kelompok-kelompok orang kafir dan mengerahkannya untuk menentang
kaum Muslim. Kemudian mereka akan menyerang Madinah dengan jumlah kekuatan
sepuluh ribu tentara. Akhirnya, berita itu sampai ke Nabi saw. Beliau tidak
heran ketika mendengar orang-orang Yahudi bersatu—padahal mereka mempunyai azas
agama yang menyeru kepada tauhid—bersama kaum musyrik menentang agama tauhid.
Nabi saw mengetahui bahwa perjanjian telah lama membelenggu orang-orang Yahudi
sehingga hati mereka menjadi keras dan hari telah menjauhkan antara mereka dan
sumber yang jernih yang dipancarkan oleh Musa. Akhirnya, mereka menjadi buah
yang rusak yang kulitnya bergambar tauhid namun isinya bergambar kepahitan
syirik. Dan yang lebih penting dari itu adalah kesamaan kepentingan kaum Yahudi
dan kaum musyrik.
Nabi saw menyadari bahwa beliau
sekarang menghadapi ancaman dan pasukan yang besar. Pertempuran secara terbuka
tidak memberi keuntungan bagi Muslimin. Beliau mulai berpikir bagaimana cara
mempertahankan Madinah tanpa harus keluar darinya. Kali ini taktik militernya
berubah di mana sebelum itu beliau keluar dari Madinah dan menjauhinya serta
menyerang kelompok-kelompok yang berencana menyerbu Madinah. Kali ini bentuk
ancaman berbeda dan tentu pikiran Nabi pun berubah karena mengikuti perbedaan
ancaman itu.
Kemudian beliau mengadakan pertemuan
militer bersama para tentaranya. Beliau ingin mendengar berbagai usulan tentang
bagaimana cara mempertahankan Madinah. Lalu Salman al-Farisi mengusulkan agar
Nabi menggali suatu parit yang dalam di sekeliling Madinah yaitu parit yang
seperti bendungan alami yang dapat menahan laju banjir yang ingin maju, suatu
parit yang pasukan berkuda tidak akan mampu melewatinya dan kaum Muslim dapat
mempertahankan diri dari belakangnya. Mula-mula usulan itu terkesan agak
mustahil diwujudkan namun pada akhirnya Nabi menyetujui usulan Salman itu.
Melalui sensifitas militernya yang mengagumkan, beliau mengetahui bahwa situasi
cukup genting dan karenanya ia menuntut usaha keras untuk dapat melaluinya.
Nabi saw memerintahkan para sahabat untuk menggali parit di sekitar Madinah.
Pekerjaan itu sangat berat dan saat itu musim dingin di mana udara sangat
dingin. Di samping itu, kaum Muslim sedang mengalami krisis ekonomi yang
mengancam Madinah, meskipun demikian, penggalian parti tetap dilaksanakan,
bahkan Rasulullah saw terjun langsung untuk membuat galian dan memikul tanah.
Kaum Muslim dengan semangat yang luar
biasa dapat menyelesaikan penggalian parit itu meskipun kehidupan sangat keras
dan mereka merasakan kelaparan karena kekurangan harta. Namun semangat pasukan
Islam tetap meninggi. Mereka percaya akan datangnya kemenangan dan pertolongan
dari Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
"Dan tatkala orang-orang mukmin
melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata: 'lnilah yang
dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita.' Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.
Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan."
(QS. al-Ahzab: 22)
Pasukan Quraisy mulai mendekati
Madinah dan tiba-tiba Madinah berubah menjadi jazirah cinta di tengah-tengah
lautan kebencian, lautan itu mulai menghantam jazirah dan berusaha
menenggelamkannya dari dalam. Kemudian bertebaranlah panah-panah kaum Muslim
untuk menghalau pasukan kafir yang cukup banyak. Pasukankafir mulai
berputar-putar di sekeliling parit dalam keadaan bingung: apa gerangan yang
telah dilakukan pasukan Islam, bagaimana mereka dapat menggali parit ini?
Kuda-kuda musuh berusaha melalui parit
itu namun pasukan Muslim segera menyerangnya. Demikianlah peperangan Ahzab
terus berlangsung. Pada hakikatnya ia adalah peperangan urat syaraf. Pasukan
musuh mengepung Madinah selama tiga minggu di mana serangan demi serangan terus
dilakukan sepanjang siang dan mata mereka tetap terjaga sepanjang malam. Bahkan
saking dahsyatnya pertempuran itu sehingga kaum Muslim tidak mengetahui apakah
pasukan musuh berhasil menduduki Madinah atau tidak, dan apakah para musuh
berhasil menembus lubang yang mereka bangun? Allah SWT menggambarkan keadaan
peperangan Ahzab dalam firman-Nya:
"(Yaitu) ketiha mereka datang
kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketiha tidak tetap lagi
penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu
menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam persangkaan. Di situlah diuji
orang-orang mukmin dan digoncangkan hatinya dengan goncangan yang
dahysat." (QS. al-Ahzab: 10-11)
Keadaan semakin buruk di mana
orang-orang Yahudi membatalkan perjanjian mereka dengan kaum Muslim dan mereka
bergabung dengan al-Ahzab. Demikianlah Bani Quraizhah membatalkan perjanjiannya
dan mereka lupa terhadap pengkhianatan bani Nadhir dan pembalasan Nabi saw
terhadap mereka. Setiap hari keadaan semakin buruk.
Kaum Muslim benar-benar mengalami
ujian yang berat di mana pikiran mereka benar-benar kacau. Ketika keadaan
mencapai puncaknya kaum Muslim bertanya kepada Rasul saw, "apa yang harus
mereka katakan?" Rasulullah saw memberitahu agar mereka mengatakan:
"Ya Allah, kalahkanlah mereka dan tolonglah kami untuk mengatasi
mereka."
Doa tersebut keluar dari mulut-mulut
kaum yang telah melaksanakan kewajiban mereka dan telah membuat mukjizat mereka
dalam menghalau serangan. Jadi, mereka tidak memiliki apa-apa selain doa dan
Allah SWT-lah Yang Maha Mendengar permintaan hamba-Nya dan Dia yang
mengabulkannya. Dia mengetahui orang yang melaksanakan kewajibannya dan akan
mengabulkan orang yang berdoa.
Akhirnya, kaum Muslim benar-benar
mendapatkan rahmat Allah SWT. Kemudian perjalanan pertempuran bergerak dengan
cara yang tidak bisa dipahami. Para penyerang menyadari bahwa mereka sebenamya
telah kalah di mana mereka telah menyerang selama tiga pekan namun serangan
tersebut tidak memberikan hasil apa pun. Mereka telah mencurahkan berbagai upaya
namun tanpa memberikan hasil yang diharapkan dan boleh jadi mereka akan tetap
begini selama tiga tahun.
Kemudian datanglah suatu malam di mana
kaum Muslim belum pernah melihat malam segelap itu dan angin sekencang itu,
bahkan saking kerasnya angin sampai-sampai suaranya laksana halilintar. Bahkan
saking gelapnya malam itu sehingga tak seorang pun di antara umat Islam yang
mampu melihat jari-jari tangannya atau berdiri dari tempatnya karena saking
dinginnya cuaca. Kemudian Nabi saw datang menemui Hudaifah bin Yaman. Beliau
tidak mampu melihatnya meskipun beliau berdiri di sebelahnya. Nabi saw
bertanya: "Siapa ini?" Hudaifah menjawab: "Aku adalah
Hudaifah." Nabi saw berkata: "Oh, kamu Hudaifah." Hudaifah tetap
tinggal di tempatnya karena ia khawatir jika ia berdiri ia akan tidak mampu
karena saking dinginnya dan akan menabrak Rasul saw. Rasul saw berkata kepada
Hudaifah, "Aku kehilangan berita penting tentang keadaan kaum yang
menyerang kita."
Hudaifah sebagai mata-mata dari
pasukan Islam merasakan ketakutan di mana ia tidak mampu menahan cuaca yang
begitu dingin, lalu bagaimana ia dapat berdiri dan keluar dari Madinah menuju
ke tempat pasukan musuh dan menyusup di tengah barisan mereka lalu kembali
kepada Nabi saw dengan membawa berita tentang mereka. Hudaifah bangkit dari
tempatnya ketika Nabi saw selesai dari pembicaraannya. Nabi saw memberikan doa
kebaikan kepadanya. Hudaifah pun pergi dan kehangatan keimanannya mengalahkan
kegelapan malam dan kedinginan cuaca. Ia keluar dari Madinah dan menyusup di
tengah-tengah pasukan musuh. Nabi saw memerintahkannya untuk tidak melakukan
tindakan apa pun selain mendapatkan berita dan kembali. Inilah tugas utamanya.
Hudaifah sampai di tengah-tengah musuh. Mereka berusaha menyalakan api namun
angin segera mematikannya sebelum menyala dan di dekat api itu terdapat seorang
lelaki yang berdiri sambil mengulurkan tangannya ke arah api dengan maksud
untuk menghangatkannya. Lelaki itu adalah pemimpin kaum musyrik yaitu Abu
Sofyan.
Melihat itu, Hudaifah segera memasang
anak panah pada busur yang dibawanya dan ia ingin memanahnya. Seandainya ia
berhasil membunuhnya, maka kaum Muslim dapat merasa tenang dengannya, namun ia
ingat pesan Rasulullah saw kepadanya agar ia tidak melakukan tindakan apa pun.
Kemudian ia kembali meletakkan anak panahnya dan menyembunyikannya.
Abu Sofyan berkata: "Wahai
orang-orang Quraisy situasi saat ini tidak menguntungkan bagi kalian, maka
pergilah kalian karena aku pun akan pergi." Abu Sofyan melompat ke atas
untanya lalu mendudukinya dan memukulnya sehingga unta itu bangkit.
Hudaifah kembali menemui Rasulullah
saw dengan membawa berita mundumya pasukan Ahzab dan gagalnya serangan mereka.
Ketika mendengar peristiwa penarikan mundur pasukan musuh, Rasulullah saw
berkata: "Sekarang kita akan menyerang mereka dan mereka tidak akan
menyerang kita." Belum lama pasukan Ahzab kembali ke negerinya dengan
tangan hampa sehingga beliau keluar dari Madinah bersama pasukannya menuju ke
kaum Yahudi Bani Quraizhah. Orang-orang Yahudi itu telah mengkhianati peijanjian
mereka bersama Nabi saw. Mereka menipu Islam di saat-saat genting. Oleh karena
itu, mereka harus membayar biaya pengkhianatan mereka sekarang.
Nabi saw memerintahkan agar para
sahabat tidak melaksanakan salat Ashar kecuali di Bani Quraizhah. Kaum Muslim
memahami bahwa perintah tersebut berarti mereka akan menerobos benteng kaum
Yahudi sebelum matahari tenggelam.
Orang-orang Yahudi menelan kekalahan
pahit lalu mereka datang kepada Sa'ad bin Mu'ad agar ia memutuskan perkara
mereka. Sa'ad adalah pemimpin kaum Aus dan kaum Aus adalah sekutu orang-orang
Yahudi Quraizhah di masa jahiliah. Kaum Yahudi mengharap bahwa mereka dapat
memanfaatkan hubungan yang terjalin selama ini sebagaimana kaum Aus
membayangkan bahwa tokoh mereka akan memberikan keringanan terhadap sekutu-sekutu
mereka. Sa'ad ketika itu terluka dan ia sedang dirawat di kemahnya karena
terkcna panah kauni Ahzab. Sebagian kaunmya membujuknya agar ia bersikap baik
terhadap orang-orang Yahudi, sekutu-sekutu mereka, dan orang-orang Yahudi
membujuknya agar ia bersikap lembut terhadap mereka. Kemudian Sa'ad mengatakan
pernyataannya yang terkenal: "Telah tiba waktunya bagi Sa'ad untuk
memutuskan hukum sesuai dengan kehendak Allah tanpa peduli dengan celaan para
pencela." Sa'ad memutuskan agar kaum lelaki dibunuh dan keturunannya
ditawan serta harta-harta mereka dibagi-bagikan. Nabi pun menyetujui keputusan
tegas Sa'ad itu. Beliau berkata kepadanya: "Sungguh engkau telah
memutuskan kepada mereka dengan keputusan Allah SWT dari tujuh langit."
Sa'ad mengetahui bahwa perantaraan,
permohonan, harapan, dan menjaga berbagai pertimbangan lazim selayaknya berada
di suatu genggaman, dan masa depan Islam berada di genggaman yang lain. Yahudi
Bani Quraizhah adalah penyebab berkecamuknya peperangan Ahzab dan sumpah mereka
dan berbagai tipu daya mereka berusaha untuk memblokade Islam dan
menghancurkannya. Oleh karena itu, kini telah tiba saatnya untuk mencabut
pohon-pohon beracun dari akarnya tanpa memperdulikan kasih sayang.
Demikianlah kaum Yahudi dibersihkan
dari Madinah. Nabi saw kembali melanjutkan pergulatannya. Puncak dari
perjuangan politiknya adalah perjanjian yang beliau lakukan bersama orang-orang
Quraisy. Nabi saw berjalan untuk melaksanakan umrah dan mengunjungi Baitul
Haram. Beliau keluar bersama seribu empat ratus kaum lelaki yang bertujuan
untuk berziarah ke Baitul Haram guna melaksanakan umrah. Ketika mereka sampai
di Hudaibiyah pinggiran kota Mekah, tiba-tiba unta yang ditunggangi Nabi duduk
dan ia tidak mau melangkah menuju Mekah. Melihat itu para sahabat berkata:
"Oh unta itu malas." Nabi saw berkata: "Tidak Demikian namun ia
ditahan oleh Zat yang menahan laju gajah menuju Mekah. Sungguh jika hari ini
orang Quraisy membuat suatu rencana dan mereka meminta agar aku menyambung tali
silaturahmi niscaya aku akan menyetujuinya."
Nabi saw memerintahkan para sahabat
agar tetap tinggal di Hudaibiyah. Kaum Muslim beristirahat di sana dengan
harapan mereka dapat memasuki Mekah di waktu pagi. Peristiwa itu bertepatan
dengan bulan Haram. Mekah telah menetapkan agar tak seorang pun dari kaum
Muslim dapat memasukinya. Semua kaum Quraisy telah keluar untuk memerangi kaum
Muslim. Mereka mengutus utusan-utusan kepada Nabi saw lalu beliau memberitahu
mereka bahwa beliau tidak datang untuk berperang namun beliau ingin melakukan
urnrah sebagai bentuk pujian dan syukur kepada Allah SWT dan mengagumkan
kemuliaan rumah-Nya yang suci. Mekah menetapkan untuk melakukan perjanjian
bersama kaum Muslim di mana mereka menginginkan agar jangan sampai kaum Muslim
memasuki Baitul Haram pada tahun ini kecuali setelah mereka kembali pada tahun
depan.
Datanglah juru runding kaum Quraisy
lalu Rasul saw menyambutnya dan mendengarkan ia menyampaikan syarat-syarat
perjanjian yang intinya pelaksanaan perdamaian dan penarikan mundur pasukan
Muslim. Nabi saw menyetujui semua syarat-syarat perjanjian meskipun tampak
bahwa perjanjian tersebut tidak menguntungkan kaum Muslim di mana itu dianggap
sebagai titik kemunduran politik dan militer kaum Muslim, dan yang menambah
kebingungan kaum Muslim adalah bahwa Rasul saw tidak melibatkan seseorang pun
dari kalangan sahabatnya untuk bermusyawarah dalam hal ini. Tidak biasanya
beliau bersikap demikian. Para sahabat menyaksikan beliau pergi menemui kaum
musyrik dan bersikap sangat lembut kepada mereka, dan beliau tidak kembali
kecuali membawa berita persetujuan dengan perjanjian yang di prakarsai
orang-orang musyrik, dan beliau pun membubuhkan tanda tangan di atasnya.
Para sahabat bergerak untuk menentang
Rasulullah saw. Mereka bertanya kepada beliau, "bukankah engkau utusan
Allah SWT? Bukankah kita kaum Muslim? Bukankah musuh-musuh kita kaum
musyrik?" Nabi saw hanya mengiyakan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Umar
bin Khatab kembali bertanya: "Mengapa kita harus menerima penghinaan dalam
agama kita?" Umar ingin mengungkapkan sesuai dengan bahasa kita saat ini,
"mengapa kita harus mundur kalau kita berada di atas kebenaran? Mengapa
kita menerima syarat-syarat perjanjian yang justru menguntungkan kaum musyrik?
Apakah kita takut terhadap mereka?"
Mendengar berbagai protes yang disampaikan
para sahabatnya, Rasul saw justru menyampaikan jawaban yang unik bagi mereka di
mana beliau berkata: "Aku adalah hamba Allah SWT dan Rasul-Nya dan aku
tidak mungkin menentang perintah-Nya dan Dia tidak mungkin akan menyia-nyiakan
aku." Makna dari kalimat beliau adalah, "taatilah apa yang telah aku
lakukan tanpa perlu memperdebatkannya dan hendaklah kalian sedikit
bersabar."
Perjalanan hari menetapkan bahwa
perjanjian yang menimbulkan pro dan kontra di tengah-tengah sahabat itu justru
membawa kemenangan politik paling gemilang yang pernah dicapai oleh umat Islam.
Kemenangan tersebut diperoleh sebagai hasil dari kebijaksanaan sang Nabi saw
yang mengalahkan kelihaian politik kaum Quraisy. Kaum Quraisy telah memfokuskan
semua kelihaian-nya agar kaum Muslim kembali ke tempat mereka tanpa memasuki
Masjidil Haram pada tahun ini, namun hikmah Nabi saw justru mampu mencapai
pengelihatan yang tidak dapat dijangkau oleh kaum itu yang berkenaan dengan
masa depan. Jika saat ini perjanjian tersebut tampak membawa kekalahan bagi
kaum Muslim, maka setelah berlangsung beberapa bulan ia justru mendatangkan
kemenangan yang spektakuler.
Suhail bin Amr adalah wakil dari
delegasi kaum Quraisy dan Ali bin Abi Thalib adalah juru tulis dalam perjanjian
itu dari pihak Nabi saw. Rasulullah saw berkata kepada Ali: "Tulislah
dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang." Utusan Quraisy
berkata, aku tidak mengenal ini. Tapi tulislah dengan nama-Mu, ya Allah.
Rasulullah saw berkata kepada Ali: "Dengan nama-Mu, ya Allah." Sikap
keras kepala utusan Quraisy itu tidak berarti sama sekali karena tidak ada
perbedaan yang mencolok antara dengan namamu Allah dan dengan nama Allah Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang selain niat si pembicara.
Nabi saw berkata kepada Ali: "Ini
adalah perundingan antara Muhammad saw utusan Allah dan Suhail bin Amr."
Mendengar itu dengan nada menentang Suhail bin Amr berkata: "Seandainya
aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah niscaya aku tidak akan
memerangimu, tetapi tulislah namamu dan nama ayahmu." Nabi berkata kepada
Ali tulislah: "Inilah kesepakatan antara Muhammad bin Abdillah dan Suhail
bin Amr."
Tampaknya itu adalah kemunduran yang
kedua dan dengan pandangan yang sekilas tampak menjatuhkan kaum Muslim tetapi
Nabi saw ingin mewujudkan suatu tujuan yang penting yaitu tujuan yang belum
terungkap saat itu. Alhasil, semuanya terjadi dengan ilham dari Allah SWT. Ali
kembali menulis bahwa Muhammad bin Abdillah dan Suhail bin Amr sama-sama
sepakat untuk menghentikan peperangan selama sepuluh tahun di mana hendaklah
masing-masing mereka memberikan keamanan terhadap sesama mereka. Namun jika
terdapat di antara orangorang Quraisy seseorang yang masuk Islam lalu ia datang
kepada Muhammad saw tanpa izin walinya hendaklah kaum Muslim mengembalikannya
kepada kaum Quraisy. Sebaliknya, jika ada orang yang murtad dari sahabat
Muhammad saw, maka tidak ada keharusan bagi orang Quraisy untuk
mengembalikannya kepada Nabi.
Syarat tersebut sangat menyakitkan
kaum Muslim. Tampak bahwa orang-orang Quraisy memaksakan kehendaknya dalam
syarat-syarat perjanjian yang tidak adil itu. Ali melanjutkan tulisannya,
hendaklah Nabi saw pulang dari Mekah pada tahun ini dan tidak memasukinya dan
jika pada tahun depan orang-orang Quraisy keluar darinya, maka beliau dapat memasukinya
untuk melaksanakan umrah selama tiga hari dan setelah itu beliau harus
meninggalkannya. Persyaratan tersebut sangat merugikan kaum Muslim dan terkesan
membingungkan.
Di tengah-tengah perjanjian tersebut
terjadi suatu peristiwa yang menambah penderitaan dan kebingungan Muslimin di
mana anak dari juru runding Quraisy meminta perlindungan kepada kaum Muslim. Ia
masuk Islam dan ingin bergabung dengan kelompok Islam namun ayahnya, Suhail
segera bangkit menyusulnya bahkan memukulnya dan mengembalikannya kepada
kaumnya. Orang Mukalaf itu segera berteriak dan meminta pertolongan kepada kaum
Muslim agar mereka menyelamatkannya dari kejahatan kaum Quraisy sehingga mereka
tidak mengubah agamanya. Rasulullah saw berbicara kepadanya dan meminta
kepadanya untuk bersabar dan tegar dalam menanggung penderitaan karena Allah
SWT akan menjadikannya dan orang-orang yang sepertinya suatu jalan keluar dan
kelapangan. Nabi memahamkannya bahwa beliau telah mengadakan suatu peijanjian
dengan kaum Quraisy dan bahwa kaum Muslim tidak mungkin melanggar perjanjian
mereka.
Akhirnya, anak Muslim itu dikembalikan
ke Mekah dalam keadaan tersiksa. Kemudian Selesailah penandatanganan perjanjian
antara pihak kaum Muslim dan pihak kaum musyrik. Setelah penandatanganan
perjanjian itu, Rasulullah saw memerintahkan para sahabatnya agar mereka
memotong hewan kurban dan mencukur rambut mereka (tahalul) dari umrah mereka
dan kembali ke Madinah. Namun tak seorang pun bangkit menyambut perintah
tersebut, lalu beliau mengulangi perintahnya ketiga kali. Di tengah-tengah kaum
Muslim yang tampak membisu karena ketegangan dan kesedihan, beliau menyembelih
unta dan memanggil tukang cukurnya untuk mencukur rambutnya dan beliau tidak
berbicara dengan seorang pun. Ketika para sahabat mengetahui bahwa Nabi saw
tampak marah dan telah mendahului mereka dengan tahalul dari umrahnya, maka
mereka bangkit untuk menyembelih kurban dan memotong rambut mereka.
Perjalanan hari menunjukkan bahwa
perundingan tersebut tidak seperti yang dibayangkan oleh kaum Muslim. Ia justru
membawa kemenangan dan bukan kekalahan. Persatuan kaum kafir di jazirah Arab
mulai runtuh sejak mereka menandatangani perjanjian itu. Kaum Quraisy di anggap
sebagai pimpinan kaum kafir dan pembawa bendera penentangan terhadap Islam,
maka ketika tersebar berita perjanjian mereka bersama kaum Muslim, maka
padamlah fitnah-fitnah kaum munafik yang bekerja untuk mereka dan
bercerai-berAllah kabilah-kabilah penyembah patung di penjuru jazirah.
Saat aktivitas kaum Quraisy terhenti,
maka kaum Muslim mengalami peningkatan aktivitas di mana mereka berhasil
menarik orang-orang yang masih memiliki kemampuan untuk melihat kebenaran.
Sejak dua tahun dari masa penandatanganan perjanjian itu jumlah penganut Islam
semakin bertambah lebih dari jumlah sebelumnya. Bukti dari itu adalah, bahwa
saat Rasul saw keluar ke Hudaibiyah beliau ditemani dengan seribu empat ratus
Muslim namun ketika beliau keluar pada tahun penaklukan kota Mekah beliau
disertai dengan sepuluh ribu Muslim. Penaklukan kota Mekah terjadi setelah dua
tahun dari perundingan tersebut. Penambahan jumlah kaum Muslim yang luar biasa
ini adalah dikarenakan hikmah sang Nabi saw dan kejauhan pandangannya. Nabi saw
keluar sebagai pemenang dalam pergulatan politiknya, dan syarat-syarat yang
tadinya merugikan kaum Muslim kini telah berubah menjadi syarat-syarat yang
merugikan kaum Quraisy. Barangsiapa murtad dari kaum Muslim dan pergi ke kaum
Quraisy, maka hendaklah mereka melindunginya karena Allah SWT telah memampukan
Islam darinya, dan barangsiapa yang masuk Islam dari kaum kafir dan pergi ke
kaum Muslim, maka hendaklah mereka mengembalikannya ke kaum Quraisy di mana ia
tinggal di dalamnya sebagai mata-mata dari pihak Islam atau ia dapat lari dari
kaum Quraisy untuk menyatukan kelompok yang bertikai dan ia dapat hidup laksana
duri di tengah-tengah kaum Quraisy.
Belum lama waktu berjalan sehingga
kaum Quraisy mengutus utusannya kepada Nabi saw dan mengharap kepada beliau
agar melindungi orang Quraisy yang masuk Islam daripada membiarkan mereka
sebagai panah yang terbang menuju kaum Quraisy. Demikianlah kaum Quraisy justru
membatalkan syarat yang telah mereka diktekan dan Nabi saw pun menerimanya
dengan puas. Perundingan itu justru menguatkan barisan Nabi savv.
Demikianlah Nabi saw terus menjalani
mata rantai pergulatan yang tiada henti-hentinya di mana kehidupan beliau yang
pribadi sekali pun tidak sunyi dari penderitaan. Nabi saw menikahi sembilan
orang istri. Perkawinan beliau dengan sembilan istri tersebut merupakan keistimewaan
pribadi yang hanya beliau miliki karena berhubungan dengan sebab-sebab dakwah
Islam. Yaitu suatu dakwah yang membolehkan para pengikutnya untuk menikahi
empat orang istri dengan syarat jika yang bersangkutan mampu menciptakan
keadilan di antara mereka, dan ia menganjurkan untuk hanya puas dengan satu
istri jika seorang Muslim khawatir tidak dapat berbuat adil.
Kaum orentalis dan musuh-musuh Islam
mencoba untuk menghina Nabi dan memojokkannya, dan salah satu cela yang mereka
manfaatkan adalah perkawinan beliau dengan sembilan wanita. Kita mengetahui
bahwa pernikahan-pernikahan beliau terlaksana dengan sebab-sebab politik atau
kemanusiaan yang berhubungan dengan dakwah Islam. Dan yang terkenal dari
sejarah Nabi saw adalah bahwa beliau menikah dengan Sayidah Khadijah saat
beliau berusia dua puluh lima tahun dan Khadijah berusia empat puluh tahun.
Semasa hidup Khadijah beliau tidak menikahi istri yang lain sampai Khadijah
mencapai usia enam puluh lima tahun. Saat Khadijah meninggal, Nabi berusia di
atas lima puluh tahun. Beliau menikahi Khadijah sebelum beliau diutus untuk
menyebarkan Islam. Beliau tetap setia bersama Khadijah sampai ia meninggal dan
beliau diangkat menjadi Nabi. Namun beban kenabian dan beratnya jihad, kasih
sayangnya kepada manusia, pengorbanannya terhadap Islam dan perintah Allah SWT
semua itu memaksanya untuk menikah lebih dari satu orang istri sampai mencapai
sembilan orang istri. Perkawinan beliau dengan Aisyah yang saat itu masih belia
merupakan usaha untuk menjalin ikatan dengan Abu Bakar, ayah dari Aisyah dan
perkawinan beliau dengan Hafshah meskipun ia sedikit kurang cantik merupakan
usaha beliau untuk menjalin ikatan dengan Umar, ayahnya. Beliau juga menikah
dengan Ummu Salamah, janda dari pemimpin pasukannya yang mati syahid di jalan
Allah SWT dan wanita itu merasakan penderitaan bersama beliau saat hijrah di
Habasyah dan hijrah ke Madinah. Ketika suaminya meninggal dan ia sendirian
menghadapi berbagai persoalan kehidupan, maka Nabi saw segera merangkulnya di
rumah kenabian. Perkavvinan beliau dengan Sawadah sebagai bentuk penghormatan
terhadap keislaman wanita itu dan kemuliannya dari kaum lelaki serta
kesendiriannya dalam menjalani kehidupan. Sementara itu, pernikahan beliau
dengan Zainab bin Jahasy merupakan ujian berat bagi beliau di mana perintah
pernikahan itu datang dari Allah SWT untuk mengharamkan suatu tradisi yang
terkenal di kalangan jahiliah yaitu tradisi adopsi. Zainab termasuk kerabat
Rasul. Jadi ia termasuk dari kalangan bani Hasyim. Ia merasa bangga dengan
nasab yang dimilikinya yang karenanya ia menolak ketika ditawari untuk menikah
dengan Zaid bin Harisah, seorang budak Nabi yang telah beliau bebaskan, bahkan
nasabnya telah beliau nisbatkan kepada dirinya dan beliau telah mengadopsinya
sehingga ia dipanggil dengan sebutan Zaid bin Muhammad. Namun Zainab akhirnya
menyetujui pendapat Nabi dan perintah Allah SWT sehingga ia menikah dengan
Zaid:
"Dan tidaklah patut bagi
laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukimin, apabila Allah
dan Rasul-Nya telah menetaphan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan
yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhahai Allah dan
Rasul-Nya, maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata. "
(QS. al-Ahzab: 36)
Sejak semula tampak jelas bahwa pernikahan
tersebut akan segera berakhir. Zainab tidak menyukai Zaid dan Zaid pun bukan
tipe lelaki yang mampu menahan kehidupan bersama seorang wanita yang hatinya
jauh darinya. Zaid datang kepada Nabi saw guna mengadu kepada beliau dan
meminta izin untuk menceraikan istrinya. Allah SWT mewahyukan kepada Rasul-Nya
agar membiarkan Zaid menceraikan istrinya, lalu hendaklah beliau menikahinya.
Nabi saw merasakan kesulitan yang luar biasa dan beliau berbicara kepada Zaid
agar ia terus melangsungkan kehidupannya dan bersabar. Nabi saw membayangkan
apa yang dikatakan manusia kepadanya bahwa ia menikahi istri dari anaknya
tetapi apa yang dikhawatirkan oleh Nabi saw justru merupakan sesuatu yang ingin
dihapus oleh Allah SWT. Zaid bukanlah anaknya dan dalam Islam tidak ada sistem
adopsi. Oleh karena itu, Zaid dapat mencerai istrinya lalu Nabi dapat menikahi
Zainab untuk menetapkan apa yang diinginkan oleh Islam. Rasulullah saw mampu
bersabar dan menahan diri saat mendengar berbagai ocehan yang akan dikatakan
oleh manusia kepadanya. Ini bukanlah pengorbanan pertama dan terakhir yang
beliau persembahkan untuk Islam. Berkenaan dengan itu, Allah SWT berfirman:
"Dan (ingatlah), ketika kamu
berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu
(juga) telah memberi nikmat kepadanya: 'Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah
kepada Allah,' sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan
menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih
berrhak kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap
istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan kamu dengan dia supaya tidak ada
heberatan bagi orang-orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat
mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari
istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. " (QS. al-Ahzab:
37)
Pemikahan beliau dipenuhi dengan unsur
politik dan usaha untuk menyebarkan kebaikan dan rahmat serta penghormatan
nilai-nilai yang tinggi dan menggabungkannya di rumah kenabian. Sementara itu,
Ummu Habibah binti Abu Sofyan bin Harb, pemimpin Quraisy dalam memerangi Islam,
berhijrah bersama suaminya ke Habasyah.
Ia berhadapan dengan keterasingan dan
kekhawatiran dalam membela agama Allah SWT. Kemudian suaminya mati meninggalkannya
sendirian dalam menjalani kehidupan. Sikapnya yang mulia demi menegakkan ajaran
Islam dan hanya menentang ayahnya merupakan nilai lebih yang menyebabkan
Rasulullah saw tertarik untuk menggabungkannya di rumah kenabian.
Pada suatu hari, Abu Sofyan menemuinya
saat ia telah menjadi istri Rasulullah saw. Abu Sofyan ingin duduk di atas
tempat tidur Nabi lalu Ummu Habibah berusaha menjauhkan tempt tidur itu dari
ayahnya. Melihat sikap anaknya itu, ayahnya bertanya kepadanya: "Apakah
engkau mulai membenciku?" Dengan penuh keberaniaan ia menjawab: "Ini
adalah tempat tidur Rasulullah saw dan engkau adalah seorang musyrik, maka
engkau tidak boleh menyentuhnya."
Adapun Shofiyah binti Huyay adalah
anak seorang raja Yahudi. Sedangkan Juwairiyah binti Haris, ayahnya seorang
pemimpin kabilah Bani Musthaliq. Bani Musthaliq menelan kekalahan saat
berhadapan dengan kaum muslim lalu kedua anak perempuan raja dan pemimpin
kabilah itu jatuh menjadi tawanan. Pemikahan Nabi dengan kedua wanita itu
terkesan dipaksa oleh orang-orang yang kalah itu dan sebagai ajakan agar kaum
Muslim memperlakukan mereka dengan baik. Mula-mula kaum Muslim menolak untuk
bersikap lembut terhadap ipar-ipar Nabi, namun Nabi dengan kelembutan sikapnya
ingin menyingkap aspek kemanusiaan dalam peperangannya dan beliau
mengisyaratkan kepada kaum Muslim agar mereka menunjukkan persaudaraan sesama
manusia. Peperangan itu sendiri bukan sebagai tujuan namun ia sebagai usaha
mempertahankan Islam dan aspek tertinggi dari Islam adalah rahmat dan cinta.
Jadi Nabi saw menikahi wanita-wanita
dari orang-orang yang kalah itu dengan maksud agar kebebasan dan kemuliaan
kembali kepada keluarga mereka dan mereka dapat masuk Islam secara puas dan
sukarela. Kemudian beliau menikah dengan Maryam al-Qibtiyah. Muqauqis telah
memberikannya kepada Nabi sebagai budak di mana itu merupakan simbol tali kasih
yang diisyaratkan oleh Al-Qur'an antara Islam dan Masehi dan sebagai bentuk
hukum bagi kaum Muslim dengan dihalalkannya pernikahan dengan wanita-wanita
ahlul kitab.
Maryam memberikan anak kepada Nabi saw
yang bernama Ibrahim, nama dari kakeknya, bapak para nabi. Namun Ibrahim tidak
hidup lama. Ia meninggal saat masih menyusu. Kematiannya merupakan ujian bagi
Nabi dan sebagai isyarat dari Ilahi bahwa pewaris-pewaris Rasul dari kaum pria
adalah para pengikut Al-Qur'an dan para pembawa Islam, bukan anak-anak dari
sulbinya.
Salah jika ada orang yang membayangkan
bahwa Rasul saw mempunyai banyak waktu untuk mencari kesenangan meskipun halal.
Kesenangan diperbolehkan bagi orang lain namun beliau lebih memilih untuk
merasakan penderitaan berjihad, menegakkan hukum, dan kesabaran. Salah jika ada
orang yang membayangkan bahwa Rasul saw hidup di rumahnya dengan keadaan
ekonomi yang lebih baik daripada orang yang termiskin dari kalangan Muslim di
zamannya.
Kehidupan beliau di rumahnya penuh
dengan kezuhudan yang luar biasa sehingga sebagian istrinya mengeluhkan keadaan
tersebut. Di antara mereka ada yang berasal dari keluarga yang kaya seperti
keluarga Abu Bakar atau keluarga Umar bahkan sebagian istrinya bersatu untuk
meminta kepada beliau agar beliau menambah nafkah mereka sehingga Nabi
meninggalkan istri-istrinya, lalu tersebarlah isu yang menyatakan bahwa beliau
telah menceraikan semua istrinya. Kemudian turunlah ayat Takhyir (yaitu ayat yang
memberikan pilihan kepada istri-istri Nabi untuk tetap menjadi istri beliau
atau diceraikannya). Turunlah Al-Qur'an al-Karim memberikan pilihan pada
istri-istri Nabi antara menjalani kehidupan di rumah kenabian dengan penuh
kesederhanaan atau menerima perceraian. Allah SWT berfirman:
"Hai Nabi, katakanlah kepada
istri-istrimu: 'Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya,
maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara
yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya
serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka Sesungguhnya Allah menyediakan siapa
yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar. " (QS. al-Ahzab: 28-29)
Selesailah fitnah. Demikianlah
pergulatan di rumah Rasul saw. Akhirnya, istri-istri beliau memilih kehidupan
zuhud dan bersabar serta akhirat daripada kehidupan dunia. Permintaan
istri-istri nabi tidak melebihi hal-hal yang bersifat mubah, namun Rasul saw
merupakan teladan bagi seluruh umat, karena itu beliau harus menjadi teladan
bagi umat sehingga beliau dapat menjadi cermin tertinggi yang layak diemban
oleh seorang yang memegang tampuk kepemimpinan Muslimin. Allah SWT telah
membalas pengorbanan istri-istri Nabi saw dalam bentuk mengangkat kedudukan
mereka dan menjadikan mereka sebagai ibu dari kaum mukmin. Allah SWT berfirman:
"Nabi itu (hendaknya) lebih utama
bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah
ibu-ibu mereka." (QS. al-Ahzab: 6)
Dan, sebagai penegasan terhadap
keibuan spiritual ini, Islam mewajibkan hijab yang teliti kepada mereka, yaitu
suatu hijab yang tidak diberlakukan seperti itu kepada Muslimah-Muslimah lain.
Nabi saw melanjutkan dakwahnya. Beliau mengirim surat ke raja-raja dan para
penguasa di mana beliau ingin menunjukkan universalitas ajaran Islam. Nabi saw
mengajak Kaisar Romawi untuk mengikuti Islam, lalu beliau mengirim utusan ke
Amir Damaskus mengajaknya untuk memeluk Islam, dan beliau mengutus utusan ke
Amir Basrah bagian dari wilayah Romawi dan mengajaknya untuk mengikuti Islam,
dan beliau juga mengirim surat ke penguasa Qibti dan mengajaknya untuk masuk
Islam, dan beliau juga menulis surat ke Kisra, Raja Persia dan mengajaknya
untuk mengikuti Islam. Beliau juga mengirim utusan ke Amir Bahrain dan
mengajaknya untuk mengikuti Islam.
Lalu berbagai reaksi disampaikan
berkenaan dengan surat-surat Nabi itu. Di antara mereka ada yang berusaha
menyampaikan kepada pembawa surat bahwa ia masuk Islam dan mengembalikannya dengan
hadiah, dan di antara mereka ada yang merobek-robek surat itu dan di antara
mereka ada yang membalas surat itu dengan jawaban yang baik, dan di antara
mereka ada yang menerima kebenaran. Demikianlah hari berlalu dalam pergulatan
yang tidak pernah padam, suatu pergulatan yang dipimpin oleh Nabi sehingga
beliau menaklukkan Mekah dan menyucikan jazirah Arab. Akhirnya, manusia masuk
dalam agama Allah SWT dalam keadaan berbondong-bodong, dan Allah SWT
menyempurnakan agama bagi kaum Muslim dan Nabi saw melaksanakan haji wada'
(haji yang terakhir) dan turunlah kepada beliau wahyu di Arafah sebagaimana
firman-Nya:
"Pada hari ini telah
Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku,
dan telah Ku-ridhai Islam itujadi agama bagimu. " (QS. al-Maidah: 3)
Ayat tersebut dibacakan kepada Abu
Bakar sehingga ia menangis. Allah SWT merasa bahwa telah tiba waktunya untuk
mengakhiri misi Rasul-Nya. Aisyah berkata kepada anak-anak yang berteriak dan
bermain-main di luar rumah: "Diamlah kalian karena Rasulullah saw sedang
sakit." Anak-anak itu pun terdiam dan mereka merasakan ketakutan yang luar
biasa. Pada hari-hari terakhir, Rasulullah saw tidak lagi bercanda dengan
mereka sebagaimana yang biasa beliau lakukan.
Mereka memperhatikan bahwa kepucatan yang
aneh menyelimuti Nabi saw yang biasanya wajah beliau dipenuhi dengan senyuman
hingga wajahnya laksana lempengan emas. Nabi saw yang terakhir masuk dalam
rumahnya dan hampir saja beliau tidak kuat menahan langkah kedua kakinya.
Beliau memasuki rumahnya dan bersandar kepada tangan Fadl bin Abbas dan Ali bin
Abu Thalib. Beliau merasakan keletihan dan kesakitan. Kemudian Aisyah
menidurkan beliau di atas ranjangnya yang kasar dan Aisyah meletakkan tangannya
di atas kening beliau. Kepala beliau tampak panas karena saking hebatnya demam.
Aisyah berkata dalam keadaan kedua matanya mengucurkan air mata, "demi
ayah dan ibuku, ya Rasulullah apakah engkau merasakan sakit?" Nabi saw
tersenyum untuk menenangkan Aisyah lalu beliau tertidur. Kemudian mengalirlah
dalam memori Nabi saw berbagai gambar hidup: Jibril turun kepada beliau dengan
membawa wahyu di gua Hira. Beliau telah melewati waktu yang diberkati selama
dua puluh tiga tahun, yang sekarang tampak seperti mimpi. Bahkan empat puluh
tahun yang mendahuluinya tampak seperti gambar yang hanya dilukis sesaat.
Segala sesuatu menjadi mudah bagi
Allah SWT dan Rasulullah saw telah berhasil melalui berbagai penderitaan dengan
penuh kesabaran, bahkan beliau tidak pernah mengeluh sekali pun. Beliau
mengajarkan akidah kepada para pengikutnya dengan penuh kemantapan. Akhirnya,
Islam menjadi mulia dan benderanya semakin berkibar. Kemudian beliau bangun
karena melihat tangisan yang tersembunyi dari Aisyah. Beliau membuka kedua
matanya dan melihat wajah Aisyah sambil beliau sendiri berusaha melawan rasa
pusing, demam, dan sakit yang dirasakannya. Beliau kembali tersenyum untuk
menenangkan Aisyah dan beliau kembali memejamkan matanya dan tidak sadarkan
diri. Apa gerangan yang menyebabkan Aisyah menangis? Tidakkah Allah SWT memahkotai
jihad Nabi saw yang berat dengan penaklukan Mekah dan penyucian Baitul Haram?
Berbagai gambar hidup dan aktual
melayang-layang dalam memori Nabi saw. Beliau mengingat bagaimana tindakan
orang Quraisy ketika membantalkan perjanjian Hudaibiyah dan mereka memerangi
Khaza'ah yang saat itu bersekutu dengan kaum Muslim dan akhirnya mereka
membunuh semua sekutu kaum Muslim di Baitul Haram. Kemudian beliau berjalan
bersama pasukan yang berjumlah sepuluh ribu di mana semua pasukan telah siap,
dan tentara Muslim turun dari gunung Mekah laksana air bah yang tidak berhenti
sedikit pun. Telah lewatlah masa para pembawa tombak, panah, dan pedang; telah
lewatiah masa di mana Rasulullah saw memimpim pasukan yang di dalamnya terdapat
kaum Muhajirin dan Anshar. Di tengah-tengah pasukan besar tersebut yang
berhasil menaklukkan Mekah, Nabi saw menunggangi untanya dan beliau menundukkan
kepalanya dengan penuh rendah diri di hadapan Allah SWT sampai-sampai kepalanya
hampir menyentuh punggung unta yang dinaiki. Pintu Mekah terbuka untuk pasukan
ini.
Para pemimpin Mekah dan
pengikut-pengikut mereka menyerahkan diri. Kalimat Allah SWT semakin meninggi
di dalamnya. Nabi saw memasuki Baitul Haram lalu beliau berkeliling di sekitar
Ka'bah. Beliau menghancurkan berbagai patung yang berbaris di sekitarnya, lalu
beliau memukulnya dengan kampaknya. Kemudian patung-patung itu berjatuhan dan
hancur. Setelah beliau membersihkan masjid dari berbagai patung dan
mengembalikannya sebagaimana yang diciptakan oleh Allah SWT sebagai rumah
tauhid yang mutlak, beliau menoleh kepada orang Quraisy dan memaafkan mereka
dan mengajak mereka untuk kembali ke jalan Allah SWT. Kemudian tibalah waktu
salat, lalu Bilal naik di atas punggung Ka'bah dan mengumandangkan Azan.
Penduduk Mekah mende-ngarkan panggilan baru ini di mana gemanya berputar-putar
di antara gunung:
"Allah Maha Besar. Aku bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah. Aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah.
Marilah melaksanakan salat. Marilah menuju keberuntungan. Allah Maha Besar.
Tiada Tuhan selain Allah."
Akhirnya, rumah itu dikembalikan
kehormatannya dan kemuliannya. Kemudian lagi-lagi arus berbagai gambar
terlintas dalam memorinya: itulah peperangan Hunain dengan kekalahannya,
kemenangannya, dan ganimahnya; Itulah Nabi saw yang memberikan ganimah terhadap
orang-orang yang bergabung dengan Islam hanya dua hari dari penduduk Mekah, dan
mencegah untuk memberi ganimah Hunaian kepada kaum Anshar yang telah memberikan
segalanya untuk Islam. Salah seorang di antara mereka berkata: "Demi
Allah, Rasulullah saw telah menemui kaumnya." Sa'ad bin 'Ubadah berjalan
ke arah Rasulullah saw dan memberitahunya bahwa kaum Anshar sedang marah. Rasul
saw bertanya: "Mengapa marah?" Sa'ad menjawab: "Mereka protes
saat engkau membagikan ganimah ini pada kaummu dan pada seluruh orang Arab
namun mereka tidak mendapatkan apa-apa." Rasulullah saw bertanya kepada
Sa'ad bin Ubadah: "Kamu sendiri bagaimana pendapatmu wahai Sa'ad?"
Sa'ad berkata: "Aku tidak lain kecuali seseorang dari kaumku."
Rasulullah saw berkata: "Kumpulkanlah kepadaku kaummu untuk masalah yang
penting ini dan jika kalian telah berkumpul, maka beritahulah aku."
Sa'ad mengumpulkan seluruh kaum Anshar
lalu ia memberitahu Rasul saw bahwa ia telah mengumpulkan mereka. Rasulullah
saw keluar menemui mereka dan berdiri di hadapan mereka sambil memuji Allah SWT
dan kemudian berkata: "Wahai orang-orang Anshar, tidakkah aku datang
kepada kalian saat kalian dalam keadaan sesat lalu Allah SWT memberikan
petunjuk kepada kalian, dan kalian menjadi orang-orang yang fakir lalu Allah
SWT memampukan kalian, dan kalian dalam keadaan bermusuhan lalu Allah SWT
menyatukan hati kalian?" Mereka menjawab: "Benar." Rasulullah
saw berkata: "Mengapa kalian tidak menjawab wahai kaum Anshar?"
Mereka berkata: "Apa yang kita akan katakan wahai Rasulullah dan dengan
apa kita akan menjawabnya. Sungguh segala karunia hanya milik Allah SWT dan
Rasul-Nya."
Rasulullah saw berkata: "Demi
Allah, seandainya kalian mau niscaya kalian akan mengatakan dan benar apa yang
kalian katakan: Engkau datang kepada kami sebagai seorang yang terusir, maka
kami melingdungimu dan engkau datang dalam keadaan miskin lalu kami menghiburmu
dan engkau datang dalam keadaaan ketakutan lalu kami mengamankanmu dan engkau
datang dalam keadaan teraniaya lalu kami menolongmu." Mereka berkata:
"Segala puji dan karunia bagi Allah SWT dan Rasul-Nya." Rasulullah
saw berkata: "Wahai kaum Anshar, apakah kalian akan marah terhadap harta
yang telah aku berikan kepada suatu kaum dengan harapan agar keimanan meresap
dalam hati mereka dan kalian justru melupakan karunia yang telah Allah SWT
berikan kepada kalian dalam bentuk nikmat Islam. Tidakkah kalian wahai kaum
Anshar merasa puas ketika manusia pergi untuk melakukan perjalanan di musim
dingin sedangkan kalian pergi dengan Rasulullah saw. Maka demi Zat yang jiwaku
di tangan-Nya, seandainya manusia melalui suatu jalan dan kaum Anshar melalui
jalan yang lain niscaya aku akan melalui jalan kaum Anshar. Ya Allah,
rahmatilah kaum Anshar dan anak-anak kaum Anshar dan cucu kaum Anshar."
Mendengar doa itu, kaum tersebut
menanggis sehingga jenggot mereka terbasahi dengan air mata dan mereka berkata:
"Kami rela dengan Allah SWT sebagai Tuhan dan sangat puas dengan pembagian
Rasulullah saw." Kemudian Nabi saw pun meninggalkan mereka dan mereka
pergi dalam keadaan puas. Orang-orang Anshar memahami bahwa Muslim yang hakiki
di dunia adalah seorang yang datang di dunia untuk memberi, bukan untuk
mengambil. Nabi saw terbangun dan beliau mendapati dirinya sendirian di kamar.
Suhu tubuh beliau meningkat karena demam, lalu beliau memanggil Aisyah dan
meminta kepadanya untuk membawa air yang dapat digunakannya untuk mendinginkan
tubuhnya. Aisyah mulai menuangkan air kepada Rasulullah saw sampai demam beliau
berangsur-angsur sedikit menurun. Tampak bahwa waktu berlalu cukup lambat dan
berat. Sakit Rasulullah saw semakin meningkat.
Beliau mulai merasa bahwa tidak mampu
lagi untuk salat bersama para sahabat, lalu beliau memerintahkan Abu Bakar
untuk salat bersama mereka. Pada saat Nabi mengalami antara keadaan terjaga dan
tidur, beliau selalu berpikir apa gerangan yang belum disampaikannya kepada
manusia. Beliau telah menyampaikan segala sesuatu dan telah mengajari mereka
segala sesuatu serta telah meninggalkan sebuah Kitab yang siapa pun berpegangan
dengannya ia tidak akan sesat.
Rasul saw mulai mengantuk dan berbagai
nostalgia terlintas di kepalanya. Beliau melihat dirinya di haji Wada'.
Selesailah perjanjian yang diberikan kepada kaum musyrik dan mereka telah
dilarang untuk memasuki Masjidil Haram dan sekarang Nabi saw keluar sebagai
pemimpin haji dan mengajari kaum Muslim cara manasiknya. Rasulullah saw
memperhatikan ribuan orang-orang yang bertauhid saat mereka menuju Baitul Haram
dalam keadaan memenuhi panggilan Tuhan dan tunduk kepadanya. Mereka
menghidupkan memori kakek mereka, Ibrahim Khalilullah. Nabi saw berdiri dan
berpidato di tengah-tengah keramaian itu. Nabi saw mulai merasakan bahwa
kehidupannya di dunia sebentar lagi akan berakhir. Beliau mengetahui bahwa
kafilah ini akan pergi sendirian dalam menjalani kehidupan. Beliau kembali
menanamkan nilai-nilai Islam dan wasiat dakwah di jalan Allah SWT. Setelah
berjuang selama dua puluh tiga tahun menegakkan agama Allah SWT, beliau
bertanya kepada mereka: "Apakah aku telah menyampaikan amanat Tuhan?"
Lalu manusia yang hadir saat itu menyatakan bahwa beliau benar-benar telah
menyampaikan dakwah. Beliau memanggil Mu'ad bin Jabal dan mengajarinya
bagaimana berdakwah kepada manusia di jalan Allah SWT dan bagaimana mengenalkan
agama kepada mereka.
Kemudian beliau berwasiat kepadaa
Mu'ad saat ia menunggangi kendaraannya sedangkan Rasulullah saw beijalan di
sebelah untanya: "Sesungguhnya orang yang paling utama di sisiku adalah
orang-orang yang bertakwa, siapa pun mereka dan di mana pun mereka." Nabi
saw adalah rahmat bagi semua manusia dan sebagal cermin yang tertinggi dari
cermin persaudaraan dan kepatuhan. Beliau menegakkan Al-Qur'an di tengah-tengah
umat Islam namun beliau menolak segala bentuk penampilan yang biasa melekat
pada seorang penguasa atau raja atau pemimpin apa pun. Beliau berkata kepada
para sahabatnya: "Aku hanya seorang hamba Allah SWT dan Rasul-Nya."
Beliau keluar menemui sekelompok
sahabatnya lalu sebagai bentuk penghormatan kepada beliau mereka berdiri.
Kemudian beliau memerintahkan kepada mereka agar tidak berdiri. Ketika beliau
keluar untuk menemui sahabat-sahabatnya dan murid-muridnya, maka beliau duduk
bersama mereka di tempat terakhir yang ditemukannya. Beliau sangat bersahabat
dan ramah dengan para sahabatnya, bahkan beliau bercanda dengan anak-anak
mereka dan mendudukkan mereka di ruangannya. Beliau memenuhi panggilan orang
dewasa maupun anak-anak. Beliau membesuk orang-orang yang sakit meskipun berada
di tempat yang jauh. Beliau menerima alasan orang yang mempunyai uzur. Beliau
mendahului orang yang ditemuinya dengan salam bahkan beliau mendahului berjabat
tangan dengan para sahabatnya.
Ketika seseorang datang untuk
menemuinya saat beliau salat, maka beliau mempersingkat salatnya dan menanyakan
keperluan orang itu. Setelah menyelesaikan keperluan manusia, beliau kembali
menyelesaikan shalatnya. Beliau selalu menebar senyum kepada kawan dan lawan
dan memiliki kepribadian yang paling baik. Ketika beliau berada di rumahnya,
beliau melayani keluarganya. Beliau mencuci bajunya. Beliau memperbaiki
sandalnya dan memberi minum unta. Beliau makan bersama pembantu. Beliau
memenuhi kebutuhan orang yang lemah, orang yang sedih, dan orang yang miskin.
Bahkan kebaikan beliau dan kasih sayangnya sampai pada tingkat di mana beliau
membiarkan cucunya menaiki punggungnya saat beliau sedang shalat.
Kasih sayang beliau tidak hanya
terbatas kepada manusia bahkan juga tertuju pada binatang dan pohon. Beliau
memberi makan binatang dengan tangannya sendiri bahkan beliau pernah merawat
anjing yang sakit. Beliau memerintahkan pasukan Islam saat berperang demi
menegakkan keadilan Islam agar mereka tidak membunuh anak kecil, orang tua,
kaum wanita dan hendaklah mereka tidak mencabut pohon dan tidak pula merobohkan
rumah.
Apa yang dibawa oleh Nabi saw bukan
hanya suatu undang-undang yang mengatur hubungan antara manusia dan manusia
yang lain, dan apa yang dibawa oleh Nabi saw bukan hanya berisi suatu sistem
untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan kemajuannya, ini semua adalah hal
relatif namun beliau datang dengan membawa peradaban yang abadi yang mengatur
hubungan antara manusia dan alam, dan mengembalikan keserasian di alam wujud
sehingga semua berjalan secara seimbang dan mencapai kesempurnaan menuju Allah
SWT. Meskipun pada titik terakhir dari kehidupannya, beliau masih sibuk
mengurusi masa depan dakwah dan beliau sangat cemas terhadap masa depan agama
dan sangat peduli dengan problema kaum Muslim. Beliau khawatir suatu saat Islam
hanya tinggal namanya namun hakikatnya telah lenyap. Namun sebelum beliau
meninggal, Allah SWT telah memperlihatkan kepada beliau sesuatu yang membuat
hati beliau menjadi tenang. Dan di hari Senin dari bulan Rabiul Awal yang
mulia, beliau kembali kepada Tuhannya dalam keadaan ridha dan diridhai.
Salam kepadamu ya Rasulullah dan
kepada keluarga serta sahabat yang setia bersamamu.
Demikian kisah Nabi Muhammad SAW semoga bermanfaat.
Demikian kisah Nabi Muhammad SAW semoga bermanfaat.